Aurora merosot duduk di lantai kamarnya, punggungnya menempel ke dinding. Dadanya naik-turun cepat, masih penuh sisa emosi dari pertengkaran yang baru saja terjadi di ruang tengah. Tangannya terangkat, menutupi wajah yang panas.
Ia ingin menenangkan diri, tapi matanya justru tertarik ke kalender kecil di meja.
Ia bangkit perlahan, mendekat, memicingkan mata. Ia memastikan angka-angka itu tidak menipunya.
Tanggal itu benar. Bulan itu benar. Tahun itu benar.
Empat tahun sebelum semuanya hancur.
Aurora menarik napas kasar, tubuhnya bergidik karena campuran takut dan lega. “Empat tahun… aku beneran balik ke empat tahun yang lalu…”
Tanpa pikir panjang, ia meraih jaket, menyambar topi, dan langsung keluar kamar. Suara langkahnya menuruni tangga memecah keheningan rumah.
“Rora, kamu mau ke mana, Nak?” suara Mamah terdengar panik.
“Aurora, duduk dulu! ” Papah langsung berdiri dari posisinya.
Luna lalu berjalan mendekat dan menahan lengan sang saudari “Gue belum selesai ngomong sama lo.” Luna berdiri dengan wajah sinisnya.
Aurora dnegan cepat menepis tangan Luna dan memperbaiki posisi jaketnya. Setelahnya langsung berlari keluar tanpa berbalik lagi.
“Aku anter aja.” Darren melangkah maju lalu dihentikan oleh suara Om Leon.
Aurora terus melangkah pergi. “Nanti aku pulang,” ucapnya dengan datar dan tanpa berbalik sama sekali.
Ia menuju garasi dan kaku meraih sepeda yang ada di sana.
Ia mengayuh secepat mungkin keluar dari rumah, melawan suara-suara yang memanggil dari dalam sana.
Ia butuh lihat Ara. Ia butuh mengecek Lena. Ia perlu kepastian kalau dua temannya itu masih baik-baik saja dan hubungan persahabatan mereka tidak seperti di masa depan.
Matahari pagi memukul wajahnya, membuat mata Aurora sedikit berair. Ia mengusapnya, tetap mengayuh cepat. Ia belok ke tikungan besar menuju rumah Ara.
Namun, sebuah klakson dengan keras berbunyi membersamai suara mobil yang melaju kencang.
Terlambat.
"Braak!"
Tubuhnya terlempar ke aspal. Sepedanya terpental beberapa meter.
“Ugh…” Aurora meringis sambil memegang siku dan lututnya yang terasa panas terbakar.
Pintu mobil Porsche itu terbanting terbuka. Seorang pria tinggi berlari keluar.
“Rora?”
Aurora membeku sambil memegang sikunya.
Suara itu.
Wajah itu.
“Kak Sam…?” suaranya bergetar, setengah shock, setengah tidak percaya.
Samuel terlihat lebih terkejut dari Aurora. Ia langsung jongkok di depannya. Wajahnya pucat, napasnya tidak teratur.
“Gila, Rora… ini beneran kamu?” Ia meraih bahunya tanpa sadar, suaranya terdengar gemetar. “Astaga… kamu luka? Sakit? Bagian mana yang kena? Kamu bisa gerak?”
Aurora menelan ludah. “Aku… aku baik, cuma kaget aja kok.”
“Baik apanya? Kamu jatuh keras banget!” Samuel memeriksa lututnya yang lecet. Tangannya gemetar sedikit. “Ya Tuhan, Rora… kamu bikin aku kaget setengah mati.”
Tangan kekar Samuel datang mendekap tubuh ringkihnya dengan hangat. Aurora masih mencerna beberapa kejadian yang belum masuk ke akalnya.
Samuel Fabian Prasetya balik! Ini belum terjadi di masa depan!
Aurora diam saja sambil menikmati pelukan tiba-tiba itu. Samuel terlihat begitu terguncang sampai-sampai ia tidak mencoba menyembunyikan ekspresinya.
“Kenapa Kak Sam balik?” Aurora akhirnya bertanya.
Samuel tertawa kecil, suaranya terdengar putus.
Pelukan itu terlepas, Samuel dengan lembut menatap gadis kecil yang sudah lama ia rindukan.
“Kamu nanya itu duluan? Rora, aku hampir nabrak kamu barusan. Kamubau nggak jantung aku hampir copot rasanya?”
Aurora tertegun.
Samuel menghela napas panjang, seperti berusaha menenangkan dadanya sendiri. “Aku kira kamu udah pindah kota, ternyata masih tinggal di kompleks ini yah? Aku bahkan belum pernah denger kabar kamu. "
Ia menggeleng pelan. “Aku pikir aku lagi mimpi.”
Aurora mengalihkan pandangan, pipinya memanas tanpa alasan yang jelas. “Aku cuma buru-buru.”
“Buru-buru apaan sampai ngebut naik sepeda kayak orang dikejar debt collector?” Samuel mengangkat dagunya, menatapnya lebih dekat. “Rora, kamu gemeteran. Kamu abis nangis?”
Aurora reflek menjauh sedikit. “Nggak. Cuma… ribut dikit.”
“Hm. Sama Luna ya?”
“Ketauan banget?”
“Keliatan banget,” jawab Samuel pendek, tapi suaranya lembut.
Aurora mencoba berdiri tapi langsung meringis.
“Aduh, jangan maksa,” Samuel menyangga tubuhnya dengan cepat. “Sini, aku bantu.”
Aurora terdiam. Ia lupa kalau Samuel selalu refleks begitu. Selalu duluan menolong. Selalu lebih perhatian dari yang seharusnya.
Dan sekarang, tatapan itu kembali lagi. Tatapan yang penuh khawatir sekaligus lega yang terlalu dalam.
“Kak Sam,” Aurora pelan. “Kamu balik beneran? Bukan cuma mampir?”
Samuel menatapnya lama. “Iya. Aku balik. Dulu aku janjikan buat pulang?"
Benar, dulu Samuel berjanji sebelum meninggalkannya ke Australia. Bahwa ia hanya menempuh pendidikan laku kembali menjadi seorang abang untuknya.
Tapi di kehidupan lamanya, ia belum pernah sama sekali mendengar kabar kepulangan teman masa kecilnya itu.
Jantung Aurora berdetak cepat, ia begitu merindukan Samuel, tapi ia berusaha sekuat tenaga menahan ekspresinya.
Samuel berdiri, membantu Aurora naik ke mobil. “Udah, masuk dulu. Kamu luka.”
Aurora menolak halus. “Aku harus ke rumah Ara.”
Samuel mematung. “Ara? Jam segini? Kamu mikir apa sih?”
“Aku cuma perlu lihat dia. Penting.”
Samuel menatap lekat-lekat, wajahnya berubah serius.
“Rora… aku nggak tau apa yang terjadi sama kamu, tapi kita duduk dulu oke? Kita urus luka kamu dulu yah?"
Aurora menghindar, ia menggeleng dengan cepat. “Nggak Kak. Aku cuma perlu pastiin Ara sama Lena baik-baik aja.”
Lalu tangan kekar itu menuntunnya berdiri. Menarik pintu mobil dan menarik gadis kecilnya itu untuk masuk di sana. "Kamu udah makan? Kita urus kondisi kamu dulu, baru habis itu kita ke rumah ke rumah temen-temen kamu."
Aurora yang keras kepala luluh di hadapan seorang Samuel. Sosok abang yang selalu ia andalkan sejak kecil. Bohong kalau Aurora tidak rindu dengannya.
Ia memperhatikan Samuel dengan telaten mengangkat sepeda yang di naikinoelhnya tadi masuk ke dalam bagasi mobil. Aurora mengulum bibirnya mengingat masa lalu keduanya yang sangat ia rindukan.
Wanita itu bahkan sdah dewasa, tapi Samuel masih memperlakukan nya seperti gadis kecil layaknya dulu. Aurora bahkan sampai lupa dengan keanehan kepulangan laki-laki itu.
“Kamu masih suka sama bubur ayam yang di depan gebang kompleks nggak?"
Samuel memacu gas sambil menoleh kecil ke arahnya. Aurora hanya mampu mengangguk kecil menyaksikan perlakuan Samuel yang masih seperti dulu.
“Kak Sam kok tiba-tiba pulang?”
Terisi beberapa jenak setelah pertanyaan itu terlontar. Samuel terlihat berfikir juga kebingungan ingin menjawab apa. Tapi laki-laki itu malah tersenyum manis, seolah bukan apa-apa. Seolah tidak terjadi apa-apa.
“Aku cuman mau nepatin janji aku sama satu anak kecil yang pasti nungguin aku pulang.” Ujarnya hangat sambil menatap intens wajah Aurora.
Banyak hal yang ingin diceritakan oleh Aurora. Ia bahkan kebingungan harus memulai dari mana dan bagaimana caranya. Wanita itu pasti dianggap gila jika menceritakan kejadiannya di masa depan, bahwa dia kembali ke masa lalu dan bertemu dengan Samuel yang belum pernah ia dengar kabarnya dulu.
Tapi Aurora sadar, Samuel masih Samuel yang dulu. Masih menjadi sosok abang andalannya.