Bab 1: Utang

1539 Words
Tangan Ziya mengaduk gelas berisi air kopi dengan perlahan. Dia melirik ruang tamu yang jaraknya tidak terlalu jauh dari dapur. Di samping dia berdiri, ada anak kecil yang tengah asyik memainkan alat masak, Dania. Ziya menghela napas berkali-kali setelah selesai membuat kopi untuk suami dan tamu yang berkunjung. Kalau mau jujur, Ziya sedikit enggan untuk mengantarkan minuman di hadapannya. Bukan karena tidak menyukai tamu Atha, sang suami. Melainkan karena tujuan si tamu yang tidak Ziya sukai. Ziya tidak berkata kalau tamu itu orang yang buruk. Dia hanya tidak mau Atha terlibat dalam hal yang tidak jelas begini. Beberapa hari lalu, Atha mengutarakan niat untuk mengikuti investasi. Ziya sendiri tidak keberatan seandainya memang ada tabungan yang cukup. Masalahnya, keuangan mereka belum memungkinkan. Yang mengejutkan adalah kenyataan jika Atha ingin melakukan hal baru dalam hidupnya, utang. “Apa memang perlu, Mas?” tanya Ziya malam itu. “Kita harus hati-hati dalam memilih investasi. Jangan terlalu gegabah.” “Mas bukannya gegabah, Zi. Ini kesempatan yang bagus. Tidak setiap saat perusahaan itu membiarkan orang berinvestasi.” “Tapi, Mas. Uang kita bahkan tidak cukup. Lagi pula, kita tidak tahu di mana letak perusahaannya. Bagaimana kalau ini cuma investasi bodong?” “Mana mungkin begitu, Zi. Teman-teman Mas sudah banyak yang ikut dan terbukti berhasil. Kamu juga tahu itu.” “Iya, sih. Tapi, aku masih belum begitu percaya,” ujar Ziya. Teman-teman Atha memang sudah banyak yang ikut dalam investasi itu. Mereka juga mendapat keuntungan yang luar biasa. Sebagian besar sudah menikmati hasilnya untuk membeli ladang dan emas. Sebagian yang lain hanya menggunakan untuk bersenang-senang. Bukti yang ada sulit dibantah. Entah mengapa, hati kecil Ziya tetap tidak menerima. Dia masih meragukan kebenaran dari investasi itu. Belum lagi niat Atha untuk mengajukan pinjaman demi bisa mendapatkan modal. Padahal sebelumnya, Atha adalah orang yang anti dengan utang. Mengapa sekarang justru berkeras diri. Tidak tahu apa yang telah dikatakan oleh teman-teman Atha sehingga pria itu terpengaruh. Pembicaraan mengenai investasi ini sudah lama dia bahas. Tidak sekali pun dia memiliki keinginan untuk ikut bergabung. Pasti ada sesuatu atau seseorang yang akhirnya bisa membuat Atha memutuskan berutang. “Sudah jelas ada buktinya, Zi. Kamu lihat, kan, orang-orang yang ikut, sekarang bisa hidup lebih baik. Mas juga mau kamu dan anak-anak merasakan kebahagiaan yang lebih banyak.” “Kami sudah bahagia dengan keadaan ini, Mas. Aku enggak mengerti mengapa Mas mendadak berubah pikiran. Bukannya Mas dulu enggak tertarik?” “Itu karena Mas belum yakin. Sekarang, Mas sudah yakin kalau investasi ini bisa menjadi tabungan masa depan kita.” “Tapi, uang kita enggak cukup untuk pendaftaran awal, Mas.” Ziya masih berusaha mengurungkan niat sang suami. “Mas sudah ketemu solusinya.” Atha tersenyum lebar. “Mas akan mengajukan pinjaman.” “Apa? Mas mau utang? Jangan, Mas!” “Enggak masalah, Zi. Lagi pula, hasil yang kita dapat lebih banyak dari angsuran bulanan yang harus dibayar. Kamu tenang saja.” “Utang tetap utang, Mas. Kita sudah bertekad buat enggak utang. Bagaimana kalau menunda investasi sampai dana kita cukup?” “Enggak bisa, dong, Zi. Enggak setiap saat kesempatan ini datang.” Atha memegang kedua pundak Ziya. “Kamu percaya sama Mas?” Tentu saja. Setelah menikah, Atha menjadi orang yang paling diandalkan oleh Ziya. Sikap Atha yang cuek dan terkadang terkesan abai, tidak menjadi persoalan. Sebelum menikah pun, Ziya sudah mengetahui kalau Atha memang pria yang tidak pandai mengekspresikan perasaan. Justru itulah yang menarik bagi Ziya. Tidak pernah sekali pun Atha memedulikan hal remeh semacam memperingati ulang tahun atau mengajak keluarga kecilnya jalan-jalan. Kalau ada yang melakukan itu, Ziyalah orangnya. Dia sering membuat kejutan dengan memasak masakan kesukaan Atha saat hari lahir sang suami. Atau hanya sekadar kue sederhana yang dimakan bersama anak-anak mereka. Apa Ziya pernah menyesal karena dijodohkan dengan Atha oleh orang tuanya? Tidak. Dia sangat menghormati kedua orang penting dalam hidupnya. Pilihan mereka tentu tidak sembarang. Sejak sekolah, dia selalu mempercayakan hidupnya pada mereka. Demikian juga, ketika akan memilih jodoh. Dengan sangat sadar, Ziya menerima pinangan Atha. Kedua orang tuanya hanya perantara untuk mengenalkan dengan sang suami. Mereka menyerahkan keputusan pada Ziya dan Ziya setuju. Hanya saja, Ziya tidak menyangka kalau Atha lebih cuek dari pada kelihatannya. Walau begitu, dia tetap menerima Atha sepenuh hati. Apa yang membuat Ziya jatuh hati pada Atha adalah keberanian pria itu meminang. Ada beberapa orang yang sengaja mendekati Ziya, tetapi tidak satu pun yang berani datang ke rumah. Mereka sekadar ingin dekat dengannya dan tidak menginginkan komitmen untuk menjalani hidup bersama. Rama, ayah Ziya, terkenal sebagai pribadi tegas dan tidak suka bertele-tele. Sebagai salah satu orang yang disegani di lingkungan tempat tinggal, Rama sangat dihormati. Karena itulah, banyak pemuda yang ketakutan sebelum mendekati sang anak. Mereka memilih untuk mengenal Ziya diam-diam. Sebagai anak perempuan yang jarang keluar rumah, Ziya sangat jarang bertemu dengan lawan jenis. Dia hanya sesekali bertemu dengan teman-temannya dalam acara pengajian atau arisan. Sebatas itu. Lagi pula, dia bekerja dari pagi sampai sore. Waktu untuk bersosialisasi nyaris tidak ada. “Ibu,” panggil Yazid. Ziya menoleh dan mendapati anaknya itu tengah mengusap-usap mata. “Anak ibu sudah bangun?” Ziya mengusap kepala Yazid penuh kasih. “Adik sudah bangun?” “Belum.” Yazid menoleh ke arah ruang tamu. “Ibu buat kopi untuk Ayah?” “Iya, Sayang. Kenapa? Mau Ibu buatkan teh?” Yazid menggeleng. “Yazid main mobil saja,” ujar Yazid, lalu melangkah ke ruang tengah untuk mengambil mainannya. Ziya tersenyum melihat sang anak yang mulai memainkan mobil-mobilan. Mata Ziya kembali melihat dua gelas yang terisi air kopi. Dia menghela napas, lalu berjalan menuju ruang tamu. Tidak ada gunanya menunggu lebih lama. Dia juga tidak boleh mengabaikan tamu. Tidak peduli jika dia menyukai atau tidak alasan sang tamu berkunjung. Tamu tetaplah tamu dan harus dihormati. Kaki Ziya melambat begitu dia sampai di tujuan. Dia menatap Atha yang serius mengatakan sesuatu. Dengan gerakan sopan, dia meletakkan kopi di depan masing-masing pria di ruangan itu. Bibirnya berusaha menyunggingkan senyum agar tidak terjadi kesalahpahaman pada orang yang bertamu. Menghormati tamu adalah sopan santun dasar yang selalu diajarkan oleh orang tua Ziya. Jadi, dia tidak bisa begitu saja mengabaikan orang yang kini berkunjung ke rumahnya. Dia memang tidak terlalu menyukai pembahasan yang dibicarakan sang tamu dengan Atha, tetapi itu bisa diselesaikan nanti setelah tamunya pulang. “Silakan, Mas,” ujar Ziya sambil tersenyum ramah. “Makasih, ya, Zi.” Noufal, teman Atha, balas tersenyum. Setelah merasa cukup, Ziya kembali undur diri. Baru saja melewati tembok pembatas ruangan, dia berhenti lagi. Awalnya, dia tidak berniat untuk menguping pembicaraan Atha dan Noufal. Namun, begitu mendengar kata utang yang disebutkan oleh Noufal, hatinya jadi sedikit tergelitik. “Jadi, kamu ambil yang berapa? Seratus atau dua ratus?” Pertanyaan Noufal membuat kedua mata Ziya membola. Ziya menelan ludah dan mencoba mencerna kalimat itu baik-baik. Apa maksud Naufal dengan seratus atau dua ratus? Mungkinkah dalam jutaan. Bagaimana bisa Atha mengajukan pinjaman sebanyak itu? Dengan apa dia akan menjamin? Satu-satunya benda berharga yang dimiliki oleh Atha adalah sertifikat rumah. Jika Atha menjadikannya sebagai jaminan, apa yang bisa Ziya lakukan? Sebagai istri, dia harus menuruti suami. Akan tetapi, hati kecil Ziya tidak mengizinkan hal ini terjadi. Dia sudah memperingatkan Atha. Jika akhirnya Atha memilih berutang, apa yang bisa Ziya lakukan? Apa pun bentuknya, bagi Ziya, utang tetaplah utang. Sejak dulu, dia selalu menjauhi utang karena hal ini dianggap memberatkan. Utang hanya terasa sebagai pilihan terbaik pada permulaan, tetapi justru membebani setelah melakukan. Tidak sedikit orang yang lantas menyesal setelah terlilit utang dan tidak bisa membayar. Lagi pula, Ziya merasa jika hidupnya sekarang sudah sangat baik. Dia masih memiliki sedikit tabungan yang dikumpulkan dari sisa uang belanja pemberian Atha. Mereka juga belum memiliki beban berat. Ziya paham maksud Atha yang ingin menambah pemasukan demi masa depan keluarga mereka. Meski demikian, bukan berarti mereka harus berutang. Jika sesuatu diawali dengan keterpaksaan seperti ini, apa akan berakhir baik? Banyak cara yang bisa dipilih untuk mendapatkan uang. Untuk apa memaksakan diri mengejar kenikmatan dunia? Ziya sudah cukup bersyukur dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Dia juga sudah bisa menyisihkan sedikit harta untuk berbagi. Lalu, apa yang sebenarnya Atha ingin cari. Kekayaan dunia, berapa pun banyaknya, tidak akan cukup ketika rasa syukur diabaikan. Sebaliknya, sekecil apa pun harta, jika disyukuri dengan benar, akan terasa nikmat dan berkah. Wajar kalau manusia selalu ingin memiliki harta berlimpah. Yang tidak wajar, jika manusia hanya memikirkan uang tanpa mengerti cara penggunaannya dengan baik. Jadi, sebaiknya jauhi utang. Terlebih jika masih ada pilihan lain atau tidak terdesak. Akan lebih baik jika mengusahakan hal lain. Jangan memaksakan diri berutang padahal ada jalan keluar yang bisa diambil. Percayalah, utang bisa membuat hidup meredup. Saat hati tergoda untuk berutang, coba renungkan, apa manfaat yang didapat. Saat merasa hidup terimpit dan ingin berutang, lihatlah dalam hati. Apa kesulitan kita dalam hal keuangan ini karena kurang syukur? Apa kita sungguh perlu melakukan ini? Apa kita bisa menanggung akibat yang ditimbulkan setelah berutang? Apa memang tidak bisa dialihkan pada yang lain? Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Jangan hanya tergoda pada nafsu yang tidak ada ujungnya. Begitu keinginan berlebihan meracuni, sebanyak apa pun kekayaan yang dimiliki tidak akan cukup. Kalau sudah begitu, siapakah yang sebenarnya bersalah di sini? Nafsu kita? Pikirkan baik-baik sebelum memutuskan. Ada banyak jalan keluar yang Allah persiapkan untuk para hamba-Nya. Jangan terlalu mudah memercayai apa yang terlihat indah. Karena hal yang indah dipandang, belum tentu indah pula saat dimiliki. Perkuat hati agar tidak terjerumus pada jalan yang tidak diridai oleh Allah. Semoga kita selalu dalam lindungan-Nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD