5. Setangkai Tulip

2029 Words
Saat aku mulai menyerah dengan semuanya, aku akan yakin jika kamu memang layak untuk diperjuangkan. ***** Setelah bus yang mereka tumpangi berjalan merayap di sepanjang jalan, akhirnya daerah rumah Azkia sudah terlihat. Gadis itu segera berdiri, dan lagi-lagi Regan mengikutinya. Azkia tak mau berdebat kembali di sini, karena akan mengundang sorot mata dari orang sekitar. Ia sangat tidak suka menjadi pusat perhatian. Jadi, yang dilakukan saat ini oleh Azkia hanyalah memutar bola matanya malas dan berjalan cepat mendahului Regan. Mungkin itu satu-satunya cara yang bisa dilakukan Azkia untuk menghindar, namun sepertinya sia-sia, karena Regan akan tetap mendahului dan menyamakan langkah dengan langkah kaki Azkia. "Emang rumah lo di sini juga?" tanya Azkia saat mereka telah turun dari bus. Regan tersenyum dan menggeleng. "Rumah gue jauh." "Terus lo ngapain turun?" Regan terkekeh dan tak merasa jika gadis di sampingnya ini, berusaha menghindarinya. "Kan udah gue bilang, kalau mau ketemu sama lo. Emang salah?" “Lo maunya apa sih, Gan?” “Temenan sama lo.” “Nggak ada untungnya lo temenan sama gue,” ucap Azkia berani sambil mengangkat wajahnya menatap Regan. Regan tersenyum miring, lalu memainkan lidahnya. “Gue juga nggak berniat cari keuntungan. Gue beneran tulus mau temanan sama lo.” Azkia tertawa sumbang. “Tulus? Tulus dari mananya? Lo tiba-tiba ngajakin gue temenan, padahal lo tuh anak baru. Apa menurut lo itu nggak aneh? Sementara anak-anak di sekolah banyak yang nggak suka sama gue dan nggak mau temenan sama gue.” “Ya, kan, gue bukan mereka, Azkia. Gue sama mereka jelas-jelas beda, lah.” “Ya udah, samain aja pemikiran lo sama mereka. Itu bakal lebih baik.” Regan mengusap rambutnya ke belakang dengan frustrasi. Ia benar-benar tidak habis pikir, kenapa gadis di depannya ini sama sekali tidak berminat atau tertarik untuk berteman dengannya. “Azkia, emang salah ya kalau gue cuma mau temenan sama lo?” "Salah, Gan! Lo harusnya nggak perlu—" "Gue nggak peduli," jawab Regan cuek. Sesuatu yang ia inginkan, harus ia dapatkan. Itu lah prinsip hidup Regan selama ini. Toh, selama hal yang positif dan baik-baik saja, tidak masalah, kan? "Gan ...." "Lo aja belum jawab pertanyaan tadi. Jadi gue mau nagih jawaban." Azkia tiba-tiba menghentikan langkahnya, namun mulutnya tetap diam. Ia tidak berniat akan membuka suaranya. Setelah Regan menyadari sesuatu, ia memilih bertanya, "Jadi gimana, Azkia? Mau nggak?" Azkia menghela napas sekilas dan kembali melangkahkan kakinya. Namun, Regan tetap mengikutinya di belakang, walau Azkia terus mengabaikannya. "Masih nggak mau ya, Azkia?" tanya Regan dengan sedikit berteriak. Azkia terus berjalan. Rumahnya sudah terlihat, namun terasa masih jauh karena Regan yang terus mengikutinya. "Azkia ...." Azkia tetap mengabaikan panggilan Regan. "Azkia." "Azkia Adisty!" Akhirnya gadis yang sedari tadi namanya dipanggil, menghentikan langkahnya tepat di depan rumah dengan pagar besi hitam. Ia memutar tubuh menghadap Regan dan siap untuk marah-marah dengan lelaki itu. "Mau lo apa, sih?!" "Mau jadi temen lo, Azkia. Apa dari tadi omongan gue kurang jelas?" "Gue nggak mau," jawab Azkia tetap pada pendiriannya. Regan kembali membuka matanya lebar-lebar. Perkiraannya tentang Azkia sungguh tepat. Gadis ini terlalu banyak rahasia yang harus dipecahkan. Gadis itu menyimpan sesuatu yang disimpannya rapat hingga membuat teka-teki bagi Regan. Apa lo bukan makhluk sosial dan bisa hidup sendiri? Azkia ... hidup itu keras! Ingin rasanya, Regan mengatakan kalimat itu pada Azkia, namun ia paham jika kata-kata itu terlalu menyakitkan ditujukan kepada orang yang baru saja kehilangan. Regan berpikir, mungkin karena kepergian Danu yang membuat Azkia seperti ini. Setelahnya, Azkia membalikkan badan dan membuka pagar besi hitam untuk segera masuk ke rumah. Sementara, Regan mengembuskan napasnya kasar. Ia hanya memandang punggung Azkia yang semakin lama semakin hilang karena pintu rumahnya tertutup kembali. Lelaki bermanik tajam itu seolah memberikan ruang kepada Azkia untuk bergelut dengan pikiran dan waktunya sendiri. Nu, ini berat. Sekarang gue tahu, kenapa lo begitu tergila-gila sama Azkia. Dia benar-benar beda. Regan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia membalikkan tubuh dan segera kembali ke sekolah untuk mengambil sepeda motornya, karena ada satu tempat lagi yang harus ia kunjungi. Tempat putih nan mencekam yang akhir-akhir ini sering kali menjadi tempatnya berpulang selain rumah. ***** "Bunda ... Azkia pulang!" Azkia berjalan memasuki rumah dengan senyum yang merekah walau sebenarnya perasaannya kini telah bercampur jadi satu. Takut, kesal, sedih, khawatir, semua ada di pikiran Azkia saat ini. Mata Azkia menatap Bi Asri yang kini sedang berjalan menuju halaman belakang rumah, tempat di mana bundanya berada. Dengan cepat, Azkia mengambil makanan bundanya dan berkata, "Biar Kia aja, Bi." Azkia menatap Bi Asri yang sedang gelisah seperti ingin berkata sesuatu. Ia mengetahui apa permasalahannya kali ini. "Bunda, marah-marah lagi ya, Bi?" Bunda Azkia memang sering melempar barang, berteriak kencang tidak terkendali. Tidak jarang pula Azkia harus terkena luapan bundanya itu. "E-eh, iya Mbak Kia. Marah-marah sambil teriak nama yang sama," lirih Bi Asri raagu-ragu, karena takut jika saja Azkia akan semakin kepikiran, sekalipun hal itu sudah terjadi saat ini. Azkia tahu apa maksud perkataan Bi Asri tentang nama yang sama. Pasti nama ayahnya yang dipanggil. Lelaki yang membuat Azkia tidak pernah mau mengenal cinta lagi, karena telah dihancurkan oleh cinta pertamanya—ayah Azkia. Lelaki yang membuat bundanya menjadi seperti ini karena terlalu terpukul atas kehilangan. "Ya udah, Bi. Kia ke belakang dulu, ya?" Azkia berjalan menuju halaman belakang, dengan tangan yang kini membawa nampan berisi bubur dan segelas air putih untuk bundanya. Gadis itu tersenyum sekilas, lalu duduk di samping bundanya yang kini sedang menghadap ke kolam ikan di hadapannya. Gemericik air yang mengalir dari pancuran kolam menjadi satu-satunya suara di antara dua perempuan itu. Hingga pada akhirnya, Azkia yang menjadi pihak yang pertama kali bersuara. "Lumutnya udah banyak ya, Bun? Besok Kia biar telepon tukang bersih kolam, deh. 'Kan sayang, ikannya jadi nggak kelihatan." Azkia mulai mengarahkan sesendok bubur kepada bundanya. "Bunda makan dulu, ya? Habis ini Kia cari tahu, ikan hias apa yang bagus. Biar kolamnya makin cantik." Sembari menyuapkan bubur pada bundanya, Azkia mulai bercerita. "Bun, salah nggak kalau Kia tiba-tiba kangen sama Danu? Tapi ... semenjak Danu meninggal ada cowok yang ngajak Kia kenalan. Namanya Regan, Bun. Dia berusaha pengen temenan, tapi Kia tolak. Kia nggak salah 'kan, Bun?" Azkia menatap bundanya yang kini sedang mengunyah bubur dalam diam. Ia menghela napasnya sekilas sebelum melanjutkan. "Kenapa ya, Bun? Setiap pertemuan itu pasti akan berakhir dengan perpisahan? Kia takut ... nantinya Regan juga akan pergi." Bunda Azkia masih diam dan tak menjawabnya. "Bun, nggak apa-apa, ya? Kia kayaknya udah nggak percaya cinta lagi. Bahkan ... Kia udah lupa bentuk dan rasanya kaya gimana." Azkia memejamkan mata sembari menarik napas panjang sebelum ia embuskan kembali. Sementara, tangannya terulur dan mengusap punggung tangan bundanya dengan lembut. Menyusuri setiap tangan hingga pergelangan dan ia lakukan beberapa kali dengan penuh kesabaran. Azkia hanya ingin trauma yang ia dan bundanya dapat bisa berkurang dan berdamai dengan apa yang sudah terjadi dan digariskan oleh Sang Pencipta. ***** Suara mesin pendeteksi kehidupan berbunyi konstan di ruangan putih dan sunyi ini. Masih ada seorang gadis di sana yang bernapas, namun kelopak matanya tak kunjung terbuka. Terbukanya mata indah itu, akan sangat dinantikan oleh lelaki yang kini menggenggam erat tangan lemah gadis itu. Banyak selang-selang yang merupakan sumber kehidupannya selama di ruangan sunyi ini. Regan menyentuh pipi gadis itu. Ia tersenyum miris, saat melihat banyak goresan luka di wajah cantiknya. Baru dua hari berlalu, namun bagi Regan sudah dua tahun lamanya ia tidak mengobrol. Regan sungguh merindukannya. Rindu saat mereka melempar canda tawa. Rindu saat saling mendekap. Pun, rindu senyum cantik yang selalu tertaut di wajah cantik gadis itu sebelum semua ini terjadi. Sebelum kabar buruk yang membuat gadis itu berakhir di ranjang rumah sakit. Kabar yang menghancurkan harapan Regan. Kabar yang membuat Regan terus menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi gadis berharganya itu. "Ta, sakit banget, ya? Coba aja waktu itu gue nggak pergi balapan, pasti lo nggak bakal keluar sendirian." Tatapan Regan beralih ke vas bunga yang ada di nakas samping brankar tempat Retta berbaring. Setangkai tulip itu tidak terasa indah karena tempatnya di ruangan yang penuh duka ini. Regan tersenyum. "Gue bawain lo bunga tulip. Cuma satu, karena itu ibarat lo yang cuma satu di dunia ini, Ta. Gue kangen sama lo." Diciumnya punggung tangan Retta, berharap ia akan melihat mata cantik itu terbuka layaknya cerita di negeri dongeng. Namun, Retta tentu masih saja menutup matanya. Napasnya masih terembus secara konstan dilihat dari layar monitor di samping brankar rumah sakit. Lagi-lagi Regan tersenyum miris, karena terlalu sering mengharapkan sesuatu yang sudah pasti tidak akan terjadi semudah itu. Keadaan Retta yang cukup parah ini, pasti akan membuat gadis itu akan menghabiskan waktu lebih lama lagi di ruangan putih ini. "Lo nggak kangen makan seblak? Oh iya, lupa. Lo bukan cewek hits yang doyan makan seblak," kata Regan sembari terkekeh. "Ya udah, lo mau apa? Cimol? Cireng? Batagor? Siomay? Semua buat Retta, deh. Bangun dulu, ya?" Regan terdiam dengan mata yang tak lepas dari wajah cantik Retta. Ta, siapa yang tega buat lo kaya gini? Lamunan Regan terbuyarkan saat tiba-tiba ponsel di sakunya bergetar. Ia melirik sekilas sebelum mengangkatnya. "Halo, Do? Kenapa?" "Lo di mana, Gan?" jawab Valdo di seberang sana. "Di rumah sakit, ruangan Retta," jawab Regan sekenanya. Suara di seberang sana kembali memenuhi indera pendengaran Regan. "Gue ke sana, ya? Ada yang mau gue omongin sama lo." "Oke," jawab Regan singkat sembari menutup teleponnya. Tatapannya kembali mengarah pada Retta yang masih terlelap. Semoga gue cepet dapat kabar soal pelakunya ya, Ta. ***** Beberapa menit Regan lalui hanya dengan menatap Retta yang terus terlelap. Ia tak berniat sedikit pun untuk mengalihkan pandangannya dari sana. Hanya ada mereka berdua di sini. Tante Arum pulang ke rumah untuk mengambil keperluan Retta, jadi Regan harus menjaganya sejenak. Beberapa detik kemudian, sebuah suara menyadarkan lamunan laki-laki itu. "Regan," panggil Valdo. Regan menoleh. "Udah lama di depan, Do?" Valdo menggeleng sebelum menjawab, "Barusan." Suasana kembali hening, hingga Valdo mengatakan apa tujuannya datang ke sini. "Gan, lo yakin nggak mau balapan dulu?" Regan menggeleng dengan yakin. "Gue mau fokus jaga Azkia dulu, Do." Pandangan Valdo kini mengarah pada Retta. "Retta gimana, Gan?" "Retta bakalan baik-baik aja selama di sini," kata Regan yakin. Valdo mengembuskan napasnya sekilas sebelum berkata, "Kevin nantangin lo." Regan membuka mata lebar-lebar. Kevin adalah lawan terberatnya selama di sirkuit. Beberapa bulan ini, lelaki itu memang jarang terlihat. Regan tak paham mengapa Kevin memutuskan untuk menantangnya kembali. "Bilangin, sekarang giliran gue yang males balapan," jawab Regan cuek. Ia tak akan mudah tersulut hanya karena mendengar tantangan dari Kevin. "Lo yakin?" tanya Valdo ragu-ragu. Regan mengangguk yakin. Tatapannya masih tenang, walau masih menyisakan adanya sorot tajam di netra itu. Ia bertekad untuk menjaga Azkia dan gadis yang terbaring di ranjang rumah sakit daripada harus menerima tantangan atau tawaran balap motor dari musuhnya itu. Buang-buang waktu sekali. "Gue nggak mau mikir macem-macem sebelum ada bukti yang jelas. Jadi, tolong bantu gue buat cari saksi di balik kejadian ini," titah Regan. Valdo menepuk pundak Regan sekilas, sebelum seorang perawat masuk dan menghampiri mereka. "Dengan Saudara Regan Ramachandra?" Regan mendongak dan menjawab, "Saya." "Anda dipanggil Dokter Ibnu di ruangannya. Ada yang ingin disampaikan mengenai pasien Retta." "Kenapa saya?" tanya Regan heran. "Nyonya Arum ingin anda mengetahuinya juga," jawab perawat itu. Regan mengangguk dan mengalihkan pandangan pada Valdo, seolah ingin menitipkan Retta sebentar. Seolah paham dengan atensi Regan kepadanya, Valdo mengangguk sembari tersenyum. "Lo tenang aja. Gue bakal jagain Retta sampai lo balik." Regan balas tersenyum. “Thank you ya, Do. Lo emang paling paham sama apa di pikiran gue. Kalau ada apa-apa telepon gue aja.” Valdo mengangguk sambil tersenyum. “Siap, Bos. Sana pergi dulu temui dokternya Retta,” balas Valdo sembari mengangkat keningnya ke arah luar ruangan sebagai tanda isyarat. Ia membalikkan badan dan berjalan mengikuti perawat menuju ruangan dokter.Tangan lelaki itu mengepal keras. Dugaan yang sempat ia pikirkan datang kembali melintas dan bertengger di kepala laki-laki bermata setajam belatu itu. Tentang satu-satunya sosok yang membencinya. Sosok yang akan terlihat sangat baik-baik saja jika sosok itu melakukan hal di luar pemikiran seperti saat ini. Bahkan, hal tersebut sudah terasa wajar jika dilakukan oleh sosok itu. Sosok yang akan selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang dia inginkan. Kalau emang lo dalang di balik ini semua, lo bakal terima akibatnya! *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD