Rahasia | Bab 4

1012 Words
Aurora meninggalkan mobil sport itu dengan langkah pincang. Tangannya di tuntun dengan pelan oleh Samuel. Setelah memastikan gadis kecilnya itu masuk ke halaman rumah, Samuel lalu berjalan ke belakang dan mengambil sepeda Aurora dengan telaten. Bahkan sebelum Aurora memberitahukan kepulangannya, pintu rumah langsung terbuka dari dalam. Darren Januarius muncul dari dalam rumah dengan wajah berubah tegang begitu melihat Aurora turun dari mobil milik Samuel Fabian Prasetya. Luna berdiri di belakangnya, menatap Aurora dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Ra, kamu kok pulang sama cowok? Dia siapa?” Luna bersuara duluan, terdengar menekan. Aurora menurunkan ritsleting jaketnya sedikit. “Dia Kak Sam, ingat kan? Dia tetangga kita dulu." Samuel mendekat saat menyadari bahwa kehadirannya dipertanyakan. Ia berdiri dengan tegap di depan Luna dan Darren. “ Aku Samuel Fabian Prasetya, . Dulu aku sering main ke sini kok waktu kecil." Luna langsung menoleh ke Darren seperti meminta pembenaran. “Kamu lihat kan. Dia pergi tanpa pamit dan pulang sama cowok.” Darren mengembuskan napas pendek sambil mengusap tengkuknya. “Rora, kamu benaran nggak apa-apa? Kamu tadi pergi dalam keadaan emosi. Kita semua khawatir tau nggak?” Darren bersuara denan nada yang disengaja dilembutkan. Membuatnya berdecih dalam hati. Aurora mendongak sedikit, tatapannya tenang dan menusuk. “Aku baik-baik aja kok, aku cuma cari angin aja tadi." “Ya tapi pulangnya sama cowok?” Luna bersuara lebih keras. Lebih nyolot padahal seharusnya ia tidak berada di sini. “Samuel bukan orang asing,” jawab Aurora cepat. “Dan dia jauh lebih sopan daripada orang yang suka ikut campur urusan yang bukan urusannya.” Samuel nyaris tersenyum mendengar itu. Darren terlihat tersentak kecil. “Aurora, aku cuma mau pastikan kamu aman,” kata Darren dengan suara ditahan. “Kita nunggu kamu dari tadi.” “Nunggu aku buat apa?” tanya Aurora dingin. “Mau ceramah lagi?” Wajah Darren menegang. Luna maju setengah langkah. “Aurora, lo jangan bicara gitu ke Darren. Dia sudah baik sama lo. Dan inget, dia calon tunangan lo!" Aurora mengangkat alisnya. “Ya itu menurut lo! Lagipula aku udah bilang ke Mamah Papah buat batalin pertunangan kita.” Samuel menoleh kaget, belum lama ia pulang hanya demi gadis kecilnya, tapi Aurora sudah direncanakan pertunangan oleh laki-laki lain. "Nggak!" Darren menggeleng cepat, "apaan sih Ra, kamu cuman emosi aja. Kita bakal tetep tunangan kok sesuai rencana. Iya kan?" Aurora berdecih. Beginilah cara Darren memanipulasinya, membujuknya hingga membuatnya jatuh dalam kegelapan. Samuel berdehem kecil. "Kamu masuk aja duluan Ra, inget yah, lukanya jangan sering-sering kena air dulu sama jangan lupa ganti perbannya yah." Aurora mengangguk lembut. “Makasih banyak ya, Kak Sam.” Samuel memberi Darren tatapan singkat, samar antara hormat dan kewaspadaan, lalu masuk ke mobilnya dan pergi. Ketiganya hanya berdiam sampai mobil sport itu hilang dari pandangan mereka. Aurora dengan pelan menurunkan lambaian tangannya dan berbalik hendak masuk ke rumah. Luna berdecih sinis. “Sudah besar masih aja manggil Kak.” Aurora menoleh sedikit, suaranya pelan tapi tajam. “Lebih baik manggil Kak daripada manggil seseorang yang cuma sok peduli.” Luna lalu berkacak pinggang dengan tatapan nyalang. Darren menatap Aurora dengan kecewa bercampur marah. “Rora, serius kita perlu bicara.” “Aku capek,” potong Aurora cepat. “Dan aku nggak tertarik dengar apa pun hari ini.” Aurora masuk ke rumah tanpa menoleh lagi. Sikapnya yang sinis justru memperlihatkan kalau dia tidak bisa ditekan oleh siapa pun. Begitu Aurora masuk ke dalam rumah, Darren terdengar mengembuskan napas dengan berat. Luna berdiri di sampingnya, mencoba melunakkan suasana. “Kamu sabar ya, Ren. Aurora memang lagi aneh aja akhir-akhir ini.” Darren tidak menjawab. Pandangannya tetap menusuk pintu rumah yang sudah tertutup. Laki-laki itu terdiam beberapa saat, hingga akhirnya mengalihkan pandangannya. "Yaudah aku duluan yah, makasih sama sarapannya tadi." Luna mengangguk dnegan semangat, memasang senyum manis di wajahnya. Dibandingkan Aurora yang masih berpenampilan acak-acakan dengan piyama tidurnya, Luna terlihat lebih siap dari segi penampilan saat ini. Padahal yang ingin bertunangan bukanlah dirinya. Darren masuk ke mobilnya dan membanting pintu sedikit lebih keras dari biasanya. Wajahnya merah padam menahan marah. “Sial! Aurora pulang sama cowok lain depan muka gue!" Darren berdecak setengah kesal. " Gue harus cari tau siapa cowok itu!" Gumam Darren sambil menekan setir. Baru saja mobilnya berpacu dengan aspal beberapa menit, ponselnya lalu bergetar dan menarik atensinya. Nama di layar membuat napasnya tersengal sejenak. Mr. Januarius Darren mengambil waktu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat. “Halo, Pah.” “Kamu sudah dekat dengan Aurora?” suara Papahnya langsung menusuk tanpa basa-basi. Darren menatap jalan kosong di depannya. “udah kok pah, aku pastiin pertunangan aku sama Aurora bakal jadi. " Laki-laki itu menghela nafas dengan keras. Untuk saat ini, ia hanya mampu berbohong. “Emang seharusnya kayak gitu, kamu tau kan apa yang akan terjadi kalau perjodohan ini batal?" Suara Papah terdengar dingin dan penuh tekanan. “Papa sudah bicara lagi dengan keluarga Yunandhra. Mereka bakal angkat Luna sebagai pewaris perusahaan setelah lulus kuliah.” Darren mengepalkan tangan. “Luna bukan kandidat yang mau Leo jodohin dengan kamu. Sebaliknya, dia malah kasih putrinya yang nggak berguna buat kamu.” lanjut Papah. “Jadi Papa mau aku pastikan Aurora yang dipilih jadi pewaris?” suara Darren melemah tapi tegang. “Exactly!" Papah tidak memberi ruang untuk keraguan. “Dekati Aurora. Buat dia percaya padamu. Buat keluarganya nyaman dengan kehadiranmu. Nanti saat waktunya tiba, perusahaan Yunandhra akan berada di bawah pengaruh kita.” “Kalau Aurora tahu tujuan Papa, dia nggak akan mau dekat sama aku,” Darren berusaha menahan nada frustasinya. “Kamu pastikan dia nggak tahu,” tegas Papah. “Luna terlalu keras kepala. Papa tidak mau perempuan itu masuk keluarga kita. Tapi Aurora bisa diarahkan. Dia lebih lembut. Dia lebih mudah dibentuk.” Darren menutup mata, merasakan sesuatu antara muak, takut, dan ambisi yang sulit diabaikan. “Baik, Pah,” katanya akhirnya. “bakal aku urus." “Ingat Darren, jngan sampai gagal.” Telepon langsung ditutup. Darren meninju setir dengan keras. “Aurora, jangan bikin semuanya makin sulit,” bisiknya. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Darren sadar betapa besar keinginannya untuk menang, bukan untuk mencintai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD