Aurora berlari ke luar dengan piyama yang masih melekat di badannya. Rambut panjang yang terurai acak-acakan itu ikut bergerak mengikuti kecepatannya. Jangan lupakan juga dengan muka bantal yang masih setengah sadar.
Entah ini mimpi atau dia sedang di akhirat, Aurora harus memastikan sesuatu.
"Loh? Kamu kok masih pake baju itu sih? Ini loh ada nak Darren dateng."
Suara berat dengan fitur wajah tegas. Hidung mancung dan rahang yang kelihatan dengan jelas sambil ditutupi sedikit jenggot halus. Matanya yang coklat dan alis tebal serta bulu mata lurus.
"PAPAH!" Aurora berlari masuk ke dalam dekapan Papahnya. Ia langsung duduk memeluk tubuh tegap yang tak luput dimakan usia itu. Menyelipkan wajahnya di dalam bahu sambil memejamkan mata.
"Kamu kenapa lagi, Ra? Berantem sama Luna yah?" Sang Papah yang kaget tetap membalas pelukan anak gadisnya dengan lembut. Meski keheranan, dia tetap membiarkan Aurora mendapatkan kehangatan dari dekapannya.
Dari arah dapur Luna dan Mamahnya ikut kebingungan.
"Psttt, Ra. Oy!" Luna berdecak menyaksikannya tingkah aneh dari sang adik kembarnya. Sementara Mamahnya hanya menganga melihat sikap Aurora.
Sebenarnya bukan satu atau dua kali Aurora bersikap kekanak-kanakan, dan manja. Saat menginginkan uang jajan tambahan, saat meminta izin keluar, atau saat minta pembelaan karena pertengkarannya dengan Luna.
Semua orang di rumah itu paham dengan sikap Aurora yang khas anak bungsu itu.
Tapi, di depan Darren yang notabenenya adalah calon tunangannya?
Biasanya Aurora akan kalem dan jaga sikap, tapi sepertinya wanita itu tidak peduli dengan sikap lamanya. Ia hanya ingin cepat-cepat membalaskan rindu yang menumpuk akan kepergian orang tuanya.
Mamah Gina yang melihat kejadian itu mencoba mencairkan suasana. Ia dari arah dapur mengangkat sebuah baki berisi minuman dengan senyum kikuk.
"Maaf yah nak Darren, Aurora emang gitu. Dia manja banget sama Papahnya." Ia mengode Aurora yang masih asyik memeluk tubuh Papahnya itu untuk berhenti.
"Nggak papa kok, Tan. Santai aja, aku seneng liat kedekatan mereka. Artinya aku harus extra yah, buat perhatian sama Aurora kayak yang Om Leon lakuin." Darren tersenyum kecil, mengangguk mengerti akan sikap wanita itu.
"Ah nggak kok, cukup di posisiin aja—"
"MAMAH!"
Belum selesai dengan kerinduan akan Papahnya, Aurora langsung berdiri memeluk sang Mamah. Membuat tubuh Mamahnya itu terlonjak kaget karen pergerakan tiba-tiba dari Aurora.
Tidak diragukan lagi, Aurora memang benar-benar tidak peduli dengan sikap yang sepantasnya ia keluarkan dulu saat berada di depan Darren.
"Kamu kenapa sih? Kamu nggak papa kan?"
Aurora menangis, "Aku pikir nggak bisa liat Mamah lagi." Lirihnya.
"Maksudnya gimana? Kamu mimpi buruk yah?"
Pertanyaan dari sang Mamah dibalas dengan gelengan kecil. "Ini semua karena Kak Luna, Mah! Gara-gara dia!" Aurora menunjuk ke arah Luna yang kepalanya mengintip kecil dari arah dapur.
Karena dituding dengan jelas, Luna akhirnya menunjukkan dirinya sepenuhnya. Ia lalu berkomat-kamit tidak jelas dengan ekspresi kesal untuk mengisyaratkan Aurora untuk jaga sikap.
"Apa? Gue nggak bakal biarin lo lukain Mamah Papah lagi!"
Luna kembali menyernyitkan dahinya keheranan. Pertengkaran kedu putrinya membuat sepasang suami istri terlihat kikuk di ruang tamu.
Papah Leon langsung berdehem keras. "Kalian berantem lagi sih, udah jangan terlalu berlarut-larut." Dia memandang dua putrinya dengan tegas. Lalu netra coklat itu terhenti di depan Aurora. "Kamu masuk ke kamar gih, pakaian yang rapi. Ini ada tamu loh."
Mendengar hal itu, sontak Aurora berbalik menatap Darren yang sedari tadi menonton drama keluarga mereka.
Aurora lantas mengepalkan tangannya dengan tatapan tajam. "Pergi." Ujarnya dingin.
Orangtuanya kembali keheranan dengan sikap tiba-tiba sang anak. Mamah Gina langsung merangkul Aurora karena perkataan yang baru saja anaknya itu lontarkan.
"Dia nggak pantes ada di sini, Mah! Aku nggak mau ketemu dia, kita nggak boleh deket-deket dia!"
"Aurora!" Papah Leon menatap tegas anaknya yang ia rasa sudah kelewatan saat ini. "Kasih tau Mamah sama Papah alasan kamu marah. Tadi ke kakak kamu, sekarang ke Darren. Ada apa sebenarnya?"
Dengan mata tajam yang masih dendam dengan kematiannya beberapa saat lalu, Aurora menunjuk kasar ke arah Darren. "Dia..." Pandangannya lalu beralih ke arah dapur tempat Luna berada. "Sama Kak Luna selingkuh Pah! Mareka... biarin aku mati dengan cara yang paling kejam." Ujarnya sampai nafasnya tersengal.
"Maksud lo apa sih hah?!" Luna berteriak dari arah dapur, dia langsung berlari mendekat ke ruang tamu dengan mata menyala karena tersulut emosi.
Luna langsung mendorong adiknya akibat mengatakan hal yang tidak-tidak tentang dirinya. Papahnya berdiri dan menahan bahunya sekuat tenaga. "Lo kayaknya udah gila yah, hah?! Gue bahkan nggak pernah bicara sama Darren sepatah katapun, dan lo nuduh gue selingkuh? Maksud lo apa sih hah?"
"Lo nggak bakal ngerti apa yang gue alamin! Lo tuh pengkhianat! Gue, Mamah, Papah, tuh percaya sama lo tapi apa? Lo yang biarin gue mati!"
"Ra, stop! Maksud kamu apa? Siapa yang mati?" Papah Leon kebingungan dengan topik pertengkaran kedua putri kembarnya. Sebenarnya sudah hal biasa melihat mereka bertengkar, tapi baru kali ini ia mendengar pertengkaran yang melebihi permasalahan 'salah shade make up'
Luna melipat kedua tangannya kesal sambil menatap tajam ke arah adiknya. "Dia udah gila, Pah. Aku bahkan nggak minjem baju, skincare, atau barang dia yang lain. Aku juga nggak bikin salah kok, dia nya aja yang tiba-tiba menggila kayak gini."
"Nggak Mah, percaya sama aku. Kak Luna tuh jahat, kita harus pergi sejauh mungkin Mah." Aurora memelas. Dia tidak akan membiarkan kedua orangtuanya mati lagi di tangan sang kakak.
Dia ketakutan, hingga bertindak tanpa pikir panjang padahal kejadian di masa lalunya belum terjadi. Dia lebih dulu hanyut pada emosi dan dendam yang ia bawa dari perasaannya di kehidupan lama.
Dengan segala kekuatannya yang belum terkumpul, Aurora maju beberapa langkah dan mendorong bahu Luna hingga mundur beberapa langkah. "Pergi lo dari sini! Lo seharusnya bukan bagian diri keluarga ini!"
Luna yang merasa tertantang itu juga turut membalas dengan mendorong bahu Aurora dengan keras. "Berhenti ngawur deh lo! Lo mau caper ke Darren kah, sampai harus kayak gini?"
Darren yang sedari tadi kebingungan pun akhirnya angkat suara. "Om, Tante, ini sebenarnya kenapa yah? Aku habis ngelakuin kesalahan yah sampai Rora kayak gini!"
Belum selesai dengan dengan Luna, amarah Aurora kembali memuncak saat melihat calon tunangannya itu berjalan mendekat.
"PLAK!" Tanpa aba-aba, Aurora menatap nyalang dan dengan refleks menampar wajah laki-laki itu. Nafasnya menderu kencang, seolah dendamnya itu terlalu menumpuk hingga tumpah.
Dan sikapnya itu malah membuat orang-orang yang ada di tempat itu keheranan. Terlebih lagi dengan Darren yang hanya mematung sambil memegang pipinya karena tamparan yang baru saja ia terima.
"Ra, masuk kamar!" Papah Leon berkata dengan tegas. Ia harus memisahkan kedua putrinya mengingat masih ada tamu di sini.
"Aku nggak mau tunangan sama dia Pah!" Aurora tau kalau dia belum bisa membuktikan perbuatan kedua orang itu di masa lalu, tapi dia bisa menghentikan hubungannya sebelum semakin dalam.
Lagipula, alasan Luna benci kepadanya karena Darren kan?
"Maksud kamu apa sayang? Kamu kan yang minta pertunangan ini." Dengan lembut Mamah Gina membelas rambut kusut anaknya itu. Ia juga keheranan dengan sikap Aurora yang semena-mena. Tapi emosi Aurora tadi nyata, dia bisa melihat putrinya kesakitan dengan jelas.
Entah apa yang melukainya.
"Pertunangannya belum kejadian kan? Jadi gampang buat di batalin." Aurora berkata dengan datar. Ia berbalik badan dan saling melempar tatapan sinis dengan Luna sebelum naik ke kamarnya.
Di kehidupan kali ini, dia harus membuat rencana agar kejadian gelap di masa lalunya tidak terulang. Banyak yang harus di lindungi, jadi tidak ada waktu untuk membahas hubungan dengan pria manapun.
Perasaannya dengan laki-laki itu, harus hilang di kehidupannya yang sekarang.