Posesif Aaron

1066 Words
Sementara menunggu Shena yang sedang mengganti pakaian di dalam ruangan ganti, Aaron berbaring di atas sofa sambil bermain game di ponselnya. Shena melangkah keluar dari dalam ruang ganti dengan tubuh yang sudah terbalut dress berwarna lilac (untuk lebih detailnya aku posting di ig @storyansa). "Mas, coba liat deh." Aaron mengalihkan pandangannya dari layar ponsel pada sang istri yang kini sudah berdiri di hadapannya. Aaron menelisik penampilan Shena dari atas kepala hingga ujung kaki. Sementara Shena tidak henti menebar senyum, menunggu respon dari suaminya. "Gimana, Mas? Bagus kan dress nya?" tanya Shena. Aaron bangun dari posisi duduk. Melangkah mendekati sang istri dengan tangan bersidekap. Terdiam sejenak sambil memperhatikan potongan dress tersebut. Aaron menghembus napas pelan. "Bagus. Bagus banget malah," ucapnya berkomentar. Kedua mata Shena berbinar. "Beneran, Mas? Berarti Shena boleh pakai dress ini aja untuk ke pernikahan Derry sama Angela besok." "Oh jelas nggak boleh dong, Sayang." "Ih, tapi kenapa? Tadi katanya bagus. Kok nggak boleh sih, Mas?" protes Shena, menatap suaminya dengan alis menaut serta bibir melengkung ke bawah. "Iya. Emang bagus, Sayang. Tapi Mas nggak rela kalau kamu pakai dress ini untuk acara besok. Mas nggak rela ah, kalau paha kamu jadi tontonan gratis para tamu besok," ujar Aaron. Shena menunduk menatap dress nya. Sebenarnya dress tersebut mempunyai dua lapis pada bagian rok nya. Lapis pertama yang berada di bagian dalam memiliki potongan di atas lutut dan lapis kedua di bawah lutut, namun transparan dan benar apa yang di katakan Aaron, paha mulus Shena tetap bisa terekspos dengan jelas. Shena menghela napas berat. "Tapi Shena suka sama dress nya, Mas. Cantik banget," keluhnya. "Ya udah di beli aja. Tapi di pakainya hanya boleh saat kita berdua aja," ucap Aaron menampilkan senyum lebar. Shena berdecak. "Ngeselin. Masa iya aku beraktifitas di rumah pakai dress cantik begini. Yang ada tuh cocoknya pakai daster." Aaron tertawa pelan. Tangannya terulur mengusap puncak kepala Shena. "Cari lagi gih. Pokoknya Mas nggak mau kalau sampai kamu pakai dress ini di depan banyak orang." "Ya udah, aku ganti lagi." Shena memutar tubuh melangkah pergi untuk mencari dress yang lain. Sementara Aaron kembali merebahkan tubuh di atas sofa sambil melanjutkan game yang sempat tertunda tadi. Shena melangkah gontai menghampiri Vanya. "Tante," panggilnya membuat wanita tua itu menoleh pada nya. "Gimana? Aaron suka?" tanya Vanya. "Boro-boro, Tan. Yang ada aku suruh pakai dress ini cuma saat kita berdua doang," jawabnya membuat Vanya tertawa pelan. "Posesif juga ya," kekeh Vanya berucap. Kemudian ia mengambilkan dress yang lain untuk Shena. "Mau coba yang ini?" "Wah, cantik banget. Iya deh, aku mau coba." Shena tersenyum lebar mengambil alih dress tersebut dari tangan Vanya. Perempuan itu pun kembali masuk ke ruang ganti. "Mas," panggil Shena setelah mengganti dress nya. Aaron menghembuskan napas lelah saat melihat penampilan istrinya kali ini. "Ini apa lagi, Sayang? Bahu nya ke ekspos. Nggak suka pokoknya," ucap Aaron. Senyum di bibir Shena luntur seketika. "Nggak suka terus. Bahu nya gampang nanti Shena tutupi sama rambut," rengeknya. Aaron menggelengkan kepala beberapa kali. "Nggak. Sekali nggak tetep nggak. Lagian kan banyak pilihan dress yang bagus-bagus di sini yang bisa menutupi tubuh kamu, Sayang. Tadi pahanya yang ke ekspos, sekarang bahu nya," ucap Aaron mengomentari. Shena menghentakkan kaki dengan kesal. "Tahu ah! Mas Aaron ngeselin banget. Rambut Shena kan panjang, bisa ditutup bahunya, Mas." "Tapi, Say----," "Gak tau, ah! Kesel jadinya." Shena memutar tubuh dan langsung melangkah pergi meninggalkan Aaron yang belum selesai berucap. Aaron menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sayang, kok marah sih? Kan Mas cuma gak mau berbagi keindahan tubuh kamu sama orang lain," ucapnya sedikit teriak agar perempuan itu dapat mendengarnya. Meski begitu, Shena mencoba menulikan pendengarannya dan mengabaikan teriakan Aaron. Vanya yang mendengar suara itu segera melangkah menghampiri Aaron. "Kenapa? Kok teriak-teriak?" Belum sempat Aaron menyahuti pertanyaan Vanya, lebih dulu Shena datang dengan wajah kesal sambil menenteng sling bag nya. "Tante, aku pulang dulu ya. Assalamu'alaikum," ucap Shena serata menyalami Vanya. Lantas melangkah keluar dari dalam butik, meninggalkan Aaron di sana. "Wa'alaikumsalam," jawab Vanya dengan wajah bingung. "Shena kenapa, Ron? Dress nya gimana? Ada yang di pilih nggak?" tanya nya menatap pada Aaron. Aaron meringis. "Maaf, Tan. Shena kayaknya marah deh sama aku. Gara-gara nggak ada dress yang menurut aku cocok." Vanya menghela napas menatap Aaron. "Kamu ini. Jangan terlalu posesif banget kali." "Ya udah deh, Tan. Aku pulang dulu," pamitnya seraya mencium punggung tangan Vanya. "Oh iya, Ron. Coba tanya Shena, dia sakit atau nggak. Soalnya Tante perhatikan dia kelihatan sedikit pucat," ucap Vanya. Aaron mengangguk. "Iya, nanti aku tanya. Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikumsalam." Buru-buru Aaron mengejar istrinya. Beruntung ngambeknya Shena tidak sampai pergi sendiri. Sekarang perempuan itu sudah berada di dalam mobil yang tentunya dengan wajah kesal menatap keluar kaca mobil. Aaron masuk ke dalam mobil. Menatap wajah jengkel sang istri. "Sayang...." "Shena lagi kesel sama Mas Aaron. Jangan ajak ngomong," ketusnya menjawab tanpa membalas tatapan Aaron. Lelaki itu menghela napas berat. Menuruti apa mau nya Shena dengan diam tak mengajaknya bicara. Kemudian ia menyalakan mesin mobil dan langsung menancap gas pergi dari butik. Sepanjang perjalanan menuju rumah, benar-benar tidak ada sepatah kata pun yang memecahkan keheningan di dalam mobil. Aaron tetap diam walau mulut sudah gatal ingin mengeluarkan suara. Sebisa mungkin Aaron tetap membisu, bukan karena apa, tapi ia khawatir emosi Shena semakin tidak terkontrol padanya dan membuat perempuan itu semakin lama marah padanya. Aaron menghentikan mobilnya di carport. Segera Shena keluar dari dalam mobil, mengambil langkah cepat masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi Aaron hanya bisa menghela napas menatap kepergian istrinya. "Baru aja romantis-romantisan tadi," gumamnya seraya melepas sabuk pengaman. "Padahalkan gue wajar ya, nggak suka dia pakai dress yang bisa mengekspos tubuh nya. Kan sayang kalau jadi tontonan gratis orang-orang di sana." Melihat Shena yang melangkah cepat menaiki undakan tangga, membuat perhatian Zoya teralihkan dari layar televisi. "Lho, Shena kenapa itu?" Melihat Aaron yang baru memasuki rumah, segera Zoya memanggilnya. "Bang! Sini dulu deh." Aaron mengangguk. Menghampiri ibu nya yang sedang duduk di atas sofa depan televisi. Kemudian ia duduk di samping Zoya. "Kenapa, Ma?" "Kalian lagi berantem? Tadi Mama lihat Shena kayak bete gitu mukanya." "Oh nggak kok, Ma. Shena kecapean jadi pengen cepet-cepet rebahan kayaknya," jawab Aaron yang tentunya berbohong. Ia hanya tidak ingin membuat Zoya khawatir. "Beneran? Awas lho ya. Kalau pun kalian berantem, jangan lama-lama. Harus ada yang mengalah. Tepi kan egonya. Harus ada air di atas api yang membara," ucap Zoya. Aaron tersenyum sambil mengangguk. "Ya udah, kalau gitu aku ke kamar ya, Ma." "Iya, Sayang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD