Tuutt.. tuutt..
Suara bunyi kereta api yang mulai berjalan menemani kesepian Nana pagi ini. Menggunakan kereta yang jalan di fajar hari, Nana memilih untuk kembali ke Surabaya. Keberadaannya disini akan menyulitkan banyak orang dengan kondisi mantan suaminya yang sedang tidak stabil. Jadi, demi kemudahan keluarga Raka pun juga keselamatannya pribadi, Nana merasa memang lebih baik dirinya untuk pergi menghindar.
Ini bukan tentang dia adalah wanita baik yang ingin memudahkan urusan keluarga yang sudah menyakitinya, tetapi ini untuk dirinya sendiri. Bisa di bayangkan jika Raka kembali mengusik kehidupannya dengan penuh arogansi dan paksaan khas seorang Raka? Tentu Nana tidak akan mudah untuk menolaknya, dan jika suatu saat laki-laki itu kembali mendapatkan ingatannya, mungkin dia bisa membunuh Nana jika wanita itu kembali mendekat dalam hidupnya. Setau Nana, Raka sangat membencinya.
Laki-laki itu bahkan pernah hampir membunuh Nana saat dirinya tidak mau menandatangani surat cerai yang di sodorkan laki-laki itu. Dengan berbagai ancaman dan kesakitan yang Nana dapatkan hingga akhirnya surat cerai itu tertandatangani. Nana memang berusaha mempertahankan rumah tangganya, tetapi semakin dia menggenggam erat sebuah duri, maka itu akan semakin menyakitkan.
Di dalam kereta, Nana beruntung karena mendapatkan kursi untuk dirinya seorang. Dia tidak pulang di jam weekend, jadi kereta tidak terlalu ramai. Di sepanjang kereta berjalan, tatapan Nana menatap nanar ke arah luar kereta. Sambil sesekali wanita itu menikmati kopi panas yang tadi sengaja dia beli di stasiun.
Malam hari, Nana sudah sampai di Surabaya. Kota kelahiran dan tempat keluarganya berada. Saat pertama kali menghirup udara di kota ini, bayangan Nana terbawa saat dia masih kecil. Dimana masalah yang paling rumit adalah belajar. Entah kenapa, Nana merasa berbeda ketika berada di kota kelahirannya. Di sini, tidak akan ada yang menyakitinya. Disini, hanya akan ada keluarga yang mencintainya.
Satu tetes air mata jatuh membasahi pipi Nana. Sudah sangat lama perasaan tenang seperti sekarang tak pernah singgah di hatinya.
Berjalan sendirian menyusuri peron di stasiun, otak Nana sibuk mengeluarkan moment-moment dulu saat dia masih tinggal di Surabaya. Waktu muda, Nana adalah seorang traveller, dia sangat menyukai jalan-jalan. Setiap bulan dia pasti menyempatkan diri untuk pergi entah kemana bersama dengan sahabat-sahabatnya. Jadi, stasiun adalah tempat favoritnya.
“Nduk..”
“Bapaaak!”
Nana menyambut bapaknya yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Saking sibuk membayangkan masa lalu hingga Nana tak menyadari kehadiran bapak. Nana memeluk bapak dengan erat.
“Pak, Nana kangen.”
“Iyaa, iyaa bapak juga kangen.”
“Bapak jemput Nana sendiri?”
“Iya to, kalau mau ngajak yang lain nanti kamu mau duduk dimana?” tanya Bapak dengan terkekeh. “Bapak kan bawa motor.”ndak sabar pengen ketemu kamu.”
Nana mengangguk lalu mengalungkan tangannya di lengan bapak. Sepanjang perjalanan, bapak sibuk menceritakan berbagai perubahan yang ada di Surabaya, mulai dari stasiun beberapa pembangunan yang cukup banyak. Nana akui, dia sudah sangat lama tidak pulang. Sejak pernikahan hingga hari ini mungkin sekitar 5 tahun Nana tidak menginjakkan kakinya di Surabaya.
“Pakai helmnya yang kenceng, bapak mau bawa motor banter biar cepet sampai di rumah.”
“Haha, siap bossku!”
Bapak benar-benar menepati janjinya, dengan mengenakan motor bebek sederhana yang terawat, Bapak membawa mereka berdua dengan kecepatan tinggi. Walaupun sudah berumur, bapak masih sangat gesit mengendalikan motor, pun mungkin karena sudah terbiasa juga. Pekerjaan Bapak dan Ibu adalah berjualan di pasar, mereka sering wira wiri rumah dan pasar menggunakan motor.
Tidak sampai lima belas menit mereka berdua sudah sampai di depan rumah Nana. Rumah bergaya joglo kuno, dengan warna dinding yang sudah memudar. Ada beberapa dinding tembok yang terkelupas, menampilkan batu bata yang ada di dalamnya. Rumah tidak banyak berubah, tidak seperti Surabaya.
“Ibuu...”
Pintu terbuka dari dalam, menampilkan wajah ibunya yang sudah menua. Wanita itu buru-buru mengenakan kerudungnya lalu berjalan mendekati Nana dengan tangis. Sebuah pelukan yang sama kuatnya dengan yang tadi dia berikan ke bapak, Nana kembali merasakan ketenangan yang selama ini tidak pernah dia dapatkan di Jakarta. Dia merindukan kedua orangtuanya, dia merindukan dirinya sendiri.
“Anakku, ibuk sangat merindukanmu,” ucap Ibu Nana di sela-sela derai tangis mereka berdua.
“Nana juga kangen banget sama ibu.”
Sebuah usapan lembut Nana rasakan di wajah, telapak tangan yang hangat itu seakan menyapu semua resah yang di rasakan Nana. Nana mengambil telapak tangan ibu lalu menciumnya berkali-kali.
“Maafkan Nana karena tidak pernah pulang.”
“Ndak apa-apa, kamu masih mau berjuang untuk Saka.”
Nana mengangguk, teringat anak manis yang selama ini menjadi alasan perjuangannya di Jakarta. Seandainya Tuhan sangat baik kepadanya, dia bisa membawa Saka untuk hidup bersamanya di sini, tentu kehidupan Nana akan kembali lengkap. Tentu Nana akan lebih bersemangat kembali menata hidupnya yang hancur.
“Masuk dulu, Naak. Bayu menunggumu di dalam.”
“Bagaimana kabar Bayu, Bu?”
“Yaa seperti itu, Ibu bersyukur Bayu tidak pernah patah semangat.”
“Assalamualaikum,” ucap Nana saat pertama kali memasuki rumah.
“Walaikumsalam, “ jawab Ibu dan Bapak bersama.
Seorang laki-laki muda yang kini duduk di kursi roda memandang Nana dengan senyum lebar di wajahnya. Laki-laki itu terlihat tampan dengan wajah yang berseri.
“Bayuuuuu, adeknya Mbak Nana.”
Nana mendekatkan dirinya duduk bersijajar dengan Bayu. Laki-laki yang menurut Nana adalah seorang laki-laki hebat. Bayu terpaksa kehilangan kedua kakinya karena sebuah kecelakaan beruntun di depan kampus. Dulu, dia adalah seorang mahasiswa yang terkenal pandai dan aktif bersosialisasi. Saat kecelakaan itu terjadi, Bayu terpuruk, bahkan dia tidk menyelesaikan sarjananya yang tinggal setengah tahun saja. Bapak dan Ibu tidak pernah memaksa, itu semua pilihan Bayu. Kehilangan kedua kaki adalah hal yang berdampak cukup besar pada psikologis Bayu. Satu tahun pertama, keluarga kehilangan Bayu. Tetapi hari ini, melihat laki-laki itu, Nana sama sekali tidak mendapatkan raut kesedihan.
Nana memeluk Bayu, mencium puncak kepala adiknya satu-satunya.
“Sehat?”
“Alhamdulillah sehat, Mbak gimana?”
Nana membuka kedua matanya seakan sedang meminta Bayu untuk melihat dirinya secara langsung. “Lihat, Mbak sehat, sehat banget.”
“Alhamdulillah.”
“Bayu, Mbak denger dari Bapak, Bayu sekarang sukses jadi seorang youtuber, ya?”
Bayu mengangguk. “Bayu iseng-iseng suka bikin robot dan di rekam, eh ternyata banyak yang suka lihat.”
“Oh ya?”
“Bahkan bulan depan, Bayu di undang ke Jepang lho, Mbak.”
“Serius?” tanya Nana benar-benar terkejut.
Bayu sekali lagi mengangguk. “Seribu rius, hehehe.”
“Mbak bangga sama Bayu.” Nana kembali memeluk tubu Bayu, tidak sekuat di awal.
“Bayu juga yakin Mbak Nana bisa bangkit dari keterpurukan hidup.”
“Iyaa, semoga saja.”
“Pasti, Mbak!”
“Ya, pasti.”
Hari ini, Nana kembali berkumpul dengan keluarganya. Satu-satunya tempat yang bisa menerima Nana. Satu-satunya tempat yang tidak pernah menyakiti Nana. Dengan keberadaannya disini, Nana berharap dia bisa kembali hidup, bangkit dari keterpurukan.