Kecewa terberat dari seorang perempuan adalah ketika tidak bisa bersama dengan anak yang sangat ia sayangi.
Renjana mulai belajar mengikhlaskan, ketika semakin lama ia semakin sulit bertemu dengan Saka. Sekuat tenaga mencoba untuk tetap hidup meski di jauhkan dari anak semata wayangnya. Tetapi ketika ia sudah melangkah jauh, kini takdir itu justru mencari Renjana.
Setelah lama memikirkan tentang tawaran yang diberikan Nyonya Rukma, Renjana menerima. Dia berharap, Renjana bisa kembali menata kehidupannya setelah drama mantan suaminya selesai.
Pagi ini ia kembali datang ke Jakarta, menggunakan kereta fajar yang membawanya sampai ke Stasiun Pasar Senen. Mencoba menguatkan langkahnya, ia keluar mencari seseorang yang sudah di utus Nyonya Rukma untuk menjemput dirinya. Tak perlu sulit mencari, orang itu jelas sudah berada di depan terminal penjemputan.
“Pak Bani,” sapanya. Ia mengenal laki-laki itu, sopir pribadi keluarga Raka yang sering membawa Nyonya Rukma kemana pun wanita itu ingin.
“Sudah siap kembali?”
“Siap tidak siap.”
Laki-laki itu mengambil tas koper tidak cukup besar yang berada di dalam genggaman tangan Renjana lalu memasukan benda itu ke dalam bagasi belakang mobil.
“Terima kasih, Pak Bani,” ucap Renjana sopan.
“Masuklah.”
Laki-laki itu membukakan pintu bagian belakang lalu Renjana masuk ke dalamnya.
“Bagaimana kabarmu, Renjana?”
“Tidak cukup baik, tapi tentu aku harus banyak bersyukur masih bisa hidup sehat dan makan teratur.”
Laki-laki itu tersenyum tipis mendengar ucapan Renjana. Ia mengingat bagaimana Renjana yang dulu, sosok yang selalu dekat dengan beberapa pembantu di rumah Raka. Meskipun ia berstatus sebagai Nyonya rumah, tapi Renjana adalah sosok yang rendah hati. Pak Bani adalah salah satu orang yang menyayangkan sikap Raka waktu itu. Tetapi tentu itu semua tidak memiliki pengaruh pada diri Raka. Laki-laki itu tetap jahat, dan mereka berdua tetap bercerai.
“Aku terkejut waktu Nyonya Rukma memintaku untuk menjemputmu.”
“Apalagi aku, Pak.”
“Tapi kamu serius mau kembali?”
“Selama ini, apakah bisa aku tidak menuruti kemauan keluarga Raka?”
“Ya aku paham.”
“Tapi setidaknya, setelah semua ini berakhir, aku bisa mendapatkan ketenangan dalam hidup.”
“Maksudnya?”
“Mereka berjanji untuk tidak mengangguku lagi, bahkan ada surat perjanjian yang sudah mereka tandatangani.”
“Dan kamu percaya?” tanya Pak Bani sambil memutar setir. Mereka sudah hampir sampai di kediaman keluarga Haditya.
“Tidak ada yang bisa aku percaya di dunia ini, hanya Tuhan. Dan aku masih percaya dengan keajaiban.”
Mobil berhenti tepat di depan rumah keluarga Haditya. Renjana bisa melihat betapa kedatangannya benar-benar ditunggu. Disana ada Tuan Haditya, Nyonya Rukma, Raka dan Saka yang ada di dalam dekapannya.
“Aku akan selalu mendoakanmu, Renjana.”
“Terima kasih, Pak.”
Pak Bani keluar terlebih dahulu, ia membukakan pintu bagian belakang untuk Renjana.
“Selamat datang kembali,” bisiknya ketika mereka berada di dalam jarak yang cukup dekat.
“Hai itu, Mama. Say hi sama Mama, Saka,” ucap Raka dengan wajah gembira.
Laki-laki itu menuruni tangga lalu berhenti tepat di depan tubuh Renjana yang berdiri kaku.
“Selamat datang kembali di rumah, Istriku atau calon istriku lebih tepatnya,” sapanya.
Sebuah pelukan Renjana dapatkan dari Raka. Sebuah pelukan yang sudah terlupa, sebuah pelukan yang sudah tidak pernah ia rasakan ketika Raka menjalin hubungan di belakangnya bersama Marina.
“Iya,” jawab Renjana singkat.
“Kita akan kembali menikah.”
“…” Renjana hanya membisu, dia tidak mau salah berucap dan menghancurkan rencana yang sudah di rancang Nyonya Rukma untuknya.
“Aku akan segera menceraikan Marina.”
“Apakah itu tidak terlalu cepat?”
“Terlalu lama menurutku, aku sudah tidak sabar untuk kembali hidup bersamamu. Aku, kamu dan Saka, dan mungkin adik-adik Saka yang nanti akan semakin bertambah banyak. Seperti rencana kita dulu, aku ingin punya anak sepuluh,” ucapnya dengan gelak tawa.
Mendengar hal itu, Renjana tak bisa memberikan komentar. Disini, dia hanyalah seorang pemain yang bekerja sesuai instruksi dari sutradara. Dalam cerita ini, Nyonya Rukma adalah sutradara, ia yang memegang kendali dalam hidup Renjana.
“Ayo kita masuk ke dalam rumah,” ajak Raka.
“Bolehkah aku menggendong Saka?”
“Tentu saja, dia anakmu.”
Raka menyerahkan Saka ke dalam gendongan Renjana.Seperti seorang ibu yang sangat merindukan anaknya. Renjana tidak bisa menutupi betapa dia sangat merindukan Saka. Ia menciumi anak semata wayangnya, meluapkan rindu yang selama ini ia simpan seorang diri.
“Mama.”
“Saka, anak Mama.”
Saka terlihat sedikit takut, ia melihat ke arah Nyonya Rukma lalu ke Papa dan bergantian ke arah Renjana. Melihat kekhawatiran Saka yang tercetak jelas di wajah lembutnya, Renjana memeluk anak kecil itu lalu menciumi wajahnya.
“Mulai sekarang, Mama akan selalu berada di sisi Saka.”
“Beneran?”
“Iya.”
“Papa juga.” Raka menginterupsi kedekatan Ibu dan anak.
“Tante Marina, bagaimana?” tanya anak kecil polos itu.
“Papa sudah berpisah dengan wanita itu dan kembali bersama dengan Mama Renjana.”
Senyum terbit dengan kedua lesung pipi di wajah menggemaskan milik Saka. Ia kembali memeluk Renjana dengan erat. “Sudah, sudah, tidak perlu banyak drama lagi. Ayo masuk ke rumah.” Suara milik Nyonya Rukma menghancurkan kebersamaan Saka dan Renjana. Mau tidak mau ia menuruti kemauan Nyonya Rukma untuk masuk ke dalam rumah.
Renjana terkejut saat merasakan genggaman tangan dari Raka, ia menarik tangan itu tetapi tentu saja Raka menahannya.
“Aku ingin kita begini terus.”
“Raka.”
“Aku tahu ini sulit, aku tidak ingat sama sekali dengan apa yang sudah membuat kita terpisah. Tetapi aku mohon, beri kesempatan kepada kita berdua lagi, Renjana.”
“Aku … aku.”
“Lebih baik kita masuk.”
Kali ini Renjana membiarkan tangannya berada di dalam genggaman Raka. Ia mengikuti kemana laki-laki itu membawanya.
Saat menginjakkan kakinya ke dalam rumah, perasaan yang muncul di hari Renjana adalah asing. Dia sudah pernah tinggal di rumah ini hampir 3 tahun lamanya, tetapi hanya kenangan buruk yang ada di dalam ingatannya.
Mereka berdua masuk ke ruang keluarga. Sebuah ruangan luas yang menghadap langsung ke arah taman. Renjana ingat, terakhir kali ia berada disini adalah ketika Raka mengusirnya. Renjana duduk bersimpuh di kaki Raka untuk tidak mengucapkan kata talak itu. Nyatanya, kata itu tetap keluar dari mulut Raka.
Semua orang berkumpul di ruang keluarga. Nyonya Rukma dan Tuan Haditya duduk di sofa besar yang berada di hadapan Raka dan Renjana. Seperti dulu saat pertama kali Raka membawa Renjana datang ke rumah ini. Seperti sebuah narapidana yang siap di siding, Raka dan Renjana duduk bersisihan. Tautan tangan Raka masih sama seperti dulu tetetapi tentu terasa berbeda dengan yang dirasakan Renjana.
“Sebelum aku memulai ucapan selamat datang kepada Renjana pagi ini, berikan Saka kepada baby sitternya,” titah Tuan Haditya.
Seperti seorang pesuruh yang mengikuti majikannya, Renjana menyerahkan Saka kepada baby sitter yang selama ini ia temui ketika Renjana diam-diam datang ke rumah ini.
“Renjana sudah disini, seperti maumu.” Tuan Haditya membuka percakapan setelah Saka pergi dengan baby sitternya.
“Proses perceraianmu dengan Marina sedang berjalan,” tambahnya. “Papa sudah mengikuti apa maumu, sekarang giliran kamu mengikuti mau Papa.”
“Katakan,” jawab Raka.
“Lakukan pengobatan untuk mengembalikan ingatanmu dan mulai kembali bekerja.”
“Aku tidak pernah merasa sakit.”
“Tetapi kamu banyak kehilangan memorimu.”
“Aku bisa belajar lagi jika itu masalah perusahaan.”
“Untuk hidupmu? Apa kamu merasa tidak ingin tahu dengan kehidupan yang hilang dalam memorimu? Kamu -.”
“Aku tidak mau mengingat itu jika tidak ada Renjana di dalamnya.”
Renjana memejamkan matanya, mencoba mengusir baying-bayang masa lalu Raka yang mencintainya. Renjana harus bisa menanam di otaknya bahwa Rakanya yang dulu sudah mati. Raka yang sekarang hanyalah bagian dari masa lalu Raka yang bisa sewaktu-waktu kembali.
“Aku hanya ingin menjalani hari-hariku bersama Renjana.”
“Kamu sudah berjanji, Raka.” Kali ini giliran Nyonya Rukma yang berbicara. Wanita yang sedari tadi hanya menyembunyikan suaranya kini mulai membuka suara. Terlihat dengan jelas ketidaksukaan di wajahnya.
“Mama tidak perlu mencampuri urusanku.”
“Kamu sudah berjanji untuk berobat, Mama hanya tidak ingin kamu menyesal setelah tahu apa yang dilakukan wanita itu se-.”
“Ma! Sudah,” sergah Tuan Haditya.
“Aku hanya tidak ingin Raka menyesal.”
“Aku tidak akan menyesal.”
“Karena kamu kehilangan ingatanmu! Coba kalau ingatan itu sudah kembali, kamu akan kembali membenci Renjana!”
“Mama, Raka! Sudah,” sergah Tuan Haditya lagi. Ia beranjak berdiri meninggalkan ruangan ini. “Ma, kita ke kamar. Dan Raka, mulai minggi depan kamu akan mendapatkan pengobatan dan juga sudah mulai bekerja. Kita sudah memberikan apa yang kamu mau, sekarang giliran kamu mengikuti keinginan Mama dan Papa. Jika Papa boleh berkata, hidup dengan memori yang sebagian hilang itu sama saja kamu hidup menjadi orang lain.”
Tuan Haditya melirik ke arah Renjana sekilas lalu meminta Nyonya Rukma untuk mengikutinya. Keduanya menghilang di balik pintu ruang keluarga yang mengarah ke lantai dua, meninggalkan Renjana dan Raka.
“Tidak perlu kamu pikirkan, aku berjanji -.”
“Jangan pernah berjanji untuk sesuatu yang sulit kamu tepati. Lebih baik kamu mengikuti saran orangtuamu untuk melakukan pengobatan. Kita sudah bukan lagi kita yang kamu kenal dulu, aku harap kamu bisa memahami hal itu.”
Renjana pergi meninggalkan Raka. Tujuan utamanya ke rumah ini adalah Saka, ia berjanji akan memiliki waktu yang berkualitas dengan anaknya. Entah apapun yang akan terjadi kedepannya, Renjana hanya bisa berdoa agar takdir bisa memberikan kejutan yang baik untuknya.