3. Hilang

1628 Words
Tidak ada Atha di mana pun. Ziya sudah mencari ke setiap sudut rumah, bahkan halaman belakang. Tidak ada tanda-tanda kalau sang suami berada di rumah. Ziya meremas kedua tangan kuat-kuat. Dia melirik jam dinding yang masih menunjukkan waktu pukul tujuh. Seharusnya Atha masih berada di rumah pada jam seperti ini. Khawatir dengan keadaan suaminya, Ziya mengambil telepon seluler dan menekan nomor teratas. Tidak ada jawaban, tetapi dia bisa mendengar suara nada dering dari kamar. Perlahan, dia melangkah dan mencari sosok Atha. Tetap saja, Atha tidak terlihat di kamar. Hanya ada telepon genggam sang suami yang menyala di meja kecil dekat tempat tidur. Kening Ziya mengerut. Tidak biasanya Atha meninggalkan benda sepenting telepon seluler. Semua urusan pekerjaan selalu menggunakan benda pipih itu, jadi ke mana pun Atha pergi, selalu dibawa. Mungkinkah Atha terburu-buru dan menjadi sedikit teledor. Ini juga sangat jarang terjadi. Atha memiliki sifat yang sangat teliti. Nyaris tidak mungkin kalau dia melakukan kesalahan kecil seperti itu. Kemudian, mata Ziya melebar begitu menyadari sesuatu. Atha mungkin sudah mengetahui berita mengenai penipuan itu, lalu pergi begitu saja untuk mencari penjelasan. Namun, ke mana pastinya Atha pergi? Menemui Noufal? Ziya menarik napas, lalu kembali ke ruang tamu. Dania berjalan pelan ke arahnya sambil mengoceh. Setidaknya, ada Dania yang masih bisa membuat Ziya sedikit terhibur. Kehadiran anak perempuannya itu membuat hati Ziya lebih tenang. Dia berusaha mengontrol kecemasan yang memenuhi hati. Tidak baik jika menunjukkan wajah khawatir di depan anak. Meski masih kecil, Dania juga butuh senyuman dari ibunya, bukan? Beruntung Yazid sudah pergi ke sekolah. Anak laki-lakinya itu lebih peka dengan ekspresi Ziya. Dia selalu bisa menebak suasana hati Ziya dengan benar. Untuk menjaga diri dan anak-anaknya, Ziya sebisa mungkin menampilkan wajah semringah di setiap kesempatan. Dia tidak mau anaknya merasakan kekhawatiran di hati sang ibu. “Maaf, ya, Sayang. Tadi Ibu cari Ayah,” ucap Ziya sambil membelai rambut Dania penuh kasih. Dania tersenyum lebar, seolah memahami penjelasan sang ibu. Baru saja mulut Ziya terbuka hendak mengatakan sesuatu, pandangannya jatuh pada sosok yang kini berdiri di ambang pintu. Atha berjalan ke arah Ziya yang melihatnya dengan kening berkerut. Dia menatap istrinya yang tampak sedikit aneh. Begitu dekat, dia berhenti tepat di depan Ziya. Kedua tangannya menyilang di d**a. “Kamu kenapa?” tanya Atha sambil memiringkan kepala. “Mas belum berangkat?” Ziya belok bertanya. Jantungnya entah kenapa berdetak sangat cepat. Melihat raut wajah Atha sekarang, tampaknya pria itu belum mendengar desas-desus mengenai penipuan investasi yang diikuti. Ziya menelan ludah. Bagaimana dia menjelaskan kepada Atha mengenai hal ini. Haruskah dia mengatakan yang sebenarnya atau membiarkan Atha mengetahui sendiri dari orang lain? Sikap diam Ziya justru membuat Atha penasaran. Jika biasanya Ziya sangat pandai mengontrol ekspresi, lain dengan sekarang. Atha bisa melihat dengan jelas kalau ada yang mengganggu pikiran Ziya. Wajah khawatir sang istri terlihat jelas. Kalau Ziya sampai kesulitan menyembunyikan sesuatu, itu pasti sudah di tingkat yang mengkhawatirkan. Tidak ingin Ziya memendam kekhawatiran lebih lama, Atha meraih kedua pundaknya sambil tersenyum. Aneh, Ziya malah semakin merasa tertekan begitu Atha menyentuhnya. Atha memberi tatapan dalam pada Ziya, berharap sang istri segera memberi tahu apa alasan dibalik sikapnya saat ini. “Ada masalah apa, Zi? Bilang saja sama Mas?” Meskipun bukan tipe suami yang romantis, Atha tetap pribadi bertanggung jawab. Dia memang tidak bisa bersikap manis atau merayu dengan kata-kata gombal. Akan tetapi, dia bisa, setidaknya, bertanya mengenai apa yang dialami sang istri. Itu lebih baik dari pada hanya diam saat melihat seorang istri dipenuhi kekhawatiran, bukan? “Mas tadi ke mana?” Ziya masih belum tahu bagaimana cara menyampaikan berita duka yang didengarnya di warung. “Mas keluar sebentar ke toko depan, beli pulsa. Handphone-nya malah ketinggalan. Untung Mas hafal nomornya.” Ziya tersenyum tipis mendengar jawaban Atha. “Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu khawatirkan?” “Mas ... belum dengar berita?” “Berita apa?” Sekarang, Atha malah fokus memperhatikan wajah Ziya yang kembali panik. Membuat Ziya lebih sulit menyampaikan apa yang kini berada di kepalanya. Dia menarik napas beberapa kali sambil menutup mata. Cepat atau lambat, Atha akan mendengar mengenai hal ini. Akan lebih baik jika Atha mengetahuinya dari Ziya. Dengan begitu, Atha bisa mempersiapkan diri jika dia benar-benar berada dalam masalah. Kalau sampai Atha mendengar dari orang luar, bisa saja reaksinya berbeda. Jadi, Ziya menguatkan hati dan menatap sang suami yang masih memperhatikannya. Setelah cukup yakin, dia mulai membuka mulut. “Ini ... soal investasi yang ditawarkan sama Mas Noufal.” “Kenapa? Kamu dengar berita jelek soal investasi kita?” “Semua orang bilang kalau investasi itu cuma investasi tipu-tipu, Mas.” “Mereka siapa? Kamu itu pagi-pagi sudah dapat gosip.” “Ibu-ibu di warung pada bilang begitu, Mas. Aku bahkan sudah memastikan. Mas benar-benar tidak mendengar berita mengenai hal ini?” “Ziya, kalau ada yang tidak beres, Noufal pasti akan langsung mengabari Mas. Kami sudah bersahabat lama. Jadi, tidak mungkin Noufal menipu Mas.” “Aku tidak bilang kalau Mas Noufal menipu. Bagaimana kalau dia juga jadi korban penipuan?” Senyum Atha mengembang. “Itu mustahil, Zi. Kamu terlalu khawatir. Tidak usah memikirkan gosip tidak jelas seperti itu. Nanti kamu malah kepikiran.” “Tapi, Mas, aku ....” Ziya menghela napas. “Bagaimana kalau berita itu benar? Aku benar-benar khawatir. Mas harus memastikan. Ibu-ibu di warung tadi sepertinya sangat yakin saat mengatakannya.” “Iya. Nanti Mas ke rumah Noufal. Sekalian ada perlu. Kamu tidak usah khawatir. Jangan mikir macam-macam.” Ziya menatap Atha yang tersenyum hangat. “Mas berangkat dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam.” “Iya. Mas hati-hati.” Ziya meraih tangan Atha dan mencium punggung tangan sang suami. Meski dia belum sepenuhnya lega, kali ini dia harus menuruti perkataan Atha. Berita mengenai penipuan itu memang belum terlalu jelas. Ziya semestinya tidak terlalu menganggap serius dan malah membuat khawatir Atha di pagi hari. Untuk beberapa saat, Ziya masih memperhatikan Atha yang keluar rumah. Dia harap hari ini tidak akan menjadi hari yang buruk. Semoga saja apa yang dia dengar di warung tadi hanya gosip murahan yang diciptakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Begitulah keinginan Ziya. Dia tidak mau suaminya ditimpa masalah. Uang yang dikeluarkan Atha untuk investasi bukanlah jumlah kecil. Ditambah lagi, dia mendapatkan dana itu dari pinjaman. Jika sampai gosip yang Ziya dengar benar, Atha pasti pusing tujuh keliling. Bukankah itu seperti ungkapan sudah jatuh tertimpa tangga? Buruk sekali kiasan itu saat ini. *** Kedua mata Atha menatap lurus ke depan. Dia melirik layar telepon selulernya yang menampilkan nama Noufal. Sudah tiga kali dia berusaha menghubungi sahabatnya itu, tetapi tetap tidak ada jawaban. Pikiran Atha mulai berkelana ke mana-mana. Meski tidak ingin mempercayai gosip yang diceritakan oleh Ziya, dia tetap penasaran. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api, bukan? Gosip muncul jika ada hal yang tidak jelas. Atha tidak ingin berprasangka buruk pada Noufal yang sudah sangat baik padanya selama ini. Akan tetapi, mau tidak mau, dia kembali memikirkan ucapan Ziya tadi. Bagaimana kalau ternyata Noufal juga menjadi korban penipuan? Bertahun-tahun bersahabat, Atha cukup mengenal Noufal. Di mata Atha, Noufal adalah sosok yang pandai dan penuh pertimbangan. Jadi, tidak mungkin dia bisa tertipu. Atha tahu jika tidak ada yang pasti di dunia ini. Namun, kemungkinan Noufal diperdaya sangat sulit dipercaya. Lagi pula, sudah banyak orang yang mengikuti investasi dan mereka berhasil. Lalu, mengapa sudut hati Atha merasa gelisah? Apa lagi Noufal tidak menerima panggilannya. Demi memuaskan rasa penasaran, dia memutar stir mobil dan berbelok ke jalur rumah Noufal. Keningnya berkerut begitu melihat banyak orang yang berkerumun di depan rumah sang sahabat. Sebuah perasaan tidak nyaman memenuhi d**a. Beberapa orang melihat keadaan rumah Noufal dengan mengintip ke jendela yang tertutup. Beberapa lagi mengetuk pintu berulang kali dengan tidak sabar. Bisik-bisik terdengar di setiap sudut. Atha mengenal sebagian orang yang memenuhi halaman rumah Noufal. Dia menenangkan diri, lalu menghampiri segerombol pria yang berada paling dekat dengannya. “Ada apa, Pak? Kenapa ramai sekali?” tanya Atha tanpa basa-basi. “Noufal itu penipu,” jawab seorang bapak yang mengenakan topi hitam, Bambang. Atha mengenalnya. Mereka sering bertemu. “Penipu bagaimana?” “Itu. Investasi yang dia tawarkan ternyata investasi bodong.” “Investasi bodong? Bapak yakin dengan berita itu? Mana mungkin dia menipu orang yang dekat dengannya.” “Noufal memang baik selama ini, tapi tetap saja, dia terlibat dalam penipuan ini. Dia yang ngajak warga buat ikut investasi.” “Tapi berita itu, kan, belum pasti, Pak. Mungkin saja ada salah paham di sini.” “Kalau memang ada kesalahpahaman, bukankah seharusnya Noufal menjelaskan. Bukannya malah menghilang. Ke mana dia di saat seperti ini?” “Mungkin dia memang sedang pergi dan kepergiannya tidak berhubungan dengan hal ini.” “Aku juga tidak mau berprasangka buruk, Tha. Tapi, dia menghilang di saat genting. Kami, kan, jadi semakin marah.” Bambang menghela napas berat. “Eh, kamu, kan, lumayan dekat sama si Noufal. Coba hubungi dia.” “Sudah, Pak. Tapi tidak dijawab. Sebaiknya kita bersabar dan menunggu penjelasan Noufal. Jangan sampai kita menimpakan kesalahan pada orang yang tidak tepat.” “Aku bisa paham, Tha. Bagaimana dengan mereka?” Bambang menunjuk beberapa orang yang semakin keras menggedor pintu dan jendela rumah Noufal. Atha tidak bisa menyalahkan mereka. Gosip seperti ini memang lebih mudah memengaruhi semua orang. Entah siapa yang menyebarkan. Entah berat atau tidak. Sosok Noufal yang menjadi kunci jawaban tentu menjadi sasaran. Atha tidak tahu ke mana Noufal pergi. Di saat seperti ini, seharusnya Noufal memang memberi penjelasan. Dia berkewajiban untuk meredam kemarahan warga yang merasa terusik dengan gosip mengenai investasi bodong. Kalau Noufal benar-benar menghilang, bukankah itu hanya akan memperjelas posisinya yang salah? Helaan napas Atha lolos beberapa kali dari mulutnya. Dia kembali mencoba untuk menghubungi Noufal, tetapi tetap tidak bisa. Apakah ini rencana Noufal atau hanya kebetulan seperti perkiraan Atha? Atha sungguh tidak tahu harus mempercayai yang mana. Dia ingin sekali percaya pada sahabatnya itu. Bolehkah? Cara Noufal menjelaskan mengenai investasi ini pada Atha sangat meyakinkan. Rasanya sulit dipercaya kalau semua itu hanya omong kosong tanpa bukti. Atha yang awalnya tidak tertarik, bahkan tergoda untuk mencoba. Apa ini? Apa kali ini dia juga salah menilai? Atau dia dan Noufal sama-sama dibodohi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD