Perjanjian Kejam

1027 Words
Hafa tampak ragu sejenak sebelum akhirnya dia memutuskan untuk duduk di sana. "Iya deh, makasih ya, Ham!" ujar Hafa. "Belum juga sampai, udah bilang makasih aja." goda Irham. "Kalau bilang makasihnya pas udah sampai, biasanya harus sekalian kasih uang sepuluh ribu, Ham." Hafa tersenyum, ada lesung Pipit tipis di kedua pipinya. "Duh, tukang ojek able banget dong aku!" seru Irham, senyum tersimpul di bibirnya. Hafa tertawa kecil. "Jalan ya!" Irham lalu menarik gas motornya dan melaju dengan kecepatan sedang. Hafa, gadis belia dengan postur tubuh tinggi seratus enam puluh delapan, memiliki tubuh ramping dengan sepasang tungkai kaki yang kurus. Dia memiliki kepribadian yang sangat baik, sungguh perpaduan sempurna dengan wajahnya yang cantik, bulu mata lentik dan mata bulatnya. Hidung mancung dan pipi ranumnya tampak proposional dengan bibir tipisnya. Hafa Laghuvi Altafunisa, siapa saja akan terpana dengan visualnya yang bak seorang publik figure. Di tambah kecerdasannya yang belum tertandingi oleh seluruh siswa di sekolahnya. Dia selalu memegang nilai rata-rata tertinggi dalam setiap ujian. Cukup sempurna untuk seorang gadis yang hidupnya penuh lika-liku. Sepanjang jalan ke arah sekolah, begitu banyak polisi tidur terpasang. Membuat Hafa harus mencari pegangan agar tubuhnya bisa seimbang dan tidak terplanting dari atas jok motor. "Pegangan!" Ujar Irham. "Sudah, Ham!" Irham mencoba merasakan seluruh bagian tubuhnya, dari pundak, punggung dan pinggang. Tapi tak ada tangan yang berpegang pada ketiganya. Hafa menggunakan satu tanganya untuk berpegang pada besi di bagian belakang motor matic itu. Walau agak susah, dia berusaha tetap memegang benda itu. Irham hanya tersenyum saat melihat pantulan dari spion motornya. "Benar-benar gadis yang menjaga dirinya dengan sangat baik." Batin Irham. *** Jam pelajaran sudah usai, Hafa bergegas merapikan semua buku dan memasukan ke dalam tas. Dia harus menunggu beberapa menit agar Irham sudah lebih dulu pulang. Dia tak enak hati selalu numpang. Setelah waktu dirasa cukup, Hafa berjalan pulang. Sesampainya di rumah, Hafa melihat pintu rumahnya terbuka lebar. "Bu!" Panggil Hafa seraya masuk ke dalam dan duduk di atas sofa, dia melepaskan sepatu dan kaus kakinya. "Bu, Hafa pulang!" Tak ada jawaban. "Apa ibu masih tidur ya?" Gumam Hafa. Hafa membuka pintu kamar ibunya dan mendapati Ibunya tersungkur di tanah dengan beberapa Luka lebam di wajahnya. "Ya Allah Ibu! Bu! Kenapa?" Hafa meraih tubuh Ibunya, wanita itu tengah terisak. Rambut lurusnya yang biasanya begitu rapi kini terlihat semrawut menutupi wajahnya. "Bu, ada apa? Ayo Hafa bantu, naik ke atas tempat tidur Bu." Tubuh kurus gadis itu terlihat susah payah membantu Ibunya untuk naik ke atas tempat tidur. "Ya Allah Bu, sebentar Hafa ambil air hangat buat kompres wajah Ibu." Hesty masih saja terisak, dia duduk di tempat tidur, menundukkan wajahnya. Hafa kembali dengan sebuah wadah berisi air hangat dan secarik kain handuk kecil. Dia menyeka luka lebam di wajah ibunya dengan kain handuk yang sudah di celupkan ke dalam air hangat. "Kali ini siapa lagi yang bikin Ibu seperti ini?" Tanya Hafa cemas. Pertanyaan Hafa memang tepat, entah sudah berapa kali kejadian seperti terulang. Dan sang ibu tak pernah bercerita, dia hanya diam saat Hafa mencecar dengan berbagai pertanyaan. "Sudahlah, sebaiknya kamu makan! Ibu sudah masak! Kamu pasti belum makan, setiap hari kamu lupa uang saku kamu." "Tidak apa-apa Bu, Hafa tidak butuh uang saku." "Sudah, tinggalkan ibu sendiri." Pinta Hesty. Hafa menghela nafas, dia akhirnya keluar dan menutup pintu kamar ibunya dengan perlahan. "Hafa tidak boleh menangis!" Hafa menepuk-nepuk dadanya yang selalu saja terasa sesak menahan gejolak emosinya. "Hafa tidak boleh menangis!" Mata Hafa memerah dan berkaca-kaca. "Hafa, jangan menangis!" Lirihnya pada cermin di kamarnya. Dan dia akhirnya menutup mulutnya dan menangis dalam sunyi. Perih sekali perjalanan hidup yang harus dia tanggung ini. Dibesarkan oleh ibu tunggal yang berprofesi sebagai wanita penghibur, sejak kecil setiap malam Hafa selalu sendirian di rumah. Dia akan menangis histeris tatkala hujan datang bersama petir yang menggelegar. *** Pintu depan dibuka dengan kasar. "Mana dia! Hoy.. Hesty! Mana anakmu apa sudah datang!" Hesty yang mendengar suara kasar itu secepat kilat keluar dari kamar dan berdiri di depan kamar Hafa, merentangkan tangannya agar orang itu tidak bisa menjangkau pintu kamar Hafa. Hafa gemetar dan matanya terbelalak ngeri. Kenapa bisa ada orang yang datang mencari dirinya. Ada apa gerangan. "Oh, rupanya si cantik Hafa sudah pulang? Minggir kamu!" Bentak seorang pria berjaket hitam itu. Satu lagi berbadan lebih besar, dia menunggu di ambang pintu depan seraya berkacak pinggang. "Enggak ada! Hafa belum pulang!" Isak Hesty. Hafa bingung harus bagaimana, dia harus melakukan apa. Kabur lewat jendela, atau bersembunyi di kolong tempat tidur. "Halah, dasar jalang!" Tukas lelaki itu, dengan mudah dia meraih tubuh Hesty dan membantingnya ke lantai. "Jangan! Hafa! Lari !! Hafa lari!" Hafa sangat panik, dia lalu mengunci kamarnya dengan tangan gemetar hebat. "Hei, manis! Sini sama Om. Jangan takut ya sayang. Hahahaha..." Tawa lelaki itu sangat mengerikan. Dia masih belum berhasil membuka pintu, dia mendobrak dengan keras. Pintu yang kokoh itu terlihat goyah. Lelaki itu mengulanginya lagi. "Brakkkk..." Pintu kamar Hafa terbuka. Lelaki garang itu masuk ke dalam, tak ada siapapun di sana. Dia berjalan mendekati lemari dan membukanya. Hanya ada pakaian yang tergantung dengan rapih. Hafa yang menyelinap di balik pintu, memanfaatkan kesempatan saat pria itu membuka lemari. Hafa keluar dari sana dan berlari. Tapi dia tidak menyangka akan ada orang lain di luar sana. Pria bertubuh tegap yang berdiri di depan pintu utama, melihat Hafa berlari ke arahnya dan dengan mudahnya dia menangkap tubuh kurus Hafa. "Tidak!! Lepasin aku!" Teriak Hafa histeris. Hesty bangkit dari lantai dan mulai berusaha melepaskan Hafa dari cengkraman kasar pria yang berbau alkohol itu. "Lepasin dia!" Teriak Hesty histeris. "Oh, tidak bisa! Kau ingat kan perjanjian kita?" Laki-laki jelek itu menyeringai. "Aku pasti bayar, aku akan segera bayar! Tapi lepasin Hafa!" Hesty memohon dan berlutut di depan pria b******k itu. "Ibu, apa-apaan ini!" Hafa terisak melihat ibunya memegangi kaki pria dengan wajah berminyak itu. "Heh Jalang! Dengar ya! Ini sudah lewat dari waktu yang kamu janjikan! Ingat apa yang kamu katakan dulu, kalau lewat dari waktu yang kita sepakati, maka taruhannya adalah anak ini." Geram pria satunya seraya berjongkok di samping hesty dan merenggut rambut Hesty. Kedua pria itu sangat arogan dia membawa paksa Hafa dan meninggalkan Hesty yang masih meraung-raung memanggil nama Hafa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD