Tok.. tok.. tok
“Masuk.”
Nana mendengar suara Tn. Malaka yang mempersilahkan dirinya masuk ke dalam ruangan. Dengan menguatkan hati, Nana membuka pintu dengan membawa sebuah amplop coklat di dalam genggaman tangan kanannya. Setelah meninmbang cukup lama, disinilah Nana berada, di dalam ruangan Tn. Malaka dengan membawa surat pengajuan resign. Nana memutuskan pergi jauh dari kota ini, seperti penawaran yang di berikan Ny. Rukma kepadanya. Dengan kondisi Raka yang seperti sekarang ini, memang bagi Renjana lebih baik adalah pergi menjauh. Dia tidak ingin Raka kembali menemuinya.
“Ada apa, Na.”
Laki-laki berketurunan India, bercampur dengan darah Sulawesi itu sedikit terkejut dengan kedatangan Nana yang tiba-tiba. Pasalnya, ini sudah lebih dari jam kerja, dan biasanya jika tidak diminta lembur Nana sudah pulang terlebih dahulu.
“Na?”
“Eh, iya. Tuan.”
“Kenapa?”
Nana meletakkan amplop coklat yang ada di dalam genggaman tangannya ke meja, lalu matanya kembali mengarah ke wajah Tn. Malaka yang menunjukkan kebingungan.
“Ini apa?”
“Surat pengajuan resign.”
“Kamu mau resign?” tanya Tn. Malaka dengan keterkejutan yang tidak di tutupi.
Nana mengangguk. “Iya, Tn. Malaka.”
“Why?”
“Saya ingin kembali pulang.”
“Ke Surabaya?”
“Iya.”
“Na, maaf. Kamu pernah bilang sama saya, alasan keberadaanmu disini adalah karena anakmu, dan? Apakah anakmu tidak lagi bisa menjadi alasanmu untuk tetap tinggal disini?”
“Ini demi anak saya.”
“Oh, ya?”
Sekali lagi Nana mengangguk, enggan menceritakan lebih detail tentang apa yang terjadi dalam kehidupannya kepada Tn. Malaka. Mereka tidak sedekat itu untuk berbagi cerita, selama ini hubungan mereka tidak lebih dari sekedar atasan dan bawahan.
“Na, jujur saja. Aku masih membutuhkanmu disini.”
“Maaf, Tuan. Saya tidak bisa.”
Tn. Malaka terdiam, seperti sedang berfikir, cukup lama. Jari jemarinya mempermainkan bolpoin yang ada di sela-sela jari, sedangkan matanya berpaling dari arah Nana.
“Tuan?”
“Oke, kapan kamu terakhir disini?”
“Hari ini.”
Tn. Malaka memperlihatkan senyum meremehkan. Memang keputusan Nana untuk resign sangat tiba-tiba, tetapi menurut Nana, ada banyak seketaris potensial yang bisa membantu Tn. Malaka kedepannya. Nana bukanlah seorang seketaris cekatan yang layak untuk di pertahankan, selama bekerja pun dia sering juga salah. Nana rasa, kehilangan dirinya di perusahaan tidak akan terlalu mempengaruhi produktifitas Tn. Malaka.
“Are you kidding me?”
“Maaf, Tu -.” Tangan Tn. Malaka yang mengudara menghentikan kalimat yang akan keluar dari bibir Nana. Laki-laki itu terlihat kecewa, jelas. Tetapi seperti yang Nana bilang, di perusahaan ini masih banyak seketaris yang potensial bahkan lebih cekatan dari Nana.
“Pergilah, jika itu memang yang kamu inginkan.”
“Saya minta maaf jika pengunduran diri saya terlalu tiba-tiba, ada banyak sekali alasan besar di belakangnya. Saya harap, Tn. Malaka bisa memaklumi keputusan saya.”
“Saya sangat yakin, perusahaan Samudra Malaka akan semakin sukses di tangan Tn. Abimanyu Malaka,” tambah Nana.
“Thanks,” jawab Tn. Malaka.
Melihat keengganan Tn. Malaka, Nana lalu pamit undur diri. Namun, sebelum tangannya menggapai daun pintu, suara Tn. Malaka kembali menghentikan langkahnya.
“Na,” panggil Tn. Malaka.
“Ya?”
“Apakah boleh aku mengajakmu untuk makan malam?”
“Mmm.. maksudnya?”
“Aku rasa kalimatku sangat jelas, Na,” ucap Tn. Malaka. Dia tidak ingin kembali mengucapkan apa yang sudah dia utarakan. Hanya untuk mengutarakan niatnya saja dia perlu belajar berulang kali.
“Maaf Tuan, saya takut salah dengar. Apakah tadi Tn. Malaka mengajak saya untuk ... ma-kan ma-lam?” tanya Nana terbata. Dia cukup malu mengutarakan apa yang di dengarnya, kalau misal salah tentu ini akan menjadi hal yang sangat terlihat bodoh.
“Tuan, maaf sepertinya memang saya yang salah dengar, jadi boleh anda mengulangi kalimat yang tadi anda bicarakan?”
“Kamu tidak salah dengar.”
Nana membuka mulutnya karena terkejut, lalu kembali mengatupkannya. Dia masih membeku di daun pintu ruangan Tn. Malaka, sedang mencerna permintaan Tn. Malaka yang juga sangat mengejutkannya. Apakah menjadi sesuatu hal yang biasa jika karyawan yang hendak mengundurkan diri di ajak untuk makan malam bersama dengan bossnya?
“Apakah, kita mengajak teman yang lain?”
“Tidak, hanya kita berdua.”
Renjana kembali membeku, jari jemarinya melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Tn. Malaka. Saling bertaut dan mempermainkan dirinya sendiri.
“Na, bagaimana? Jangan terlalu lama menjawab.”
“Ma-af, yaa.”
“Apa? Kamu ulangi lagi,” perintah Tn. Malaka.
“I-iya, kita bisa keluar makan malam nanti.”
“Oke.”
“Baik, saya permisi.”
Sepeninggalan Nana keluar dari ruangan Tn. Malaka, laki-laki itu menghela nafasnya dengan kuat. Dia baru saja menahan nafasnya saat mengajak Nana untuk makan malam berdua bersamanya. Hal yang sangat canggung memang, tetapi keinginan ini sebenarnya sudah sangat ingin dia sampaikan sejak dulu. Namun, karena Tn. Malaka selalu melihat Nana yang sangat membatasi hubungan mereka berdua, keinginan itu tidak pernah jadi keluar dari mulut Tb. Malaka.
Haaahh.. kenapa mengatakan kalimat ini saja mampu menyulitkan nafasku. Batin Tn. Malaka.
**
Pukul tujuh malam, Tn. Malaka sudah sampai di depan kos milik Renjana. Setelah sempat menanyakan alamat kos milik wanita itu melalui pesan, lalu Tn. Malaka buru-buru langsung berangkat dari kantornya. Jarak kantor dan kos Nana tidak terlalu jauh, tetapi akan menjadi sangat jauh jika di banding dirinya yang harus pulang terlebih dahulu.
Tenang saja, Tn. Malaka sudah terlebih dahulu mandi di kantornya.
Tn, Malaka
Aku sudah sampai.
Begitu mendapatkan pesan dari Tn. Malaka, Nana melangkahkan kakinya ke luar kos. Malam ini, dia mengenakan celana jeans dan kemeja berwarna putih tulang yang sedikit kebesaran. Tak lupa, Nana juga memoleskan make up tipis sama seperti biasa jika berangkat bekerja. Bedanya, rambut Nana yang biasanya tergelung rapi jika bekerja, malam ini dia membiarkannya tergerai indah.
Nana hanya mengangguk canggung saat menemui Tn. Malaka yang sudah berada di depan kosnya. Laki-laki itu terlihat lebih santai karena mengenakan kaos yang dipadukan dengan celana jeans. Bahkan Nana sadar, kaos dan celana yang digunakan Tn. Malaka adalah pakaian yang di siapkannya jika sewaktu-waktu Tn. Malaka harus pergi tanpa bisa pulang terlebih dahulu.
“Masuklah.”
Nana pikir, bukan hanya dirinya yang merasa canggung. Jika dilihat dari kalimat Tn. Malaka yang sedikit, Nana juga merasa laki-laki itu sedang merasakan hal yang sama dengan apa yang dia rasakan malam ini.
“Kamu, mau makan apa?” tanya Tn. Malaka memecah sepi.
“Terserah, Tuan saja.”
“Mmm.. aku rasa sekarang aku bukan lagi menjadi atasanmu, boleh aku memintamu untuk memanggilku dengan nama saja?”
“Itu akan terasa canggung.”
“Coba, panggil aku dengan nama.”
“Abimanyu.”
“Terlalu panjang.”
“Abi?”
“Apakah aku perlu memanggilmu dengan panggilan ‘umi’?” goda Tn, Malaka. Ada senyum yang sangat jarang laki-laki itu tunjukkan di kantor.
Senyum Tn. Malaka sanggup membuat Nana salah tingkah. Wanita itu memilih untuk mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil.
“Aku harus memanggil Tn. Malaka dengan panggilan apa?”
“Mas Abim.”
“Ini terasa aneh.”
“Coba, panggil aku dengan sebutan itu, aku ingin dengar.”
“M-mas Abim,” ucap Nana cepat. Hal yang mampu menciptakan gelak tawa diantara keduanya.
Malam ini, Abim dan Nana menghabiskan makan malam di pesisir pantai marina. Setelah lama memutuskan hendak makan dimana, akhirnya Nana meminta untuk makan seafood saja, mengingat laki-laki yang kini duduk di hadapannya ini adalah pecinta seafood.
Dan lihatlah, pilihan Nana memang sangat sempurna. Abim makan dengan lahap. Beberapa piring kosong berada di hadapan mereka berdua.
“Ini adalah seafood terenak yang pernah aku makan, Na.”
“Oh ya? Saya sudah pernah memesankan Tu eh, Mas Abim di tempat ini.”
“Oh ya? Kok aku seperti baru sekali saja makan disini.”
“Aku pernah memesankan makan disini sekitar dua kali, mungkin. Karena tempat ini sangat jauh dari kantor, tapi jika M-mas lagi pengen banget makan seafood, aku memesankannya disini.”
“Mmm, aku tahu.”
“Tahu apa?”
“Mungkin karena dulu kamu tidak menemaniku makan seperti sekarang. Jadi, makanan ini terasa lebih spesial karena ada kamu yang menemaniku makan.”
Nana beruntung,tidak sedang dalam kondisi makan atau minum. Jika itu terjadi di saat dirinya sedang makan, Nana pastikan dia akan tersedak. Kalimat yang dikeluarkan Tn. Malaka sangat gamblang. Sesuatu yang sedikit membuat Nana merasa takut.
Nana hanya tersenyum untuk menanggapi kalimat Tn. Malaka, lalu memilih untuk segera menghabiskan makan malamnya. Udara di sekitar tubuhnya tiba-tiba merasa sesak dan gerah.
Demi Tuhan, Nana ingin segera kembali pulang ke kos-annya yang nyaman.