4. Sebuah Penolakan

2060 Words
Hidup itu memang berat, namun semua orang pasti akan menemukan jalannya. ***** Seiring dengan mulutnya yang terus merapalkan gerutuan dan makian, Azkia berjalan menanjak-nanjak menuju kelasnya. Tidak lupa dengan dua benda aneh yang ia dapatkan dari lelaki aneh pula. Obrolan yang lebih pantas disebut dengan perdebatan dengan lelaki itu, nyatanya mampu membuat Azkia kehabisan tenaga karena telah menahan sabar. Dan di detik ini juga, ia sangat membenci lelaki bernama Regan itu.  Ah, kenapa Azkia masih saja peduli dengan namanya! "Lo kenapa, Ki? Habis ketemu setan? Terus itu jaket siapa?" tanya Meli saat Azkia baru duduk di bangkunya. Meli seakan tak peduli pada Bu Sani yang masih menulis latihan soal di papan tulis. Sikap dan ekspresi yang ia tangkap dari raut wajah Azkia lebih menarik untuk dibahas daripada materi di depan sana. Bukan lagi wajah pias yang ia lihat, melainkan wajah yang menahan emosi. Azkia menghela napas sebelum menjawab, "Iya. Gue habis ketemu setan!" Bukannya takut ataupun kaget, Meli justru mendekat ke arah jaket kulit hitam yang kini sudah ada di meja Azkia. Gadis itu mengendus layaknya anjing patroli yang sedang mencari petunjuk. Merasa aneh dengan benda yang dibawa oleh Azkia tersebut. Azkia pasti baru saja melewati sesuatu hal yang berbeda di hidupnya. Mata Meli berbinar setelah ia menciumnya. "Kalau lo habis ketemu setan, gue yakin seribu persen setannya ganteng banget! Jaketnya aja wanginya maskulin banget, Ki! Pasti dia blasteran surga! Atau minimal ... kayak Song Kang pemain drama Korea itu, lah!" Azkia memijat keningnya dan mulai menundukkan kepala, karena saat ini semua penghuni kelas—termasuk Bu Sani—menatap ke bangkunya. "Meliana Zhafira! Diam atau kamu keluar?" Mendengar teriakan dari Bu Sani, Meli langsung menutup mulut dan mengangguk sopan pada Bu Sani. “Emang mulut gue gacor banget, deh! Rem dikit napa. Sorry, Ki. Gue habisnya lagi ter-Songkang-Songkang habis lihat drakornya hehehe.” Azkia hanya menggelengkan kepala, mengabaikan ocehan Meli dan kembali membuka buku catatannya. “Udah, diem dulu, Mel. Lo mau kena amuk Bu Sani lagi?” Meli hanya tersemyum geli setelahnya. Bukannya ia kembali focus ke depan, gadis itu kini justru membuka ponselnya hanya demi update status di sosial media. Tindakan tersebut lagi-lagi hanya dibalas gelengan kepala oleh Azkia. Tidak lama kemudian, tepatnya saat Bu Sani baru saja menghempaskan b****g ke kursi, seorang bapak-bapak dengan kumis tebal dan perutnya yang buncit, tengah memasuki ruang kelas mereka, diikuti oleh seorang murid laki-laki di belakangnya. Semua gadis di kelas ini—kecuali Azkia—memekik kegirangan, karena sang murid baru yang 'katanya' ganteng overdosis itu akan duduk di bangku kelasnya. Tentu hal itu tidak terjadi pada Azkia, ia hanya menatap tajam ke arah Regan. Yang ditatap, hanya tersenyum singkat seolah mengisyaratkan, jika Azkia tidak akan tenang selama Regan bersekolah di sini. Kayaknya gue harus buat planet sendiri biar nggak berurusan sama cowok aneh itu lagi! Azkia berteriak dalam hati. ***** Azkia semakin ingin menghilang dari bumi, saat Bu Sani menyuruh Regan duduk di depannya. Bagaimana ia bisa tahan dengan orang yang percaya dirinya sudah di atas rata-rata. Azkia sangat benci hal itu. Ia berharap siapa pun bisa membawanya pergi dari kelas yang kini bertambah spesies baru bernama Regan ini. Lebih baik lagi jika Regan yang pergi dari kelasnya atau kembali lagi ke sekolah lamanya sekalian. "Halo, Azkia! Ternyata kita nggak ketemu di kantin, tapi di kelas. Thanks ya, nggak ngadu ke guru piket," ucap Regan seraya tersenyum pada Azkia yang masih bersungut kesal. Tak lupa, Regan mengambil kembali dua harta berharganya yang sempat ia jadikan jaminan. Regan tersenyum untuk terakhir kali, sebelum ia memutar tubuhnya kembali menghadap papan tulis. Jika dalam keadaan normal tindakan Regan tersebut mampu membuat para gadis memekik kesenangan, kali ini Regan hanya mampu melihat Azkia mendengus samar. Sepertinya ia benar-benar membuat pergerakan awal yang salah dan membuat gadis itu justru membencinya. Regan bukan sedih atau gimana, tetapi jika Azkia menjauhi dirinya, ia akan semakin kesulitan untuk melindungi gadis itu. Sementara itu, Meli melihat keduanya dengan tatapan tanda tanya seolah ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia terus memasang kedua mata dan telinganya dengan tajam sambil mencerna setiap baris kalimat yang tercetus dari mulut murid baru calon most wanted SMA Rajawali itu. "Kia ...." Meli bersuara sekecil mungkin, untuk menghindari tatapan sinis dari Bu Sani yang siap menghempasnya keluar dari kelas. Jika hal tersebut terjadi lagi, citra baiknya akan hilang di mata gurunya itu. Azkia hanya merespon dengan gumaman. Gadis bernama belakang Adisty itu masih fokus ke bukunya. "Jadi dia setannya? Beuh, orang ganteng dibilang setan. Gue mau deh, jadi pengusir setannya. Langsung gue pindahin ke hati," kata Meli berbinar-binar. “Hah?” “Dia kan cowoknya? Ya ampun, Ki. Lo emang benar-benar buta sama orang ganteng, ya?” “Hal kayak gituan nggak penting buat gue.” “Awas, Ki. Nanti jatuh cinta lo ….” Lagi-lagi Azkia mengdengus, setelah berulang kali ia mendengar semua orang di kelas ini menjunjung tinggi Regan. Sampai kapan sih penderitaan ini segera berakhir?! ***** Bel istirahat telah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu, namun Azkia masih berada di bangkunya sembari menyibukkan diri dengan membaca novel yang sebenarnya sudah ia baca berulang kali. "Azkia, lo nggak ke kantin?" Cara memanggil Azkia dengan sempurna adalah ciri khas dari seseorang yang justru sangat di benci gadis itu sejak pagi tadi. Tentu saja, Regan yang baru saja bertanya pada Azkia. Azkia masih diam dan terus menunduk membaca novelnya. Sementara Regan yang sedang diabaikan, beralih menatap Meli seolah meminta penjelasan. Meli berkata pelan, nyaris seperti bahasa isyarat. "Anak kayak Kia, nggak pernah ke kantin selama ini." Regan hanya manggut-manggut sekilas, lalu beranjak dari tempat duduknya. Dia akan pergi ke kantin, bersama Bima—teman sebangkunya. Beberapa menit berlalu, Regan kembali seorang diri ke kelas dan meletakkan sebotol air mineral dan dua roti bungkus di depan Azkia. Azkia mendongak dan menatap sinis Regan, sementara yang ditatap hanya membalasnya dengan senyuman. "Lo juga butuh makan. Emang kenyang makan buku doang?" Azkia mengernyitkan dahi dan tangannya refleks menutup novel yang tadi ia baca. Ia mengembuskan napasnya kasar sebelum berkata, "Denger ya, Gan, kalau lo cuma mau gue ngerasa punya utang sama lo—" Ucapan Azkia terpotong, karena Regan sudah mendahuluinya. "Apa, sih, Azkia? Gue berniat baik beneran sama lo, bukan ngarep imbalan ataupun semacamnya." "Nggak usah. Gue nggak butuh semua kebaikan lo," ketus Azkia. Regan, dan Meli—yang sedari tadi hanya mendengarkan keduanya berdebat—lantas membeliakkan mata, setelah mendengar perkataan pedas dari mulut Azkia. Azkia semakin sensitif, batin Meli. Otot di wajah Regan sudah terlihat. Ia menggeram kesal pada gadis di depannya ini. Ini kali pertama ia ditolak dengan seorang gadis hanya perihal dua bungkus roti dan sebotol air mineral. Harga dirinya langsung anjlok seketika hanya karena ucapan dari seorang gadis bernama Azkia Adisty. Sangat konyol! Regan justru menampilkan senyumnya dan berkata, "Ya udah, maaf. Gue udah buat lo marah sejak tadi pagi." Namun, ucapan maaf tersebut nyatanya tidak mampu membuat Azkia luluh. Gadis yang lebih sering mendengus daripada tersenyum itu hanya menganggap semua ucapan yang keluar dari mulut Regan adalah omong kosong. Ia tidak akan pernah mudah mempercayai ucapan orang lain. Apa lagi percaya dengan orang baru seperti Regan. Tidak akan pernah. Nah, tuh, nyadar! sungut Azkia dalam hati. Regan lalu melanjutkan ucapannya, "Gue balik ke kantin dulu, ya. Roti sama airnya biar di sini aja. Terserah mau lo makan atau enggak. Mungkin ... lo berubah pikiran." Lelaki itu tersenyum sekilas untuk terakhir kali pada gadis yang masih menatapnya sinis, sebelum ia memutar tubuhnya kembali ke kantin. Dalam perjalanan menuju ke kantin, pikirannya juga ikut berpikir keras. Bagi Regan, Azkia adalah seorang gadis yang menyimpan banyak rahasia layaknya teka-teki yang harus ia pecahkan. Ia tidak akan pernah marah jika ditolak Azkia, justru Regan akan semakin penasaran dengan gadis itu. Nu, kenapa perasaan gue udah beda? Kalau gue ternyata lebih dari sekadar menjaga gimana? Apa lo bakalan marah sama gue? Regan menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Nggak kok, Nu. Jangan marah, ya? Jangan nyamperin gue ya, Nu. 'Kan serem. Setelah ia bermonolog sendiri dalam hati, Regan refleks tersenyum miring seolah menertawakan kebodohannya. Tanpa sadar, senyum yang ia buat mampu menimbulkan suara riuh sepanjang koridor. Tentu saja, gadis bar-bar yang menyebabkan kegaduhan itu. Gadis yang memuja-muja dirinya. Sekolah ini kenapa ceweknya gila semua, dah? Kayak nggak pernah lihat cowok ganteng aja. Regan mempercepat langkah kakinya menuju kantin. Ia takut akan semakin gila jika terus berada di koridor terlalu lama. Baginya, koridor itu adalah lorong yang dikelilingi oleh binatang buas dan siap memangsanya sewaktu-waktu. Iya-iya, tahu kalau gue ganteng. ***** Sepulang sekolah, Azkia menunggu Transjakarta datang di halte dekat sekolah. Kali ini bukan hal biasa bagi Azkia, karena ada seseorang yang sudah tidak asing sedang berdiri tepat di sampingnya seolah juga sedang menunggu bus itu datang. Orang yang paling ia benci itu membuatnya tidak nyaman pada perjalanan pulangnya kali ini. Bukannya dia bawa motor? Azkia hanya diam. Regan pun diam. Tak ada alasan bagi Azkia untuk masih marah dengan lelaki itu. Baginya, jika Regan tidak membuat masalah dengannya, ia tidak perlu mengungkit kembali. Sementara Regan, ia memilih diam karena tidak ingin ucapannya akan salah dan justru membuat Azkia benci kepadanya, sekalipun hal itu saat ini sudah terjadi. Ia telah meninggalkan kesan buruk di mata Azkia. Transjakarta yang ditunggu telah datang. Saat mereka berdua masuk, kesialan datang pada Azkia. Tempat duduk hanya tersisa dua, otomatis mereka akan duduk bersebelahan. Azkia hanya duduk sembari menatap ke arah jendela. Ia bahkan tak berani menoleh ke tempat Regan duduk. Azkia bisa merasakan, jika lelaki di sampingnya ini sedang berusaha untuk diam. "Bukannya lo naik motor? Motor lo ke mana?" tanya Azkia pada akhirnya, tanpa menatap Regan. "Hilang," jawab Regan enteng, hingga membuat Azkia memutar kepala menatapnya. "Serius?" Regan terkekeh. "Ya enggak, lah. Gue tinggal di sekolah." Azkia mengernyitkan dahinya, "Kenapa ditinggal? Mogok?" Azkia sedang merutuki kebodohannya untuk ingin tahu masalah Regan. Sungguh, ia sudah menjadi gadis yang berbeda semenjak bertemu dengan lelaki di sampingnya ini. Tidak ada lagi bungkaman mulut, sekalipun ucapannya masih saja kaku. Lagi-lagi Regan terkekeh, karena baru kali ini motor kesayangannya ada yang mengira mogok. Motor gue anti mogok, lah, Azkia. "Nggak mogok. Gue cuma pengen ketemu sama lo." Mata Azkia membeliak, namun semua itu hanya terjadi sekilas karena Regan buru-buru menenangkannya. "Tenang aja, jangan tegang gitu. Kenapa, sih, lo selalu nolak saat gue mau baik sama lo?" Kini giliran Regan yang merutuki kebodohannya. Hubungannya baru saja membaik setelah perdebatan di kelas tadi siang. Jangan sampe dia marah lagi sama gue. Bisa gagal rencananya. Azkia menghela napas sebelum berkata, "Hidup gue terlalu banyak kenapa buat lo pahami, Gan. Jadi, lo nggak perlu susah-susah baik sama gue." "Lo tahu nggak, gue hobi ngisi TTS?" Azkia diam dan menunggu Regan melanjutkan ucapannya. Regan tersenyum. "Dan gue selalu berhasil nyelesaiin semua. Gue bisa habis satu buku TTS setiap harinya." Azkia masih diam dan kini telah diikuti kerutan hebat di dahinya. Regan tahu, gadis di depannya itu tak mengerti arah pembicaraannya kali ini. "Kalau benda mati kaya TTS aja bisa dengan mudah gue pahami, kenapa lo yang makhluk hidup nggak bisa? Gue yakin semua pasti ada jawabannya. Bedanya, lo nggak mau dimengerti. Jadi ... butuh waktu lama buat semuanya." Azkia menelan ludahnya kasar. "Lo ngomong apa, sih?" "Butuh waktu lama buat ngertiin lo." Tatapan tajam Regan mampu mengunci Azkia, hingga membuatnya tak bisa berkata-kata lagi. Setelah berulang kali ia melakukan usaha untuk membuka suaranya, akhirnya Azkia berkata, "Jangan, Gan. Hidup gue terlalu membosankan. Dunia gue—" "Azkia, lo mau jadi temen gue?" sela Regan cepat. Azkia hanya menatap datar ke arah Regan. Ia tak berniat untuk menjawab pertanyaan yang sulit baginya. Lebih sulit dan rumit daripada pelajaran matematika, fisika, dan kimianya di sekolah. Azkia benci diajak berteman. Ia tidak suka punya teman yang banyak. Ia ingin hidup sendiri. Masalah-masalah di hidupnya sudah cukup menjadi teman yang sangat ingin ia singkirkan. Azkia benci dunianya. Dan kehadiran sosok Regan Ramachandra tentu bukanlah sesuatu yang baik baginya. Regan harus pergi menjauh darinya. ***** Jauh di tempat Regan dan Azkia berada. Tepatnya beberapa menit yang lalu, seorang lelaki tengah menatap keduanya saat memasuki bus dengan tatapan tidak suka. Lelaki itu menempelkan ponselnya di telinga. Benda pipih yang ia pegang itu sudah terhubung dengan seseorang. Orang yang pastinya adalah dalang di balik semua hal buruk yang kemungkinan akan terjadi. Orang yang membenci Regan atau Azkia, atau bahkan keduanya. "Mereka berdua makin deket. Selama Retta masih koma, satu-satunya cara buat ngehancurin Regan bisa lewat gadis itu!" *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD