2. Ibuk dan Vespa

1220 Words
"Buk." Aku menunduk dan mencium tangan Ibuk. Beliau sedang duduk di depan mesin jahitnya. Dulu, ibuku pernah membuka usaha konveksi yang lumayan besar. Berkat bantuan pinjaman UMKM dari bank. Dari karyawan Ibuk sedikit sampai banyak. Ibuk memang tipe wanita suka bisnis. Konveksi iya, jualan makanan iya, bahkan buka usaha mebel pun pernah. Semua dicoba, berhasil sesaat, tapi nggak bertahan lama. Aku kecil sering sekali diajak Ibuk kesana-kemari mengunjungi supplier dan konsumen langganan Ibuk. Naik Vespa yang warnanya biru. Kendaraan pertama di keluarga kami, dimana jok depan dan belakang tidak tersambung, sehingga Ibuk harus menyelipkan kain tebal di tengahnya agar aku bisa duduk nyaman antara Bapak Ibuk, tanpa kena angin. Aku nggak tahu Bapak membelinya baru atau bekas. Tapi hampir beberapa kali aku ikut Ibuk dan Vespa itu mogok di tengah jalan. Sampai aku hafal. Gara-gara busi yang kotor. "Mogok lagi, Nduk. Minggir dulu ya? Kita cek businya." Dan layaknya seorang superwoman, Ibuk mengajakku berjalan menuntun motor mencari tempat teduh. Biasanya di bawah pohon. Aku duduk berjongkok dan Ibuk membuka bagian mesin Vespa. Aku bahkan ingat alat mana yang digunakan Ibuk untuk membuka penutup mesin. Saking seringnya. Ibuk mengambil busi dan meniupnya, agar kotoran-kotorannya hilang. Setelah dipasang lagi, barulah mesin menyala. Daebak! Tapi, kalau nggak menyala, itu artinya kami harus menuntun Vespa hingga menemukan bengkel. Pertolongan terakhir kami. Kami sempat menikmati yang namanya kesuksesan hasil dari kerja keras. Berkah dari usaha mebel. Usaha terakhir kami sebelum akhirnya bangkrut. Nggak ada uang untuk balik modal karena harus bayar hutang. Kami sempat beli mobil. Beli rumah baru yang lebih besar dan kuliah di tempat bergengsi. Fakultas kedokteran pula. Tapi lagi-lagi roda hidup terus berputar. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Sekarang, roda kami sedang ada di bawah. Ujung paling bawah. Merasakan panasnya aspal jalanan. Beradu dengan kerikil-kerikil tajam yang kami lewati. "Udah pulang kamu, Nduk?" Ibuk melanjutkan memasang jarum pentul pada kain yang sudah dipotong sesuai pola. "Gimana PBL-nya? Lancar?" Aku menuang air putih dari teko yang selalu ada di meja makan kecil kami. Meja makan dari kayu yang nggak muat untuk makan berlima karena Bapak meletakkannya berdempetan dengan tembok. Kata beliau, demi memperluaskan ruangan agar rumah warisan kakek ini nggak makin sempit dihuni oleh lima orang dewasa. "Lancar Buk. Yang dateng penyuluhan banyak." Satu gelas habis. Aku menuangkannya kembali. Air putih bekalku juga sudah habis tadi di kereta. Entah kenapa hari ini panas sekali. Belum lagi, bergelut berebut posisi nyaman dengan ratusan orang yang penuh dengan keringat di dalam gerbong. Aku menahan diri untuk nggak beli air mineral di jalan. Lumayan irit lima ribu. "Bapak kemana?" "Itu di belakang. Lagi kasih makan ayam." Sejak Bapak pensiun dari profesinya sebagai guru, Bapak memberanikan diri mulai berbisnis bersama temannya. Alasan beliau adalah agar punya kegiatan. Nggak menganggur. Ada salah seorang teman guru MGMP yang beda sekolah dengan Bapak, kemudian menawari bisnis investasi menabung emas. Kami percaya saja karena penampilan Om Iyan waktu itu sangat meyakinkan. Banyak teman Bapak Ibuk yang berani mengeluarkan banyak uang setelah Om Iyan ini mempresentasikan bisnis tabungannya dengan sangat percaya diri. Namun suatu hari, Om Iyan membawa kabur uang ratusan juta tabungan milik kami. Alhasil Bapak yang merasa bertanggungjawab. Bapak adalah salah satu pencetus awal bisnis ini. Bapak berusaha mengembalikan uang nasabah dari menjual aset-aset kami. Om Iyan masih buron sampai sekarang. Entah bagaimana hidupnya sekarang. Dikejar banyak orang dan polisi, pastilah nggak akan tenang. Seperti kami, nggak pernah tenang setiap tanggal 15 datang. Cicilan's time. Kami hanya bergantung dari uang pensiunan Bapak, orderan jahitan Ibuk, dan hasil jualan online-ku yang masih serabutan, untuk membayar cicilan yang cukup besar di dua bank. Juga beberapa lintah darat. Setidaknya, sisa uang kami masih cukup untuk makan dan keperluan sehari-hari. "Febi, April, belum pulang Buk?" "Belum. Febi ada ekskul piano. April KIR katanya hari ini kayaknya ya?" "Owh." Febrianti Sukma, adik pertamaku. Lahir bulan Februari. Kelas 2 SMA. Hobi memainkan piano. Saat aku tanya mengapa ia mengambil ekskul tak berguna itu, ia hanya menjawab karena kami nggak akan mampu membelinya sampai kapanpun. Benar juga. Untuk membeli alat musik seruling saja kami akan berpikir seribu kali. Apalagi piano. Kami nggak akan merambah area hobi orang-orang elite, trendi dan bergengsi itu. Dan nggak berguna? Menurutnya, bermain piano meningkatkan kecerdasan. Melatih konsentrasi. Mengurangi stress serta menyeimbangkan otak kanan dan kiri. Oke, aku setuju saja. Kapan lagi aku punya adik seorang pianist dari hasil belajar gratis di ekskul sekolah. Nilai biaya les piano saja pasti sudah menghabiskan jatah uang jajan dan transport kami bertiga selama 1 bulan. Pianist hebat pasti akan sering diundang konser ke luar negeri 'kan? Hanya Aprilia Andari yang suka penelitian diantara kami bertiga. Lahir di bulan April, tentu saja. Adik bontotku yang masih kelas 1 SMA. Rajin berberes di rumah, belajar dan membantu Ibuk memotong pola. Dia juga pintar. Lebih pintar dariku mungkin. Semoga ia juga kelak akan menjadi seorang peneliti hebat yang karyanya mendunia. Diundang presentasi di luar negeri. Dikontrak oleh perusahaan multinasional. Aku? Kamu bertanya tentang aku? Aku sendiri, Meilani Mentari, sebenarnya seorang pecinta matematika dan menulis. Aku nggak terlalu suka fisika, biologi atau kimia, meskipun bisa mengerjakannya. Nggak tahu kenapa mungkin karena nilaiku yang lain juga cukup bagus, dan saat itu kami punya cukup banyak uang, Bapak memasukkanku ke sekolah kedokteran. Beliau ingin salah satu anaknya menjadi dokter. Dan di sinilah aku, menjadi calon dokter termiskin sefakultas. "Nduk, tadi Irsyad dateng. Katanya mau pinjem catetan kamu. Emang dia nggak telpon apa wa dulu ya sama kamu?" Aku menggeleng, masih mengemil kerupuk warna-warni yang ada di toples atas meja. Hanya ada kerupuk dan tempe goreng tepung di atas meja untuk makan malam kami. Ibuk suka menggoreng seperti ini karena tempe bisa diiris setipis mungkin. Apalagi ditutup tepung, jadi terlihat besar, dan mengenyangkan. Sedangkan sayur, biasanya Ibuk masak pagi-pagi saja untuk sarapan. Maklum, ini tanggal tua. Kami harus irit. "Ibuk kan nggak tau catetan yang mana." "Owh, ntar Mentari telpon dia, Buk." ----------------------------------- "Lo mau pinjem buku apa?" "Tugas Penyakit Dalam lo udah kelar?" "Udah. Ntar gue fotoin. Gue WA." "Gue ke rumah lo ajalah. Males gue baca foto WA kecil-kecil gitu." "Lo ya ... pinter-pinter tapi malesan." "Loh justru gue pinter, gue berhak males dong, Ri." "Kayak hidup lo dah enak aja." Aku langsung menutup percakapan kami. Untunglah aku selalu punya pulsa gratis telepon sesama provider. Untunglah juga, w******p ada fitur teleponnya. Jadi aku nggak repot. Lebih baik menelepon Irsyad daripada berlumut menunggu ia membalas pesan WA-ku. Irsyad teman senasib sepenanggungan. Nggak semiskin aku sih. Ayahnya berbisnis bengkel dan sudah punya banyak pelanggan. Ibunya juga sering mendapat order kue pesanan dalam partai besar. Irsyad berparas tampan, kulit putih dan punya senyum berlesung pipit. rambutnya sedikit ikal. Pertemanannya di kampus juga cukup luas dan banyak, karena dia adalah salah satu idola kaum hawa, termasuk aku. Dari segi pemasukan rumah tangga dan penggemar Irsyad masih di atasku. Tapi, dalam segi pengejar beasiswa, dia adalah salah satu pesaing berat sepanjang semester. Irsyad sering kali lebih unggul dalam hal beasiswa prestasi. Sedangkan aku, sudah pasti masuk menjadi nominasi pertama saat beasiswa siswa nggak mampu diumumkan. Aku menyukai Irsyad sejak dulu. Dia pintar, baik dan asisten dosen Anatomi. Mata kuliah terkeren sepanjang aku kuliah di sini. Entah kenapa, dulu setiap asisten dosen Anatomi menjelaskan nama-nama bagian organ di cadaver pada kami, mereka terlihat sangat bersinar. Aku jatuh cinta dengan Anatomi. Ups, asistennya! Tapi apalah aku. Irsyad sekarang sedang suka dengan kakak tingkatku tahun ke empat yang super cantik dan super baik. Mayadila Hapsari. Anak salah satu Profesor di Fakultas kami. Ia jelas jauh lebih memiliki segalanya daripada aku. Owh Allah, bolehkah aku seenggaknya bisa memiliki apa yang aku impikan dan inginkan? Satu saja. Please! ----------------------------------- ----------------------------------- PBL: Praktek Belajar Lapangan. Cadaver: Mayat yang sudah diawetkan dan digunakan untuk praktikum Anatomi tubuh. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD