Tolong!

1075 Words
Kedua pria berbau tak sedap itu menyeret Hafa masuk ke sebuah mini bus, Hafa tak berdaya dalam paksaan keduanya. Dia hanya berteriak memanggil Ibunya saat mobil yang membawa Hafa itu mulai melaju meninggalkan rumah mereka. Beberapa tetangga yang kebetulan menyaksikan hal itu, tak bisa berbuat banyak. Mereka sungguh takut untuk ikut campur, terlebih dia orang pria dengan baju hitam ketat itu benar-benar sangat menakutkan. Mereka hanya menyaksikan semua kejadian itu dari kejauhan. Hesty masih berteriak-teriak memanggil nama Hafa. Dia benar-benar menyesal, Hafa jadi harus menanggung semua akibat karena ulah dirinya yang bodoh. "Hafa! Maafin ibu Hafa!" Hesty ingin sekali bangkit berdiri dan mengejar mobil yang membawa pergi Hafa, tapi tungkai kakinya terasa lemas. Sekujur tubuhnya bahkan lebam dan terluka. "Bagaimana ini, Hafa! Dibawa kemana Hafaku!! Jangan bawa dia!!" Teriak Hesty pada halaman depan rumah yang sudah kosong. *** Hafa di giring seperti tawanan oleh dua orang pria yang berjalan mengapitnya di sisi kiri dan kanan Hafa. Mereka baru saja turun dari mobil, di sebuah parkiran basement dari apartemen mewah di bilangan Jakarta Selatan. "Diam! Jangan berulah! Kami enggak akan sakitin kamu, kalau kamu tetap diam!" Ancam si botak yang mukanya terlihat mengkilap. Dia pasti jarang sekali membersihkan wajahnya itu. Hafa hanya bisa menunduk, dia dibawa naik ke atas melalui tangga darurat. Mereka pasti tidak ingin mengundang banyak perhatian para penghuni apartemen ini. Mereka tak memegang Hafa karena jika itu mereka lakukan, pasti pihak security setempat akan curiga pada mereka dan bertanya-tanya ini dan itu. Mereka sampai di lantai lima, kaki Hafa sudah sangat lemas. Menaiki tangga darurat sampai ke lantai lima bukan hal mudah. Rasanya tenggorokan Hafa sudah mengering dan juga dia bersimbah peluh karena lelah. Mereka keluar dari pintu darurat, masuk ke dalam kawasan apartemen itu. Mereka berjalan di koridor yang di sisi kanan dan kirinya berbaris beberapa pintu kamar apartemen. Mereka tiba di tempat tujuan. Sebuah kamar dengan pintu yang tertutup rapat. Salah satu dari mereka mengetuk pintu itu. "Hei, bodoh! Teken itu belnya! Malah di ketok!" Gerutu yang lainnya. "Nyetrum enggak? Elu aja bang!" Mereka meributkan hal yang tidak perlu. Hafa melihat sebuah peluang besar kali ini, mereka tengah sibuk memperdebatkan soal bel pintu kamar itu. Hafa perlahan bergerak mundur. Selangkah, dua langkah. Kini Hafa sudah berdiri di belakang mereka. Gadis cantik itu cepat-cepat ambil langkah seribu dan berlari menjauhi mereka. "Woy!! Dia kabur! Sial! Dasar jalang! b******k! Kejar buru kejar!! Kejar!!!" Dia berteriak pada rekannya dan menggeplak kepala botaknya yang bersinar terkena lampu di dalam koridor apartemen itu. Mereka lari secara bersamaan mengejar Hafa tapi justru mereka saling menabrak satu sama lain karena saling mendahului saat bergegas berlari ke arah perginya Hafa. Mereka kembali bangkit setelah terjungkal di atas lantai berwarna putih mewah itu. Satu dari mereka berteriak-teriak memanggil nama Hafa. Hafa lari sekencang-kencangnya, dia tidak boleh tertangkap oleh dua orang berkepala plontos itu. Hafa terus berlari, dia sesekali menengok ke belakang untuk memastikan bahwa dia sudah jauh dari jangkauan mereka. Melihat dua orang botak berlari bersama sambil terengah-engah membuat Hafa teringat sepasang anak kembar dalam serial animasi dari negri tetangga, bedanya anak-anak kembar itu imut dan lucu, sementara dua orang di belakangnya ini jelek dan bodoh. Hanya tubuhnya saja yang kekar dan terlihat menyeramkan. "Hafa! Berhenti Hafa! Berhenti!" Salah satu dari mereka menunjuk-nunjuk Hafa dan berteriak geram. Hafa tidak memperdulikan mereka, dia hanya merasa harus terus berlari. Hingga saat ada jalan berbelok ke dua arah, dia memilih belok dan berlari ke arah kanan. Di saat yang bersamaan seorang laki-laki muda keluar dari salah satu kamar, membuka pintu kamarnya dan melangkahkan kaki keluar kamar. Hafa yang tengah berlari terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang keluar dari sebuah kamar, laki-laki itupun tidak menyadari ada gadis yang tengah berlari ke arahnya. Tak bisa dihindari, mereka akhirnya saling bertumbukan di depan kamar milik cowok itu. Mereka terjatuh di atas lantai setelah sebelumnya kepala mereka saling beradu satu sama lain, membuat suara "dukk" yang amat keras. "Aw!!" Hafa memekik kesakitan, dilihatnya cowok itupun nampak memegangi keningnya. Teriakan dua orang gundul itu kembali terdengar, Hafa cepat-cepat beranjak berdiri. Alih-alih pergi dari sana, Hafa justru masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu. Dia terburu-buru masuk, tak menghiraukan teguran dari cowok yang kini tengah berusaha bangun. "Hei, hei! Mau apa kamu?" Cowok itu mengikuti Hafa masuk ke dalam kamar. Hafa berjongkok di depannya, menyatukan telapak tangan dan menggosok-gosoknya dengan cepat, pertanda dia memohon pada cowok itu. Agar dia membiarkan Hafa tetap tinggal di dalam kamar sampai para pria itu pergi menjauh. Jantung Hafa berdetak kencang, dia berharap semoga saja cowok itu mau menolong Hafa, dan menyelamatkan Hafa dari kejaran mereka berdua. "Tolongin aku! Tolong!" Lirih Hafa. "Apa? Kenapa kamu malah berlutut begitu?" Dengan laga dinginya cowok itu bertanya pada Hafa. "Please! Selamatkan aku! Biarkan aku sembunyi di sini sebentar, please!" Hafa masih terus menggosok telapak tangannya. Cowok itu tak berkata apa-apa. Dia masih memandang Hafa yang sangat ketakutan. Dia mencoba mencerna, apa sebetulnya yang sedang di alami oleh gadis yang masih saja memohon di bawah kakinya ini. Cowok itu tiba-tiba mendengar suara ribut di depan kamar. "Kemana dia? Kesini! Kesini!" Ujar salah satu dari mereka. "Bukanya dia belok kiri ya!" Tukas yang lain. "Ke kanan!" Tekan satunya. "Gawat kalau kita kehilangan dia! Bisa di dor kita sama bos!" "Semua ini gara-gara elu! Nekan bel aja bingung!" "Heh, ngapa jadi nyalahin gue! Sialan! Udah cari dimana dia!" Cowok yang bersama Hafa itu memperhatikan Hafa yang dalam kondisi berantakan, pasti sesuatu terjadi, dia dengan cepat menutup pintu tepat sesaat sebelum kedua orang botak itu melewati kamarnya. Mereka lari dengan masih tetap berdebat soal Hafa belok kanan atau kiri. Hafa terduduk di lantai setelah pintu kamar di tutup oleh pemiliknya itu. Tubuh Hafa berpeluh, rambutnya bahkan acak-acakan. Nafas Hafa tersengal, dia mencoba menenangkan diri dan mengatur nafasnya agar kembali normal. Cowok itu masih berdiri di sisi Hafa, dia tak mengerti apa sebenarnya yang baru saja terjadi padanya. Semuanya berlangsung sangat cepat. Bahkan dia tak diberikan kesempatan hanya untuk sekedar merasakan sakit di keningnya itu. Cowok itu berdiri dengan arogan dan dingin, menatap Hafa dengan air muka yang tak dapat di tebak. "Makasih! Terimakasih banyak!" Suara Hafa terputus-putus karena nafasnya yang masih terengah-engah. Cowok itu tak bergeming, dia masih saja menatap Hafa. Entah karena merasa bahwa cewek ini sangat aneh, atau justru sama sekali tak peduli. Wajahnya datar saja. Tak ada ekspresi apapun yang berusaha dia tunjukkan pada Hafa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD