Pingsan

1139 Words
Aaron membuka pintu kamar dan langsung menangkap keberadaan sang istri yang duduk berselonjor di atas tempat tidur. Terlihat jelas wajahnya yang masih kesal. Sambil bersidekap, bibirnya melengkung ke bawah. Saat tatapan mata kedua nya beradu, segera Shena membuang wajah menatap ke luar jendela kamar. "Sayang...." Aaron merangkak naik ke atas tempat tidur. "Kamu masih ngabek sama Mas? Maaf ya. Kamu boleh beli dua dress itu kok. Tapi pakainya cuma boleh saat kita berdua aja. Mas kan nggak mau berbagi keindahan tubuh kamu sama yang lain," ujar Aaron mencoba membujuk. Shena menghembuskan napas panjang sembari memutar bola mata jengah. Dalam hati ia mencibir kalau sikap suaminya terlalu over. Aaron turut menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Menatap sang istri dari samping. Tangannya terulur, menusuk-nusuk pelan pundak Shena menggunakan telunjuk tangannya. "Udahan dong ngambeknya," bujuk Aaron. "Sayang, ini suaminya lagi ngomong lho sama kamu. Tega banget di cuekin dari tadi." Shena mendengus pelan. Memalingkan wajah, menatap jengkel wajah suaminya yang berada di depan mata. "Mas tuh yang tega sama Shena. Terlalu over tahu nggak? Ngeselin deh." "Kan itu----," Shena menempelkan telunjuk tangannya di atas bibir Aaron, membuat lelaki itu berhenti berucap. "Sshhhuttt! Berhenti ngomong. Shena masih kesel sama Mas Aaron." Kemudian Shena turun dari atas tempat tidur. Mengayunkan langkah memasuki kamar mandi. Sementara itu, Aaron membuka ponselnya. Tampak sedang menggulir layar persegi panjang canggih tersebut. Lalu dua ibu jari tangannya tampak menari di atas keyboard. Hingga terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka, membuat pandangan Aaron teralihkan. Tanpa berucap, Shena melangkah keluar dari dalam kamar. Sepertinya perempuan itu akan turut membantu menyiapkan makan siang. Aaron memicingkan mata. "Tumben banget sih, jadi sensitif gini. Masalah dress aja sampe ngambek, cuekin gue dari tadi," gumamnya heran. Di lain tempat, Shena menghampiri Zoya yang masih anteng menonton acara di televisi. "Ma," panggil Shena membuat wanita tua itu menoleh seketika. "Iya, Na. Ada apa?" Zoya bertanya. "Menu makan siang kali ini udah tahu belum mau masak apa?" Zoya menggelengkan kepala. "Belum, Na. Tapi Bi Marni udah ke pasar kok. Jadi semua bahan masakan insyaallah udah ada. Memangnya kamu mau makan siang sama apa?" Shena mendudukkan tubuhnya di samping Zoya. "Shena lagi pengen makan nasi padang, Ma. Kangen banget, udah lama nggak makan nasi padang." "Nasi padang? Hm, Mama juga pengen deh. Kalau begitu kita delivery aja," saran Zoya. "Tapi Shena pengen makan langsung di warungnya, Ma. Mama mau nggak, kalau kita makan di sana aja? Nggak usah delivery." Zoya terdiam sejenak, tampak berpikir. Sudah lama juga ia tidak makan di warung kecil. Biasanya ia makan di kafe atau restoran mewah. "Ma, mau ya? Please.... Shena jadi higienis kok. Kita makan di warung nasi padang yang biasa Shena datangin," bujuk Shena sambil menampilkan wajah memohon. Zoya menghela napas. "Okay, deh. Mama mau." Shena tersenyum senang. "Kalau gitu Shena siap-siap dulu ya, Ma. Sekalian panggilin Mas Aaron." "Iya. Mama juga mau siap-siap dulu." Berhubung di rumah sekarang ini hanya ada Aaron, Shena, dan Zoya saja, maka dari itu Bi Marni tidak di minta untuk menyiapkan makan siang. Derry dan Thony sedang berada di gedung tempat pernikahan Derry di langsungkan besok. Sedangkan Moza dan Amanda tentunya masih ada di sekolah. Shena melangkah masuk ke dalam kamar. Aaron yang sedang rebahan santai sambil bermain game di ponselnya kini menatap perempuan itu dalam diam. Memperhatikan gerak-gerik Shena tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aaron ingat apa yang dikatakan istrinya kalau ia tidak boleh bicara dulu kepadanya. Shena meraih tas selempang yang menggantung di kapstok. Memasukkan ponselnya ke dalam sana. Lalu menatap pada Aaron yang masih diam menatapnya. "Ayo, Mas." "Ayo kemana, Sayang?" "Ikut aja kenapa sih? Nggak usah tanya-tanya segala," ketus Shena yang masih merasa kesal pada Aaron. Menghembuskan napas panjang. Aaron menuruti apa yang dikatakan Shena. Dengan langkah gontai, ia berjalan di belakang sang istri. "Jangan lupa bawa kunci mobilnya," ucap Shena saat mereka menuruni anak tangga. "Astagfirullah, sabar, sabar, orang sabar gantengnya nambah." Aaron membatin sambil mengusap dadaanya. Memutar tubuh kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci mobil. Shena dan Zoya sudah menunggu di halaman depan rumah. Kening Aaron mengerit melihat keberadaan Zoya juga. "Lho, sama Mama juga ya?" Zoya memicing menatap putra pertamanya. "Emangnya kenapa kalau Mama ikut? Abang nggak suka? Shena sendiri kok yang ngajak," ucapnya membuat Aaron lagi-lagi menghela napas. "Bukan gitu, Ma. Kan aku cuma---," "Udah, Mas. Ayo kita berangkat sekaran," sahut Shena memotong ucapan suaminya. Aaron menggaruk tengkuknya yang tdiak gatal. "Ini kenapa Bini sama Nyokap jadi kompakan ketusin gue sih?" herannya, lalu menyusul masuk ke dalam mobil. Melihat Shena yang duduk di bangku belakang bersama Zoya, Aaron sudah seperti seorang supir yang siap mengantar majikannya. "Ayo jalan, tunggu apa lagi. Mama udah laper nih," ucap Zoya. Aaron menoleh ke belakang. "Jalan kemana? Aku nggak tahu, kita mau kemana sih?" tanya nya. "Makan siang. Udah Mas Aaron jalanin aja dulu. Nanti Shena kasih arahannya kok," jawab sang istri. "Baiklah, Nona...." Mobil pun mulai melaju ke arah jalan, bergabung bersama kendaraan lainnya. Shena menyandarkan punggungnya pada penyangga kursi. Matanya terpejam sejenak saat tiba-tiba merasa pening. Tangannya terulur untuk memijat pelipisnya. "Kamu kenapa, Na? Sakit?" Zoya bertanya, khawatir. Mendengar itu, Aaron menatap istrinya lewat pantulan kaca. Wajah Shena memang sudah terlihat sedikit pucat sejak di butik Vanya. "Kamu sakit, Sayang?" Aaron mengajukan pertanyaan yang sama juga dengan Zoya. Shena menggelengkan kepala. "Nggak. Shena nggak apa-apa kok," ucapnya sambil menampilkan senyum tipis agar dua orang itu tidak mengkhawatirkan nya. "Beneran? Kita mampir ke rumah sakit dulu ya?" tawar Aaron. "Nggak usah, Mas. Shena baik-baik aja kok." Aaron mengangguk. Walau tidak percaya dengan apa yang dikatakan perempuan itu. Namun karena tidak ingin berdebat lagi, Aaron memilih untuk diam dan pura-pura percaya saja. Sesampainya di warung nasi padang, ketiganya langsung memesan masakannya. Dan sekarang mereka sedang menunggu pesanannya siap di sajikan. Sejak saat itu pula, Aaron tidak berhenti menatap sang istri yang semakin terlihat pucat. Pelayan yang datang mengantarkan pesanan, membuat pandangan Aaron teralihkan. "Terima kasih, Mbak." Shena tersenyum sopan. "Sama-sama. Selamat menikmati," jawab pelayan perempuan tersebut dengan sopan. Helaan napas panjang keluar dari mulut Shena saat hendak menyuap nasi. Belum sempat itu terjadi, Shena yang merasa mual begitu mencium aroma sambal pada nasinya segera lari masuk ke dalam kamar mandi. Tentu saja membuat Aaron dan Zoya panik seketika. Shena menutup pintu kamar mandi dengan kasar. Memuntahkan semua isi perutnya di dalam sana. Sedangkan di luar, Aaron dan Zoya tampak panik dan cemas. Tok! Tok! Tok! "Sayang, kamu kenapa? Tolong bukain pintunya!" teriak Aaron. "Hueekk! Hueekk!" Shena memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Setelah merasa cukup puas untuk mengeluarkan isi perutnya, dengan energi yang masih ada, Shena membuka pintu menatap dua orang di sana yang menatapnya khawatir. "Sayang, kamu nggak apa-apa?" Aaron langsung memegang pundak Shena dengan sorot mata sendunya. Shena menggeleng lemah. Pandangan menjadi buram lalu hitam seketika. Aaron segera menarik tubuh Shena ke dalam pelukannya sebelum ambruk ke bawah. "Astagfirullah, Shena! Bang, cepet bawa Shena ke rumah sakit!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD