3. Bapak dan Praktikum

1075 Words
"Udah makan, Syad?" tanya Ibuk yang sedang menata lauk-pauk kami malam ini. Tempe goreng tepung yang tadi aku ceritakan, lalapan mentimun, dan sambal terasi. Makanan andalan kami. Di awal bulan biasanya kami masih bisa menikmati sop ayam dengan ayam yang disuwir tipis-tipis dan kuah yang banyak. Atau ayam goreng yang Ibuk potong kecil-kecil per bagian agar awet untuk makan sehari. Tapi sayang, ini sudah lewat tengah bulan. "Belum Buk." Irsyad memang selalu jujur kalau ada yang memberinya tawaran makan. "Tapi Ibuk cuma goreng tempe, Syad. Mau?" Irsyad mengangguk. Sejak kenal tiga tahun lalu sebagai mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Indonesia, dan didukung dengan seringnya Irsyad mendatangi rumahku meminjam tugas, ia jadi terbiasa memanggil orang tuaku dengan sebutan Bapak dan Ibuk. Begitu pula aku dengan orang tuanya. Kami sudah seperti keluarga. Mudah-mudahan, benar jadi keluarga kelak beberapa tahun ke depan. Amin Ya Rabb. Kami sudah berkumpul di meja makan. Febi dan April, duo krucil itu, akhirnya harus rela mengalah untuk para tetua ini, dengan makan di atas tikar depan TV. Kursi kami nggak cukup. Makan malam dipimpin Bapak. Ibuk sudah menyiapkan gelas paling besar yang sudah terisi penuh air putih. Piring juga yang paling besar, meskipun Bapak makannya nggak banyak. Kata Ibuk, laki-laki harus dihormati. Apalagi sebagai seorang bapak dan suami. Bapak bagi kami memang bagaikan seorang Raja dalam sebuah istana. Disegani, diagungkan sebagai pemimpin jalannya biduk rumah tangga. Bapak lebih sering diam saat kami mengobrol, tapi Bapak mendengar dan mencerna semuanya. Bapakku orang pintar. Beliau lulusan Universitas Negeri terpopuler se-Jawa Tengah. Pernah di suatu sore saat kami duduk-duduk di kursi plastik teras depan, Bapak bercerita tentang kehidupan masa remajanya. Bapak sering kali membanggakan salah satu temannya yang berhasil menjadi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Tapi aku lebih bangga dengan Bapakku. Orang tua Bapak memang bukan orang kaya. Mereka sanggup bertahan hidup di sebuah kota kecil seperti Sragen, hanya dengan mengandalkan berjualan emping. Emping Nenekku di sana, sangat enak dan renyah. Bapak dulu juga mengandalkan beasiswa semasa kuliah sampai Bapak lulus, sama sepertiku. Beliau sempat menjadi guru honorer beberapa tahun, hingga di tes terakhir dimana syarat usia Bapak sudah mentok, akhirnya Bapak lulus CPNS juga. Fajar di bulan Agustus 2012 yang dingin, aku pernah menangis di belakang Bapak yang memboncengkanku. Beliau memakai jaket tebalnya yang warnanya sudah belel. Kala itu, awal semester dan aku masih mahasiswa baru. Hampir semua pretest praktikum dilaksanakan di pagi buta. Sekitar jam setengah enam. Pretest praktikum Anatomi yang paling parah. Kami harus sudah duduk manis di ruangan jam lima kurang sepuluh, karena pretest dimulai jam lima tepat. Lima pagi! Bapak dengan kesabarannya, mengantarkanku menuju kampus bahkan sebelum adzan Subuh berkumandang. Tentunya, dengan motor Kaze Kawasaki kebanggaan Bapak. Vespa kami sudah rusak, di gudang, dan belum ada yang mau beli. Kami mampir sholat Subuh di tengah perjalanan selama seminggu itu. Aku sering terkantuk-kantuk di jalan, efek begadang semalaman untuk belajar. Dan sesering itu pula, Bapak selalu menarik tanganku ketika sadar peganganku di perutnya mengendur. "Nduk, bangun!!" Teriak Bapak sembari mengantukkan helmnya ke belakang. Ke helmku. Sampai aku bangun. "Jangan tidur. Nanti jatuh!" Andaikan aku punya mobil, pasti Bapak nggak akan kedinginan melawan angin pagi yang begitu menusuk tulang. Andaikan aku punya mobil, aku pasti bisa merebahkan jok mobil dan mencuri tidur untuk mengganti tidurku yang hilang selama satu jam perjalanan. Aku nggak tahu aku menangis karena apa? Apa karena mobil, Bapak atau praktikum. Tapi kombinasi ketiganya cukup membuat bulir air mataku meluncur. Aku mau punya mobil. Buat Bapak! ----------------------------------- "Oiiii, kalo makan jangan bengong!" Irsyad menepukku. Benar-benar dia ini! Aku hampir tersedak gara-gara dia! Irsyad sudah nggak punya sopan santun, layaknya tamu pada umumnya. Seenaknya dia makan banyak. Bahkan ia sering ketiduran di tikar depan TV, saat menyontek tugasku. Bapak hanya berdecak. Bapak nggak tahu kalau aku sedang memikirkan beliau. Sampai sekarang aku sudah masuk tahun ke tiga, kami masih begini saja. Aku belum bisa beliin Bapak mobil. Dan motor Kaze itu masih jadi kendaraan termewah kami. Tabunganku nggak pernah penuh. Selalu habis setiap akhir bulan. "Pak. Doain ya Pak! Ntar kalo Tari udah jadi dokter, Tari mau beliin Bapak mobil," celetukku di sendok terakhir. "Amiiiinnnn ... " Irsyad, Febi dan April menjawab 'amin' paling panjang dan paling keras. Bapak dan Ibu tersenyum hangat sembari menyadarkanku dengan kenyataan. "Ngomong apa toh kamu, Nduk .. Nduk?" "Ya siapa tau, Buk. Dokter 'kan gajinya gede ya, Syad?" Aku mencari dukungan dari Irsyad. Untungnya, ia mengangguk. "Iya Buk. Nanti abis internship biar Tari jaga IGD. Pasiennya banyak. Jarang pulang gapapa. Yang penting duitnya masuk rekening. Hahaha." "Aminnnnnn." Akhirnya Bapak Ibuk meng-amin-i doaku. ----------------------------------- "Baca grup deh. Lo ditunjuk jadi Korbid tuh." "Heh? Gue? Korbid apa?" "Bedah." Irsyad kembali fokus pada laptopnya setelah melempar handphone canggihnya ke atas lipatan kasur palembang di sampingnya. "Yes aja buru bales! Mayan ... lo bisa kenal staf bedah. Ntar kali aja ada duit buat PPDS, udah gampang cari rekomendasinya." Benar juga! Oke. Aku segera membalas pengumuman pemilihan Koordinator Bidang Mata Kuliah itu di grup. Menjadi Korbid banyak keuntungannya, salah satunya yang disebutkan Irsyad. Kerugiannya cuma satu, yaitu jadi orang sibuk tanpa dibayar. Bolak-balik kampus-rumah sakit demi mengatur jadwal kuliah dengan para dosen yang sibuknya minta ampun. Apalagi Bedah. Jadwal mereka nggak bisa diprediksi. Aku dan Irsyad langganan jadi Korbid sejak semester dua. Hanya orang-orang seperti kami ini yang semangat menjadi Korbid. Anak staf atau keturunan klan dokter nggak perlu repot-repot lagi pendekatan dengan staf, karena pasti mereka sudah punya banyak link. "Syad, lo tau nggak siapa Koordinator Dokter Bedahnya?" "Kagak. Tanya Baron deh." Belum sempat aku mengetik, Irsyad menghentikanku. "Eh wait, gue tanya Hapsari aja." Oke, baiklah! Aku nggak protes sama sekali. Aku tahu, perasaan nggak bisa dipaksakan. Irsyad dan Kak Hapsari juga belum jadian, tapi Irsyad gencar setengah mati mengejar dia. Aku nggak mungkin bilang suka dengan Irsyad sekarang. Buat apa? Nikah masih lama. Kalau aku tembak dan pacaran, tiba-tiba kami marahan, persahabatan kami jadi hancur. Aku takut. Aku juga nggak punya apa-apa untuk dibanggakan. Satu-satunya senjataku hanya doa di sepertiga malam. Aku menyelipkan namanya di sana. Siapa tahu, Allah menjodohkan kami berdua. Irsyad menunjukkan balasan w******p Kak Hapsari padaku. "Noh. Dokter Gamma nih. Bedah Digestif. Gilingan! Liat tuh gelar! Dah Doktor, Ri! Doktor Dokter Gamma Narendra Spesialis Bedah, Konsultan Bedah Digestif. Urusan lo ma om om, Ri. Hahaha!" ----------------------------------- ----------------------------------- PPDS : Program Pendidikan Dokter Spesialis. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD