Bab 2: Tertipu

1614 Words
“Akhirnya bisa punya tabungan masa depan,” ucap Atha sambil memperhatikan sebuah map di meja. Dia tersenyum lebar. “Aku sudah tanya-tanya mengenai perusahaan itu sama temanku, Mas. Mereka enggak ada yang tahu.” Ini sudah ke sekian kalinya Ziya mengatakan. Sebelum Atha benar-benar menyerahkan uang untuk investasi, Ziya sudah terlebih dulu bertanya pada teman-temannya. Letak perusahaan yang berada jauh adalah salah satu alasan Ziya tidak menyetujui keputusan Atha. Bukankah di kota mereka masih banyak peluang. Kenapa harus ikut yang di luar daerah? Percuma saja. Tampaknya, Atha lebih tertarik pada iming-iming keuntungan yang dikatakan oleh Noufal. Di lingkungannya, sudah terlalu banyak yang membuktikan keberhasilan dalam investasi ini. Jadi, sulit bagi Ziya untuk menunjukkan kejanggalan yang dirasakan. Dia kalah dengan berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus, orang yang mengikuti jejak Noufal. Bukan tidak mengenal Noufal, Ziya justru tahu kalau Noufal merupakan sahabat karib sang suami. Mereka sudah sering saling menolong dalam berbagai hal. Ziya juga cukup dekat dengan istri Noufal, Sasha. Mereka sering bertemu saat pengajian. Sesekali, mereka juga makan bersama di luar. Sebelum kejadian utang waktu itu, Ziya sepenuhnya memercayai Atha. Keputusan Atha kali ini sungguh sulit diterima oleh Ziya. Wanita itu terus mengulang bahwa tidak akan ada hal buruk terjadi. Namun, hati kecilnya tetap menolak fakta jika sang suami tidak lagi memedulikan pendapatnya dan itu membuat Ziya sedikit kecewa. Biasanya, Ziya juga selalu mengalah dan menuruti keinginan Atha. Entah mengapa, untuk perkara utang ini, dia merasa keberatan. Mungkin karena sejak dulu, di hatinya sudah tertanam prinsip bahwa berutang adalah sesuatu yang harus dihindari. Jadi, dia terus menolak menerima keinginan Atha. Sudah hampir tujuh tahun sejak Ziya menikah dengan Atha. Mereka juga berhasil memiliki rumah dengan pekarangan yang cukup luas. Penghasilan Atha dari usaha sablon kaos ditambah dengan tabungan Ziya selama bekerja dulu ternyata cukup untuk mewujudkan impian mengenai istana sederhana mereka. Atha memang belum mampu membelikan mobil untuk Ziya dan anak-anak. Namun, dia sudah melakukan yang terbaik demi membahagiakan keluarganya. Dia bahkan membuat kolam renang kecil untuk bermain kedua anaknya yang suka berenang. Sesekali, dia juga menemani buah hati jika tidak sedang banyak pesanan. Memiliki dua buah hati yang sedang aktif-aktifnya sedikit menguras tenaga Ziya. Ada saja yang diributkan oleh mereka. Padahal Dania baru satu tahu. Putri kecilnya itu sudah bisa berjalan dengan sangat lancar. Dia mengikuti ke mana pun Yazid pergi. Terkadang, sang kakak merasa terganggu karena diikuti. Jika Yazid sudah mengadu, Ziya akan menjelaskan bagaimana sikap yang baik sebagai seorang kakak. Yazid yang masih belum genap enam tahun itu, sesekali, memang masih ingin diperhatikan. Dia masih suka itu ketika merasa Ziya lebih banyak menghabiskan waktu dengan Dania. Padahal Ziya sudah berusaha bersikap adil. Begitulah kebahagiaan menjadi seorang ibu. Perdebatan kecil kadang masih terjadi di antara dirinya dan Yazid yang semakin cerdas. Mungkin ilmu Ziya belum cukup baik, sehingga masih sulit mengontrol emosi saat bersama anak-anak. Dia harus banyak membaca dan bertanya mengenai hal ini kepada yang lebih ahli. “Teman-temanmu jarang keluar barang kali. Kamu lihat, kan, banyak yang sudah dapat untung. Jangan buruk sangka terus.” Atha menggenggam tangan Ziya untuk meyakinkan. Menikah dengan Ziya merupakan berkah tersendiri bagi Atha. Sikap Atha yang tertutup, cuek, dan terkadang suka marah, bisa diterima dengan baik oleh sang istri. Ziya mempunyai segala hal yang diimpikan oleh semua pria. Atha sudah sering mendengar jika banyak yang menyukai Ziya. Entah apa yang dilihat Ziya saat menyetujui pinangan darinya. Pesona Ziya mampu menggoyahkan hati Atha yang terkenal sebagai pria dingin tidak berperasaan. Yang paling penting dalam hidup Atha hanya bekerja dan mengumpulkan uang. Dia tidak memiliki waktu untuk memikirkan wanita dan romansa. Pertemuan dengan Ziya mengubah semua pandangannya. Tidak sengaja bertemu dalam sebuah acara pernikahan, Atha jatuh cinta pada pandangan pertama. Sikap Ziya yang tidak terlalu memperhatikan lawan jenis membuat Atha leluasa memandangi wajah ayu Ziya kala itu. Lalu, tanpa berpikir dua kali, dia langsung mencari tahu siapa sosok yang telah membuat hatinya terperdaya. Sempat merasa berkecil hati karena mengetahui Ziya anak Rama, nyaris membuat Atha mundur. Berdekatan dengan buah hati salah seorang yang disegani di lingkungan sangat berat bagi pria itu. Dia merasa kalau perjalanan untuk mendapatkan restu Rama tentu tidak akan mudah. Apa lagi Ziya anak perempuan satu-satunya. Ternyata, pikiran Atha berlebihan. Rama hanya mengatakan kalau Atha serius ingin menyunting Ziya, Atha harus membawa orang tuanya ke rumah. Semudah itu. Tidak ada pertanyaan macam-macam khas calon mertua. Ya, Rama memang menanyakan beberapa hal, tetapi tidak ada yang terasa berat bagi Atha. Bukankah Atha sangat beruntung? Mendapat mertua yang sangat pengertian, plus istri yang memesona. Sekarang, dia bahkan diberi dua anak yang begitu lucu. Seakan kehidupannya dipenuhi dengan keberuntungan. Dia merasa bersyukur sekali karena dianugerahi nikmat yang luar biasa. “Yang ikut investasi ini bukan cuma dari kalangan menengah ke bawah, lho, Zi. Ada beberapa orang penting yang juga ikut. Kamu tahu Pak Hari yang kaya raya itu. Dia ikut juga,” imbuh Atha sambil tersenyum. “Mungkin aku yang terlalu khawatir. Jadi, bagaimana usaha sablon Mas?” “Baik seperti biasa. Mas lagi banyak pesanan. Maaf, ya, belum bisa ajak kamu sama anak-anak berlibur. Mungkin bulan depan.” “Enggak apa-apa, Mas. Aku mengerti kalau Mas sibuk. Lagian, anak-anak belum menagih.” “Maksud kamu Yazid?” Ziya tersenyum. Yazid memang suka protes saat janji yang dibuat orang tuanya diingkari. “Dia belum protes?” “Belum. Masih asyik menikmati krayon barunya.” Pandangan Atha beralih pada Yazid yang menggambar. Anak itu memang sudah senang menggambar dari dulu. Di samping sang kakak, Dania memukul-mukulkan boneka mungil ke lantai sambil mengoceh tidak jelas. Senyum Atha semakin mengembang, bahagia bisa memiliki keluarga yang harmonis. Sikap Atha yang kurang perhatian nyatanya mampu ditutupi oleh Ziya yang penuh kasih sayang. Kesibukan Atha tidak membuat anak-anaknya jauh. Dia tahu kalau Ziya berkali-kali menjelaskan pada kedua anak mereka mengenai pekerjaan sang ayah. Sepertinya, Ziya tidak ingin mereka menyalahkan Atha yang terkadang suka membatalkan janji. Beruntung, anak-anak Atha sangat pengertian, terutama Yazid. Mungkin Yazid memang sesekali marah saat Atha ingkar janji, tetapi Ziya selalu menemukan cara untuk membujuk. Tidak pernah ada protes dari Ziya. Dia menjalankan peran sebagai istri dan ibu yang baik. Membuat Atha malu karena belum bisa menjadi teladan. Menjadi kepala rumah tangga yang sempurna masih sangat jauh dari Atha. Entahlah. Dari dulu, dia tidak pandai mengekspresikan perasaan. Hidup dalam keluarga yang kurang mampu menjadikan Atha sebagai pribadi pekerja keras. Kepala pria itu penuh rencana-rencana yang bisa menghasilkan rupiah. Hidup dalam sebuah ikatan pernikahan memang untuk saling melengkapi, bukan? Atha sadar jika dia masih banyak kekurangan. Dia akan berusaha agar dapat menjadi suami sekaligus ayah yang bisa dibanggakan. Langkah pertama yang dia ambil adalah dengan mengikuti investasi. Kelak, dia akan memiliki banyak uang untuk memenuhi semua keinginan anak-anaknya. *** “Iya, Bu. Ternyata itu investasi tipu-tipu.” “Investasi yang mana, sih?” “Itu. Yang selalu digembor-gemborkan sama Noufal. Itu ternyata investasi bodong.” “Yang benar, Bu?” Tangan Ziya yang hendak mengambil uang di saku terhenti saat telinganya menangkap pembicaraan para ibu di warung. Dia menoleh untuk memastikan siapa saja yang ada di sana. Sebenarnya, apa yang mereka bicarakan? Jangan bilang kalau maksud mereka adalah investasi yang diikuti oleh Atha. Sudah hampir sebulan ini Ziya berusaha memercayai keputusan Atha. Dia mulai meyakini kalau investasi itu salah satu hal terbaik yang dilakukan oleh sang suami. Lalu, apakah sekarang Atha berada dalam sebuah masalah? Bagaimana jika yang dibicarakan ibu-ibu itu memang investasi yang diikuti oleh Atha? Tidak. Ziya harus memastikan. Lagi pula, bagaimana ibu-ibu di warung itu mengetahui mengenai penipuan investasi sebelum para pesertanya tahu? Apa yang mereka bicarakan hanya gosip seperti biasa? Dalam hati, Ziya berharap itulah yang terjadi. Dia sudah terlalu sering mendengar berita bohong yang disebarkan. Semoga saja kali ini juga sama. Jika berita penipuan benar, tentu Atha, yang notabene merupakan sahabat dekat Noufal, akan tahu lebih dulu. Pagi ini, Atha beraktivitas seperti biasa. Tidak ada yang aneh dalam perilaku Atha. Tidak mungkin Atha menyimpan berita sebesar ini darinya, bukan? Atha pasti akan menyampaikan padanya jika ada yang tidak beres dalam investasi mereka. Meski begitu, tidak ada salahnya memastikan pembicaraan para ibu. Ziya menarik napas dan mencoba untuk tenang. Dia mendekati kerumunan ibu yang masih asyik membahas mengenai investasi bodong. Mereka tidak menyadari kehadirannya sama sekali. Setelah dekat, dia berdeham, lalu tersenyum. “Masih pagi, sudah ramai saja, Bu. Ada berita apa?” tanya Ziya basa-basi. “Ini berita terbaru, Zi. Masalah investasi yang dipromosikan sama Noufal itu, lho.” “Mas Noufal suaminya Mbak Shasa?” Ziya memastikan. “Iya. Suaminya si Shasa. Kasihan banget. Pasti dia bakalan ikut didemo.” Ziya langsung terdiam. “Tapi, kan, dia juga kena tipu,” sahut yang lain. “Memang. Tapi dia yang ajak penduduk sini buat ikut investasi. Mana ada yang utang bank buat ikut lagi. Kan, kasihan banget.” “Iya. Terus gimana itu? Enggak dilaporkan polisi?” “Enggak tahu kalau itu. Aku belum dengar.” Suara-suara itu bagai kaset kusut yang terus berputar di kepala Ziya. Dia sampai mundur beberapa langkah dan bersandar di dinding warung. Ada sesak yang memenuhi hati. Dia menelan ludah, lalu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sementara kedua tangannya mengepal erat di sisi kanan kiri. Bagaimana bisa ketakutan Ziya menjadi kenyataan. Dia terus mengucap innalilah dalam hati. Setelah memejamkan mata dan mencoba untuk meredam detak jantungnya yang menggila, dia meletakkan kembali barang belanjaannya, menggendong Dania, lalu berjalan cepat menuju rumah. Dia harus memastikan hal ini secepatnya. Mulut Ziya tidak berhenti komat-kamit membaca berbagai macam kalimat tayibah agar diberi kekuatan dan perlindungan. Meski yakin seratus persen dengan keputusan investasi yang Atha buat, dia berharap kalau berita ini tidak benar. Bagaimana pun, dia tidak mau melihat Atha terpuruk dan menyalahkan diri sendiri. Memikirkan kalau Atha mungkin saja terluka karena masalah ini, Ziya melangkah lebih cepat. Dia tidak memedulikan ocehan Dania sepanjang perjalanan. Yang ada dalam otaknya hanya bagaimana dia sampai di rumah dengan cepat, kemudian memberi dukungan bagi sang suami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD