Ibu Sakit

1125 Words
Tara panik melihat keadaan ibunya yang tak berdaya. Ia berusaha untuk mengembalikan kesadaran sang ibu dengan menggosok-gosok telapak tangannya, akan tetapi Ibu Parwati tak kunjung siuman. Tara kemudian berpikir untuk membawa ibunya ke rumah sakit. Akan tetapi, ia kesulitan untuk memapah sang ibu sendirian. Ia lalu berlari ke luar dengan masih berpakaian pengantin untuk meminta bantuan seseorang. "Paman, Paman tolong bantu aku! Ibuku sakit. Tolong, Paman!" ucap Tara meminta pertolongan pada salah seorang tetangga mereka yang sedang berdiri dengan beberapa orang lainnya. Namun, pria itu memilih pergi dan mengabaikan permintaan Tara. Tara tidak putus asa, ia kembali berlari-lari untuk meminta pertolongan yang lainnya. "Bibi, tolong aku, ibuku sakit! Tolong bantu aku untuk membawanya ke rumah sakit," ucap Tara memohon dengan linang air mata. "CIH," wanita itu menepis tangan Tara. "Jangan kau sentuh aku dengan tangan kotormu! Aku tidak ingin putraku bernasib sial karena disentuh oleh gadis yang tidak bermoral sepertimu," pungkas wanita itu pula. Tara menangis mendengar tutur kata wanita yang biasanya sangat akrab dengan ibunya. "Pergi sana! Minta tolong pada yang lain saja," pungkasnya lagi dan mengusir Tara dengan kasar. Wanita itu beranjak pergi meninggalkan Tara yang diam terpaku. Tara lalu melangkah gontai, tubuhnya seakan tidak berdaya menghadapi setiap hinaan dari orang sekitar. "Lihat itu! Dia gadis yang tidak bermoral. Dia ditinggalkan jodohnya tepat dihari pernikahannya hari ini." "Wajahnya memang cantik tapi kecantikannya itu tidak seperti karakternya," "Hei, bukan hanya itu, dia benar-benar wanita yang tidak punya harga diri. Dia menyerahkan tubuhnya pada laki-laki lain, padahal dia sudah bertunangan." "Setelah kejadian ini aku yakin tidak akan ada laki-laki yang mau menikahinya," "Hahaha ...kau benar, lagipula siapa yang mau dengan barang bekas?" HAHAHAHA. Begitulah mereka menghina Tara. Gelak tawa mereka bagai pisau tajam yang mengiris hati dan perasaan Tara. Ia hanya bisa tertunduk lesu mendengar semua ejekan dan hinaan itu. Dia bahkan tidak mampu untuk membela dirinya saat ini. Kondisinya memang sangat buruk. Karena hanyut dalam pikiran ia sampai tidak memperhatikan jalan. Sebuah bajai datang dari depan menuju ke arahnya. Prrriiiittt prriiiittt Si supir bajai telah membunyikan klaksonnya memperingati Tara. Namun, sepertinya indera pendengar gadis itu tertutup karena masalah yang sedang ia hadapi saat ini. "Aaakkkhh!" Tara berteriak sambil menutupi wajahnya karena terkejut saat moncong bajai itu menuju ke arahnya. "Hei, Nak! Kau tidak apa-apa?" tegur supir bajai itu menjongokkan kepalanya ke luar. Tara tersadar. Bajai itu tak sampai menabraknya. Si supir bajai pun ke luar dari bajainya. "Kau tidak apa-apa?" Tara seperti orang linglung. "Yah aku ... aku ..." ucapannya terputus-putus. Ia terlihat sangat bingung dengan dirinya sendiri. Supir bajai memperhatikan penampilan Tara yang mengenakan pakaian pengantin. "Sepertinya kau baru saja menikah?" ucap supir itu bertanya. Tara memandangi dirinya yang masih mengenakan lehenga dan dupatta. Kesadarannya pun kembali, ia teringat akan ibunya yang sekarat. Sontak saja Tara histeris dan menangis, hingga membuat supir bajai itu heran. "Kenapa kau menangis, Nak? Apa kau dalam masalah?" Tara menatap supir bajai itu dengan memelas. "Paman, to-tolong aku, ibuku sedang sekarat. Aku bingung bagaimana membawanya ke rumah sakit. Tidak ada sesiapa yang mau menolongku. Aku mohon, Paman!" Tara melipat kedua tangannya untuk memohon. Supir bajai itu menjadi tidak tega. Ia pun merasa iba melihat airmata yang mengalir di pipi Tara. "Baiklah, ayo!" Keduanya pun melangkah hendak menuju kediaman Tara. Namun langkah keduanya terhenti saat beberapa wanita paruh baya menyoraki mereka. "Hei Pak, kenapa kau membantu gadis yang tidak bermoral itu? Dia gadis yang tidak tahu malu, kenapa kau malah menuruti permintaanya?" sorak salah seorang ibu-ibu sekitar. "Ya, benar. Dia gadis yang ditinggalkan jodohnya dihari pernikahannya hari ini." "Ya, ya itu benar!" tambah warga yang lain. Supir bajai mengalihkan pandangan pada Tara yang tertunduk. "Dia itu berselingkuh dengan laki-laki lain, bahkan dia tidur dengannya. Aku bahkan merasa jijik untuk mengatakan itu, CIH!" cetus wanita itu sembari meludah. "Kalau kau merasa jijik kenapa kau mengatakannya kepadaku, Nyonya? Itu artinya kalian masih peduli padanya," jawab supir bajai pada wanita itu. Si wanita itu pun terdiam. "Kalian menghakimi gadis yang tidak berdaya ini, apa kalian sudah merasa kalau diri kalian itu telah bersih dari noda? Aku yakin diantara kalian pasti membuat suatu kesalahan juga," Para ibu-ibu itu saling melirik tidak suka dengan nada perkataan supir bajai itu. "Jika seseorang ingin berbuat baik kenapa kalian menghentikannya? Aku membantu hanya karena rasa kemanusiaan. Aib itu seperti bangkai, biarlah bangkai orang lain tersimpan rapat untuk diri mereka sendiri. Kalian jangan ikut campur untuk menggalinya. Kuburlah bangkai masing-masing, karena kalau tersebar baunya akan meresahkan semua orang, seperti yang kalian lakukan sekarang ini." Tutur supir bajai itu membungkam mulut mereka. Suasana pun terhening. "Ayo, Nak!" ajak supir bajai itu kemudian. Tara dan si supir bajai masuk ke dalam rumah. Supir bajai terkejut melihat kondisi Ibu Parwati yang sudah tak sadarkan diri. Ia membantu Tara untuk membawanya ke rumah sakit. Supir bajai bergerak cepat setelah mengetahui kondisinya yang tampak memprihatinkan. Beberapa saat kemudian setelah sampai di rumah sakit, Dokter masih melakukan pemeriksaan pada Ibu Parwati. Tara dan supir bajai masih menunggunya. Tara sangat mencemaskan kondisi kesehatan ibunya. Di tengah kegalauanya ia terus berdoa demi keselamatan ibunya itu. Tak lama kemudian dokter pun ke luar. Tara menghampiri sang dokter dengan sumringah. "Dokter, bagaimana kesehatan ibuku?" tanya Tara harap-harap cemas. Wajah dokter itu tampak lesu. Tara semakin cemas dan khawatir, ia buru-buru masuk ke dalam untuk memastikan kondisi ibunya. Tampak tubuhnya terbaring lemah. Tara menitikkan air mata menyaksikan semua itu. "Ibu ...Ibu ..." ucapnya meraup pada tubuh ibunya. Ibu Parwati dalam keadaan setengah sadar. Ia dapat merasakan sentuhan dari putrinya. Perlahan ia membuka kedua matanya. "Ibu," tangis Tara merasa lega karena meyakini kondisi ibunya baik-baik saja. "Tara, Sayang," ucap ibunya lemah. Tara menatap ibunya dengan linang air mata. Ibu Parwati berusaha untuk tersenyum. Ia menghapus air mata putrinya dengan jemarinya. "Jangan menangis, Sayang!" Tara tak dapat membendung air matanya. Ia menggenggam tangan wanita paruh baya itu. "Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak dapat menemanimu setelah ini. Kau harus menjaga dirimu dengan baik-baik. Jangan biarkan orang lain semena-mena terhadapmu! Ibu percaya kepadamu, kau tidak akan pernah melakukan hal yang dituduhkan padamu." Tara menangis terisak dan tak melepas genggaman tangannya. "Ibu, jangan berkata begitu! Aku takut sendirian, Bu. Siapa yang akan menemaniku kalau Ibu pergi? Jangan tinggalkan aku!" "Kau harus jadi wanita kuat, ja~jangan pernah me~nyerah. Ii~ibu sangat menyayangimu," Tangan Ibu Parwati yang semula berpegang erat pada Tara menjadi hilang pegangan. Tara tersentak saat tidak merasakan lagi pegangan ibunya. Ibu Parwati menghembuskan napas terakhirnya. Ia meninggalkan Tara dalam kondisi terpuruk. "Ibu!" Tara mencoba memanggil ibunya. "Ibu!" Ibu Parwati tak menanggapinya lagi. "IBU!" Tara histeris. Ia memeluk tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa itu. Tangisannya pun pecah dalam pelukan ibunya. Sang Dokter dan supir bajai mendengar teriakan Tara. Mereka menghambur ke dalam dan melihat kesedihan gadis itu. Dokter dan supir bajai yang membantunya hanya bisa menunduk. Mereka dapat merasakan bagaimana kesedihan Tara saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD