BAB 3

1607 Words
’Bodoh, Bodoh apa yang kamu lakukan Rendra ?’ runtuknya seorang diri. ditendangnya semua benda yang ada dihadapannya saat itu. Bahkan ia menggenggam surainya erat dengan kedua tangannya frustasi. 'Mengapa justru aku yang menyakitinya.? aku bahkan tidak mampu membantunya, aku terlalu malu dengan sikapku. Sesaat se-tan membuatku lupa diri. Aku tak mampu menahan nafsuku. Perasaan ingin memilikimu seutuhnya begitu kuat. Awalnya aku hanya ingin mengecap bibirmu namun saat aku mulai merasakaannya aku mulai gila dan tak mampu untuk berhenti. Fikiran liarku mengusai diriku. Membuat aku lepas kontrol. Mira Maafkan aku... Maaf bahkan seribu kalipun aku akan mengucapkannya jika kamu mau memaafkan aku. Tapi Mira, aku hanya ingin kamu tahu jika aku sungguh-sungguh mencintaimu. Aku, aku sama sekali tak terima jika ada laki-laki lain yang ingin memilikimu, Apalagi setelah aku dengar jika Dimas yang dibantu Rafiq sangat ingin memperk*samu. Aku tahu Dimas bukan orang yang pantang menyerah, ia pasti akan melakukan semua hal untuk mencapai keinginannya. Tetapi kenapa justru aku yang menyakitimu?. Aku tahu aku bodoh dan egois. Aku cemburu Mira, melihatmu menunggu kedatangan Dimas. Cemburu membuatku hilang kendali. Aku begitu marah saat kamu dengan ikhlas datang atas permintaan Dimas. Tapi aku berharap kamu tidak begitu membenciku Mira. Maafkan aku yang hanya bisa memaksamu. 'Kamu tahu ? Pertama kali bertemu aku sama sekali tidak bisa melupakanmu. Kamu mungkin lupa hari dimana kamu pertama masuk saat MOS berlangsung kamu yang sangat ceria sungguh membetot seluruh perhatianku padamu. Tapi aku tahu, jika kamu tipe anak yang dengan mudah memiliki banyak teman dan sulit untuk aku dekati. Tapi hari itu kamu yang menemuiku. Aku sangat senang hingga aku tidak bisa berhenti menatapmu. Plester yang kamu beri selalu aku simpan dengan baik.' ---- Sesaat Rendra teringat akan masa lalunya dipandanginya langit-langit yang di penuhi gemerlap bintang karena memang hari semakin larut. Gejolak cinta yang ia tahan hampir setahun ini meledak begitu saja. Sekarang yang bisa ia lakukan hanya meminta Bi Hanum seorang penjual gorengan pinggir jalan untuk membantu Mira. --- Rendra berjalan mendekati Bi Hanum yang memang sudah dikenalnya cukup lama. “aya naon teh Kasep, kok malam-malam gini masih disini ?” tanya Bi Hanum saat melihat Rendra di dekatnya. Sebenarnya Rendra merasa tak enak tapi ia tak tahu harus meminta tolong kesiapa lagi. “Emm, Bi, aku boleh minta tolong pinjam baju? dan mohon diberikan ke wanita yang ada di gedung belakang sekolah ?” sahutnya sambil menggarukkan kepalanya yang tak gatal demi mengurangi rasa canggungnya. “Cewek ? kenapa ada di gedung belakang atuh Kasep ?”. Bi Hanum semakin kebingungan dengan tingkah Rendra, ia tahu selama 3 tahun di Sekolah Rendra tak pernah terlibat kisah dengan wanita manapun. “Maaf Bi, tapi aku tak bisa ceritakan sekarang, aku hanya ingin Bibi untuk membantu wanita itu, dan aku mohon jangan bilang aku yang memintanya karena ia sangat membenciku.” “Baik Bibi bantu, karena selama ini kamu juga banyak bantu Bibi, bantu Bibi merapikan barang jualan Bibi. Soal baju alhamdulilah Bibi bawa baju ganti mungkin pas untuk wanita itu.” “Terima kasih yah Bi. “ Ada perasaan bahagia di hati Rendra mendapatkan bantuan untuk Mira, senyum tulus tersemai di bibirnya. Namun hatinya tetap gelisah, Sehingga ia memutuskan menunggu Mira keluar. Ia ingin memastikan sendiri jika Mira baik-baik saja. Walau pastinya Mira tak akan mungkin merasa baik-baik saja akan perbuatan b***t Rendra tadi. ---- Bi Hanum yang sudah di dalam gedung belakang sekolah tempat Mira berada. Ia begitu kaget melihat tampilan Mira yang masih bertelanj*ng dengan menangis sesengukkan. Tangannya terjulur menutupi aset berharganya. Ia merasa sangat miris dengan keadaan Mira saat ini. Buru-buru ia menghampiri Mira dan berusaha menutupi ketelanj*ngan Mira “Neng, udah gak usah nangis lagi. sekarang Neng pulang udah malem. Sini biar Bibi yang pakaikan Neng baju.” Mira sama sekali tak menjawab, ia masih terus sesengukkan namun ia tetap menurut saja saat tangan Bi Hanum berusaha memakaikannya baju serta celana. “Bisa jalannya, Neng ?“ tanya Bi Hanum, Karena saat memakaikan celana sambil berdiri saja Mira bergidik kesakitan pada daerah kewanitaaanya. “Bisa, bisa, Bi” Mira sedikit memaksakan diri. Ia tak mau berada di tempat terkutuk ini lama-lama. Mira diantar Bi Hanum sampai rumah dengan berjalan meski tertatih. Dengan langkah gontai Mira masuk ke rumahnya dan mencoba tersenyum. “Terima kasih yah, Bi “ sesakit apapun Mira ia pasti tak akan melupakan jasa orang lain padanya. “Mira, Kamu kenapa Nak ? kenapa kamu pulang selarut ini ? kamu tahu dari tadi perasaan Ibu gak enak ? apa kamu baik-baik saja Mira ?“. Berbagai pertanyaanpun dilontarkan Ibu. Ia merasa dari tadi pikirannya tak enak. namun Mira hanya diam saja, ia tak mampu berucap apa yang baru saja terjadi. Hanya anggukan dan senyum sebagai jawabannya. Dan saat didalam kamar Mira. Mira POV Setelah sampai kerumah aku langsung masuk ke dalam kamarku, tanpa berniat menjawab pertanyaan ibuku lebih lanjut. Bukan berarti aku anak durhaka yang mengabaikan ibunya, aku hanya tak mampu untuk jujur saat ini. Ku tutupi kepalaku dengan bantal aku menangis sepanjang malam sesekali aku tutup mulutku takut suara tangisku menjadi nyaring dan terdengar oleh ibu. Kutumpahkan semua rasa sesak di dad*ku. Saat seperti ini aku sangat merindukan ayah, sosok yang tegas namun penyayang. Seandainya ayah ada, maka aku akan menceritakan semua ini padanya. Ayah, Kau pasti punya jalan terbaik untukku. Ia pasti akan menghajar lelaki itu karena berani menyakiti gadis kecilnya. Dan mengapa ia Tuhan ? mengapa ia yang justru menyakiti aku?. Saat kemarin aku masih mengadukan hati kecilku padaMu jika aku sudah memiliki laki-laki yang aku suka. Tapi sikapnya membuat aku ragu, apa benar ia seperti yang aku kagumi selama ini ? Mira POV end --- tanpa Mira tahu ada seorang laki-laki yang berada diluar sedang menatap kamar Mira dengan perasaan hampa. Ia sama terpukulnya dengan Mira, Siapa lagi kalau bukan Rendra. --- 'Pagi hari aku terbangun dengan mata yang sembab. Sepertinya aku terlalu lama menangis. Aku harus mengompres mataku agar ibu tidak tahu. Segera aku masuk ke toilet. Sesaat kupandangi diriku di kaca. Ku sentuh pay*daraku yang masih membekas kemerahan. "Haah!. " Kudongakan kepalaku ternyata memang bukan mimpi. Aku berharap semua hanya mimpi. Dan bangun dengan harapan yang sama melihat Rendra di sekolah dengan perasaan berdebar. Tapi sekarang apa yang ia lakukan bahkan membuatku jijik dengan diriku sendiri. Ibu maafkan aku, aku tak bisa menjaga diriku sendiri. Sekarang aku bahkan sudah tidak perawan. Kehilangan kehormataanku dan membuat diriku menjadi tidak berharga. Ibu aku harus bagaimana, Bu ? aku bahkan tak tahu lagi apakah aku bisa melanjutkan mimpiku atau tidak'. Mira POV end. -- Mira tetap berangkat sekolah ia tak ingin ibunya sampai curiga. Namun sampai di sekolah Mira sama sekali tak memiliki semangat. Fikirannya terlalu sibuk memikirkan nasib dirinya nanti, Ia takut jika Rendra akan melakukan hal yang lebih gila lagi. Sepanjang pelajaran Mira selalu saja diam. Bahkan sekarang Mira merasa trauma, ia tak mau dan akan merasa takut jika melewati gudang belakang sekolah. Dewi menaruh curiga karena sejak tadi melihat Mira diam saja. ”Mira... Hei lo kenapa sih! kok diem ajah ? sekarang jam pelajaran olahraga kita disuruh kumpul di belakang sekolah” Tatapan Dewi menyiratkan jika ia merasa heran dengan perubahan Mira yang terasa janggal. “Apa ?” Mirapun berdiri dari duduknya. “Be... belakang sekolah tidak... tidaaakkk jangan aku mohon jangan” pekiknya yang hampir berteriak. Kakinya terasa goyah membuat tubuhnya lunglai tak bisa ia tahan. "Dewi gue mohon, gue gak mau kesana Dewi tolong gue ! tolong jangan paksa gue kesana. Tolong bilang ke Pak guru gue gak bisa. Hiks... hiks... !". Gadis itu bersimpuh di depan Dewi sambil memegang tangan Dewi dengan kedua tangannya yang bergetar hebat Isak tangis tak dapat ia bendung. Mira begitu ketakutan. Dewi semakin merasa khawatir, dalam hati Dewi bertanya mengapa Mira terlihat begitu ketakutan ? ---- Flashback on Rendra. Hari ini tidak seperti biasanya. Karena sekolah mengadakan acara penyambutan murid baru. Akan ada beberapa pertunjukan mengenalkan setiap ekstrakulikuler di sekolah. Dan aku kedapatan menjadi striker sepak bola. Aku sangat senang karena aku memang senang dalam berolahraga. Apalagi sepak bola. Kenangan di saat ayah pernah mengirimkan aku bola waktu aku berulang tahun yang ke tujuh membuat aku begitu menggilai permainan bola. Tetapi satu hal yang tak kusukai. Yaitu Menang. Jika orang lain akan berharap kemenangan justru aku begitu takut, aku takut. Aku yang menang dan sama sekali tidak ada orang di sampingku untuk mengucapkan selamat. Aku takut orang lain tahu jika aku tidak memiliki siapa-siapa. Bahwa aku adalah anak yang dibuang. Baik, aku akan main tapi tak akan menang. Aku akan menahan sampai batas kemenangan. Tiba di sekolah telah ramai dengan siswa-siswi baru. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik sampai mataku melihatmu. Kamu yang sedang tertawa di bawah guyuran sinar mentari jauh lebih menawan dari apapun. Tanpa ku atur langkahku terus mengikutimu. Sangat nyaman rasanya melihat senyummu. Kulit kuning langsat, dengan rambut hitam sebahu dan jangan lupa alis matanya yang tebal namun beraturan membuat wajahmu semakin cantik. Ingin sekali aku menyapa sekedar bertanya siapakah gerangan bidadari di depanku? tapi sekali lagi aku terlalu malu. Sampai suara temanmu menyadarkan aku jika aku masih belum pantas untukmu. dan saat pertandingan sepak bola berlangsung. Sesuai janjiku aku tak akan membuat grupku menang. Biar hanya beberapa gol yang aku ciptakan setelah itu aku akan membiarkan lawan memenangkan pertandingan. Tetapi niatku seketika berubah ketika aku lihat kamu yang berdiri di depan penonton. Sesaat ku dengar kau menyorakinku ”Ayook... No. 8 maju kamu pasti bisa.” Jantung ku begitu berdebar. Tunggu, Apa ia sadar sejak tadi aku membuntutinya? Hhaah. Aku jadi sangat bersemangat sekali, seketika grupku berhasil menang. Sampai suara hosh mengingatkanku. “Selamat untuk grup kelas 3C kalian menang telak berkat striker berbakat Harendra Putra. Silahkan untuk Rendra maju ke depan mengambil tropi.” Tidak, tidak aku tak ingin ini. Aku tak mau sampai orang tahu aku sebatang kara. Akupun berlari menjauh dari keramaian. Dan aku bersyukur kamu juga telah pergi sebelum pertandingan selesai. Hemmm, sejak dulu aku memang terlalu pengecut. Flashback Rendra end
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD