Lubang Hati.

1720 Words
Di Magica Mundi, di sebuah istana megah nan mewah, pesta akbar peringatan hari ulang tahun Prince Dandelion Beauregard, anak dari King Cirus, raja tertinggi Magica Mundi, sedang digelar. la adalah seorang pangeran tampan. la memerintah dibantu oleh beberapa saudaranya yang kini termasuk dalam golongan keluarga kerajaan. King Acholon, ayah dari Prince Althaf, King Aloysius, ayah dari Prince Edgar; King Zhabyi, ayah dari Prince Dirga; dan King Calder, ayah dari Prince Cadmus. Namun, karena King Cirus telah meninggal di tangan para ludzi. Saat berusaha menyelesaikan kesalahpahaman para ludzi tentang keberadaan para penyihir yang dianggap akan menguasai dunia mereka. Kini, Magica Mundi hanya memiliki Queen Aeghtshelonia. la merupakan istri King Cirus. Sang Ratu sedang menunggu anaknya tumbuh menjadi pria dewasa, dan sampai pada tingkat Sage, agar bisa segera menggantikan sang ayah, memerintah Magica Mundi. "Selamat ulang tahun, Anakku," ucap Queen Aeghtshelonia sambil memberi pelukan hangat untuk putra kesayangannya. "Terima kasih, Bu," ujar Dandelion sembari menatap wajah sendu ibunya. "Hei, happy birthday, Brother," ujar salah seorang sepupu Dandelion sambil memeluknya dengan erat. Hal ini diikuti ketiga sepupunya yang lain. Pesta yang digelar begitu mewah itu baru akan selesai setelah lewat dari jam 01.00 pagi. Semua undangan tampak menikmati jamuan dalam pesta itu. Semuanya tampak bahagia. Berbaur bersama dalam meriahnya pesta. Namun, ditengah pestanya itu, Dandelion justru memilih menyendiri sambil menikmati udara malam. "Sedang memikirkan apa, Pangeran?" tanya Queen Aeghtshelonia. "Tidak ada. Hanya ingin menghirup angin segar," jawab Dandelion. "Besok, aku akan membicarakan pertunanganmu dengan Abigael pada orang tuanya," kata Queen Aeghtshelonia lagi sambil memandang lekat wajah sang anak. "Apa? bertunangan?" kata Dandelion tidak suka. "Bu, tapi kau tak bisa selalu mengambil keputusan tentang hidupku, tanpa membicarakannya padaku terlebih dulu." "Aku sudah mengatur segalanya yang terbaik untuk hidupmu. Lagi pula, apa kurangnya Abigael? Dia cantik baik, sopan. Dia juga tahu bagaimana caranya bersikap sebagai seorang putri,” kata sang ibu mencoba meyakinkan. "Aku tidak mencintainya," desis Dandelion. “Lalu, siapa yang kau cintai Aracelli?” Queen Aeghtshelonia mulai marah. "Mau sampai kapan kau seperti ini? Kau harus bisa menerima kenyataan bahwa Aracelli sudah meninggal sejak tiga ratus tahun lalu. Kau tidak bisa selalu menutup hatimu seperti ini." "Ini bukan karena Aracelli. Hanya saja, aku tidak menyukai Abigael," bantah Dandelion semakin kesal. "Tetapi, Abigael..." Queen Aeghtshelonia mencoba menjelaskan. "Bisakah ibu tidak selalu mengendalikan hidupku?" "Aku pernah membiarkanmu memilih, tapi lihat hasilnya, gadis yang kau cintai itu mengkhianatimu, apa yang kau dapatkan sekarang?" Ucap Sang Ratu dengan nada tinggi. Dandelion tercekat, ia ingin menyangkal, tetapi sialnya semua itu benar. "Pokoknya aku tidak mau. Tidak mau!" potong Dandelion. Lalu ia melangkah pergi. "Duh..., bagaimana, ya?" ucap Dandelion resah. Tingkahnya menandakan kalau ia sedang bingung. Sebentar duduk. Sebentar berdiri. Tak lama kemudian berbaring di atas kasur kamarnya. "Apa yang bagaimana?" ujar Althaf. Ia tiba-tiba muncul. Lalu berbaring di samping Dandelion sambil melipat kedua tangannya di bawah kepala. "Ckk...," Dandelion berdecak. "Ibu memaksaku bertunangan dengan Abigael. Apa sih maunya?" ujar Dandelion sembari bangkit. "Ya, mau ibumu, kau bertunangan dengan Abigael, itu saja,” jawab Althaf menyeringai. "Ahh..., kau ini tidak bisa membantu. Sudah pergi sana!” usir Dandelion semakin kesal. Althaf tertawa. "Ratu menginginkan yang terbaik untukmu. Tetapi, dia terlalu memaksakan kehendaknya." "lya, dan itu membuatku kesal. Aku merasa terkekang. Dia kerap bersikap otoriter," kata Dandelion. Ia lalu berdiri. Berjalan hilir mudik dalam kamarnya. "Ly.. apa kau sadar bahwa kau sudah banyak berubah?" ucap Althaf, "sangat banyak." "Berubah bagaimana?" "Dulu kau orang yang sangat ramah, kau sering sekali tertawa, apa kau tau bagaimana dirimu yang sekarang?" tanya Althaf. "Jika tidak ada yang lucu bagaimana bisa tertawa?" Ucap Dandelion sadar apa yang dimaksud sepupunya. "Tidak ada yang berubah disini, semua masih sangat menyenangkan, ada banyak hal lucu yang sering kita lakukan bersama, masalahnya ada dihatimu, kini setiap hari kau murung, kau bahkan terlalu sering marah hanya karena hal kecil." Kata Althaf ingin menyadarkan sepupunya, "apa disana begitu dingin?" tanya Althaf menunjuk d**a Dandelion. "Sudahlah, kau mau bantu aku atau tidak?" kata Dandelion tidak menanggapi. "Ya sudah. Jadi, apa rencanamu sekarang?" tanya Althaf. "Aku akan pergi sementara," katanya. Ia lalu duduk di samping Althaf. "Ke mana?" "ke Wellton, dunia ludzi." "Apa? Yang benar saja!" ujar Althaf histeris. "Bukankah....” "Ya. Aku memang pernah sangat marah karena mereka merenggut ayah dan Aracelli," kata Dandelion, "tapi itu sudah sangat lama berlalu. Kini, orang-orang yang membunuh mereka pasti sudah meninggal. Sekarang, mereka bukan lagi orang yang sama. Aku ingin melupakan peristiwa itu. Aku ingin mengubur dan membuang rasa dendam di hati ini!" "Lalu, bagaimana dengan Magica Mundi?" Althaf ikut serius. "Kalau kau pergi, kami tidak akan sanggup mempertahankan negeri ini tanpa bantuanmu.” "Owh..., please! Apakah aku tidak boleh mengambil cuti?” ujar Dandelion. Ia diam sejenak. seperti memikirkan sesuatu. Lalu ujarnya, "Begini saja, malam ini aku akan memberi kekuatan lebih pada Pro Lapidibus'. Dengan demikian, kekuatannya akan bertambah tiga kali lipat dari biasanya. Jadi, walau kutinggalkan beberapa lama pun tidak masalah, Kan?” "Sepertinya bisa, sih," kata Althaf belum yakin. “Ya. Tapi sepertinya aku sedikit tidak enak badan. Kau bantu aku, ya?" ujar Dandelion menyeringai. "Hhhuu..., alasan!" Althaf sebal. "Oke?" Dandelion merajuk. "Ya sudah, ayo!" seru Althaf setengah hati. “Tapi, awas ya. Aku tidak mau disalahkan oleh Ratu. Setelah ini, anggap aku tidak bertemu denganmu malam ini," kata Althaf. "Sipp.. tenang saja," Dandelion mengangguk sambil tersenyum penuh kemenangan. "Menyesal sekali tadi mencarimu,” gerutu Althaf lagi sambil berdiri. Dandelion merangkul bahu Althaf. “Ayo panggil yang lain.” Seketika, mereka menghilang. Kemudian muncul kembali di tempat yang dituju. Ketiga sepupunya yang lain sudah menunggu disana. Mereka pun mulai melakukan ritual yang biasanya dilakukan oleh kelima orang pangeran Magica Mundi. Dandelion, Althaf, Edgar, Dirga, dan Cadmus. Mereka memang satu covens, dan selalu membantu mempertahankan Magica Mundi. Dandelion dan Althaf duduk bersila. Melayang. Berhadapan. Di antara mereka, batu Pro Lapidibus yang berbentuk seperti telur besar teronggok di atap istana. Disangga baja dan dihiasi beberapa permata. Dari jauh, batu iní terlihat seperti piala yang sangat besar. Mereka masih melayang di udara dalam posisi bersila. Kedua tangan mereka diletakkan di atas lutut. Batu Pro Lapidibus bercahaya semakin terang. Mata keduanya berubah menjadi hitam. Mereka merentangkan tangan kedepan. Dalam waktu sekejap, keluarlah semacam gelombang kekuatan dari tangan mereka. Kemudian masuk ke dalam Pro Lapidibus. Proses ini terjadi hanya beberapa saat. Usai melakukan ritual, mereka kembali meletakkan tangan di atas lutut. Lalu melayang turun. "Ahh..., sekarang aku sudah bisa pergi," kata Dandelion setelah selesai. "Kau mau pergi malam ini juga?" tanya Althaf. "Ya iyalah. Memangnya kapan? besok? Atau tunggu setelah aku menikah sekalian?" kata Dandelion. "Yah, terserah kau saja," ucap Althaf. "Kapan kau akan pulang?" "Apa kau begitu menyayangiku?" tanya Dandelion. Althaf memandang geli pada Dandelion. Dandelion terkekeh. "Padahal, aku belum pergi. Kau sudah bertanya kapan aku akan pulang." "Nanti, apa yang akan kau lakukan di sana?" tanya Althaf. "Entahlah," jawab Dandelion. "Aku sudah lupa bagaimana kehidupan di sana. Lama sekali kita meninggalkan dunia itu," ucap Althaf menerawang. Kini mereka sama-sama terdiam, Mematung di tengah senyapnya malam. Mengenang kembali masa empat ratus tahun silam. Saat mereka masih hidup di dunia ludzi. "Jika kau bertemu Daisy, sampaikan salamku padanya, ya," pinta Althaf tiba-tiba. Rupanya, ia teringat pada mantan pacarnya yang juga seorang ludzi. “Ya, akan kusampaikan pada tulangnya. Itu pun kalau kuburannya masih ada," canda Dandelion. Althaf tertawa. "Bisa jadi dia berumur panjang dan mungkin saat ini dia sudah tua." Dandelion menepuk bahu Althaf. "Al..., kita sudah pergi dari sana hampir seribu tahun yang lalu, kau masih saja berpikir dia masih hidup?" Althaf menggeleng. Membenarkan ucapan Dandelion. “Kau jaga diri, ya," ujarnya kemudian sambil menepuk bahu Dandelion. "Al," Panggil Dandelion mulai bersikap dramatis, "terima kasih banyak ya. Kau temanku yang baik. Aku akan sangat merindukanmu." la lalu memeluk Althaf erat. "Ahh..., sudah, sudah. Jangan sok dramatis. Sudahlah cepat sana. Cepetan! Sebelum ibumu datang," kata Althaf. Dandelion melepaskan pelukannya. Tersenyum sejenak. kemudian berpamitan dengan sepupunya yang lain. "Jaga dirimu Pangeran, kau tidak tau keadaan disana seperti apa sekarang." ucap Cadmus. "Ok.." Ucap Dandelion tersenyum. Lalu melangkah pergi ke arah Hutan Croch. Setiba di sana, Dandelion berhenti sejenak. Saat merasa sudah berada di tempat yang tepat, ia kembali merapal kekuatannya. Kedua matanya kembali berubah menjadi hitam. Terpejam. Dan, tubuhnya menghilang dari pandangan, untuk kemudian muncul kembali di sebuah hutan yang sepi. Sebenarnya tempat itu merupakan pekarangan dari rumah mewah milik keluarga Dandelion di dunia ludzi. Rumah ini dibuat hanya sebagai tameng untuk menyembunyikan pekarangan belakang. Padahal, sebenarnya tempat itu merupakan pintu keluar masuk para penyihir yang ingin pergi ke dunia ludzi.                                                                          *  *  * Dikamarnya Jessica sedang sibuk dengan ponsel nya, ia sedang mencari pekerjaan paruh waktu. "Ahh..sepertinya yang ini bisa." katanya semangat saat menemukan lowongan pekerjaan di coffe shop. "Jes.." panggil sang nenek. "Ada apa tante?" Jawab Jessica manja. "Kau ini minta dipukul ya?" Kata neneknya sebal, "sudah tua renta begini kau panggil tante." Jessica terkekeh, "Kau masih begitu bugar, nenek lebih cocok menjadi tanteku." katanya menggoda dan memeluk neneknya. "Sedang apa kau?" tanya Neneknya, "ayo makan, sudah malam." "Umm.. nek.." Panggil Jessica, "nenek ingin aku terus kuliah kan?" "Tentu saja." "Besok aku akan mencari pekerjaan, doakan aku agar diterima ya." Pinta Jessica. "Bagaimana kau bisa fokus belajar kalau kau akan bekerja?" protes nenek. "Apa nenek lupa kalau kepandaianku ini memang sudah ada sejak aku lahir, aku tidak perlu banyak belajar." Kata Jessica sambil bercanda. "Kau ini.." Ucap nenek sambil mengepalkan tangan hendak memukul Jessica tapi tidak jadi. Jessica terkekeh lagi, "Jadi nek, nenek tidak perlu mengirimiku uang lagi setiap bulan, simpan saja untuk keperluanmu, beli pakaian baru atau make up, agar ada pria yang mendekatimu lagi." "Dasar cucu kurang ajar." Kali ini Jessica tertawa lepas, ia suka sekali menggoda neneknya, ia sangat bahagia dan sangat menikmati saat-saat ketika nenek berkunjung seperti ini. "Pikirkan dirimu sendiri, nenek belum pernah melihat sekalipun kau memiliki seorang pacar." sindir nenek. Ahh.. sial.. pikir Jessica, lagi-lagi tentang ini, kenapa semua orang begitu perduli aku punya pacar atau tidak. "Aku punya." Sanggah Jessica. "Dia begitu tampan, kulitnya lutih bersih, tubuhnya tinggi, rambutnya hitam, senyumnya begitu manis, dia baik dan sangat kaya." "Benarkah?" tanya nenek antusias, "kalau begitu kenalkan padaku." "Nanti.." Kata Jessica, "aku akan segera bertemu dengannya." "Dasar anak bodoh." Ucap nenek sebal sambil menepuk dahi Jessica, "berhentilah menonton drama." katanya lalu pergi ke kamar meninggalkan Jessica. "Ishh.. tidak percaya." ucap Jessica kesal, "Dia pasti akan datang padaku." (Dandelion Love quotes: Jika cinta itu mudah, maka puisi tidak.akan sulit untuk dimengerti.)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD