Pedang Permata Biru

1077 Words
  Malam-malam sebelumnya selalu dilewati tanpa mimpi atau setidaknya mimpi yang terasa menyedihkan. Berusia 24 tahun dan kehilangan orang tua masih terasa begitu menyulitkan. Hidup tanpa orang tua terasa seperti berada dalam penjara tidak kasat mata, jerujinya adalah jeruji penuh keraguan dan kesepian. Dia masih tidak tahu jalan apa yang harus ia ambil jika sedang berjalan seorang diri. Tapi entah apa yang terjadi malam ini, Neo merasa mimpi yang ia alami terasa begitu aneh. Berada di antara peperangan mengerikan yang memakan banyak nyawa. Manusia dan iblis saling mengangkat senjata, berusaha untuk saling memusnahkan. Lalu dia berada di atas tanah yang memerahkan kaki karena genangan darah. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, sementara manusia-manusia yang hampir melepaskan jiwa menatapnya dengan wajah basah karena air mata dan darah. Kepala kecilnya menggeleng ribut saat memaku pandangan pada mulut mereka yang membuka lebar. Urat menyembul di leher dan wajah memerah karena mulai memutuskan napas. Mereka berteriak padanya, teriakan yang tidak bisa dia dengar. Melihat mereka mati dengan sia-sia, kepalanya tiba-tiba terasa penuh dan berdenging. “Apa? Apa yang ingin kalian katakan? Apa? Aku tidak bisa mendengarnya!” Meracau seperti orang gila, Neo tidak tahu apa yang coba mereka sampaikan. Semuanya berubah menjadi kabur, semakin dan semakin tidak jelas. Bayangan mengerikan memburam seiring dengan kesadaran yang mulai mencapai tubuhnya. Lalu saat ia terbangun dengan terduduk dan tangan terangkat, dia sadar kalau dia berada di sebuah kamar mansion yang besar dan nyaman. Napasnya terengah dan ia mengusap wajah. Mimpi itu seperti siksaan baginya, kalau bisa ia tidak ingin mengalaminya lagi. Mimpi itu terlalu nyata dan itu terasa menyakitkan. Dia masih merasa seperti di antara mimpi dan realita saat pintu diketuk untuk kemudian dibuka secara perlahan. Seorang pelayan yang masuk membuat Neo segera menjaga sikap. Keringat sebesar biji jagung yang merembes dari pakaian hangat tidak membuat pelayan itu bertanya dan hanya tetap terfokus mengerjakan tugasnya untuk menghidangkan makanan di atas meja. “Aku hanya akan sarapan sendiri? Bagaimana dengan Tuan … Tuan Arthur?” Dia hampir lupa dengan nama laki-laki pemilik mansion ini. “Tuan tidak sarapan. Dia tidak memakan makanan manusia.” Setelah pelayan berbicara seperti, Neo baru menyadari kalau si pelayan tampak pucat. Baru juga menyadari kalau pelayan itu tidak memiliki bunyi langkah kaki saat berjalan menjauh setelah memberikan senyuman yang ramah. Kepalanya mulai berdenyut lagi. Seharusnya dia sudah menyadari kalau penghuni mansion ini adalah makhluk-makhluk yang tidak wajar. Mereka pucat dan kadang-kadang memiliki tatapan yang kosong. Terlebih laki-laki pemilik mansion. Dia memiliki pesona yang berbahaya. Pesona yang memikat tapi menyesatkan, pesona yang tidak mungkin dimiliki oleh manusia. . . . “Batas antara gelap dan terang sangat tipis. Satu-satunya yang menjadi penentu bagi seorang manusia hanyalah hatinya. Tapi bagi orang-orang yang memiliki obsesi bahkan untuk kebaikan sekalipun, cahaya itu bisa menjadi kegelapan. Tidak ada yang tidak tahu kalau semakin terang cahaya maka bayangan akan semakin gelap. Cara untuk melindungi diri sendiri dari kegelapan itu hanya menjadi sederhana dan melepaskan segala keinginan yang bersifat memaksa. Menumbuhkan keraguan juga akan menjadi suatu petaka yang tumbuh begitu pelan tapi dapat menyesatkan. Jadi bisa dikatakan kalau hati sebagai hakim yang paling kuat dalam mengambil keputusan.” Mata cokelat yang besar dan tajam itu terbuka perlahan. Satu lagi malam terlewati tanpa dia sadari. Dia tidak tidur, tapi ingatan-ingatan dalam beribu tahun kehidupan memutar seperti sebuah film yang tidak pernah bosan untuk ditonton. Seperti kilasan tadi, satu dari sekian banyak kenangan yang dia ingat dari banyak jubelan kejadian di hidupnya. Perlahan mengangkat tangan dan asap-asap hitam muncul dari telapak tangannya. Dia tidak memiliki jiwa, tapi hidup dari keserakahan dan nafsu. Seharusnya bertahan hanya karena menghasuti manusia untuk menjadi tamak dan berkhianat. Memakan jiwa mereka karena sumpah berdarah yang juga menjadi hutang pemusnahan jiwa. Mengerikan, tapi itu kehidupan yang ditakdirkan untuknya. . . . Melewati dinding demi dinding yang telah terlihat tua namun masih begitu kokoh, Neo merasa seperti dapat melihat lukisan banyak kejadian yang terlihat samar di dinding-dindingnya. Tempat ini rasanya tidak asing dan dia tidak menyadarinya karena tadi malam dia hampir tidak sadarkan diri. Malam tadi begitu dingin dan pagi ini juga seperti itu, namun terasa lebih baik karena pakaian yang lebih hangat. Jadi dia memakainya untuk mengitari tempat ini, membiarkan kaki membawa. Hingga akhirnya dia baru menyadari kalau dia telah berada di depan sebuah ruangan dengan daun pintu yang besar. Dia menyentuhnya dan pintu itu mengantarkan sebuah perasaan mistis yang khas. Tapi tanpa tenaga yang besar, pintu terbuka lebar. Neo terperangah sebentar dan tidak dapat menolong diri sendiri yang merasa merinding. Terlebih lagi ruangan ini sangat luas, namun hanya terdapat sebuah wadah kaca di sana. Jadi dia berjalan mendekat, tertarik dengan sesuatu yang belum nampak jelas itu. “Demi Planet Eirini, kami akan berjuang!” “Membuat perjanjian dengan iblis, jiwamu tidak akan pernah tenang!” “Mati! Kita harus membuat mereka mati!” Suara-suara itu merasuki kepalanya, membuatnya kembali merasakan sakit kepala yang menyiksa. Tapi kaki terus melangkah, memasuki lapisan demi lapisan pelindung yang ternyata berada di sana. Lapisan-lapisan itu tidak terlihat, namun memunculkan cahaya biru yang lembut saat ia melewatinya. Hingga saat benda itu sudah berada di depan wajahnya, Neo memerlukan sesuatu untuk menopang tubuh. Tangannya segera menyentuh pinggir meja tempat wadah kaca itu berada lalu terkaget-kaget saat menatap benda di dalam kaca. Sebuah pedang putih dengan permata biru yang menempel di sarung bagian atas, di dekat gagangnya. Ukiran-ukiran berwarna keemasan membentuk pola bunga amaran yang memberikan kesan kuat dan lembut secara bersamaan. Pedang yang terlihat sakral, mengambang di udara dalam wadah kaca yang tidak terlalu besar. Pedang yang menarik seluruh atensinya saat permata birunya mengedipkan cahaya biru yang lemah. “Kamu mendapatkan jalan untuk ke sini, itu tidak masalah. Tapi masuk ke ruangan ini tanpa ijin, terasa seperti kamu telah membuat masalah besar.” Sebuah suara muncul dan mengejutkan Neo hingga dia bergerak berbalik dengan cepat. Matanya agak membesar saat menangkap siluet yang tinggi besar. Dia baru menyadari kalau tubuh laki-laki pemilik mansion ini ternyata sangat tinggi. Mungkin setinggi lebih dari dua meter, semakin meyakinkannya kalau Arthur bukan seorang manusia. “Aku … aku …. Maafkan aku.” Dia tidak dapat menemukan alasan. Di belakang tubuh, tanpa sadar dia menggaruk pinggir-pinggir meja kaca saat menemukan Arthur berjalan mendekat. Tapi kemudian laki-laki tinggi besar itu tercekat saat bau amis memasuki indra penciuman. Mata cokelatnya bergerak ke arah lantai di belakang tubuh Neo saat melihat laki-laki itu agak tersentak. Beberapa tetesan darah muncul dari jari-jari yang tanpa sengaja menggesek keras pinggiran kaca. Ah …, darah segar. Sayang sekali. Darah itu terlalu harum untuk terbuang sia-sia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD