Number 1

2508 Words
Tin! Tin! Mobil mewah berwarna merah milik Perly baru saja masuk pekarangan sekolahnya. Di sana, di depan mobil mewah lainnya yang berwarna hitam, berdiri tiga orang gadis yang sepertinya memang menunggu kedatangan Perly. Itu biasa, mereka sahabat, bahkan warga sekolah tak heran lagi melihat mereka yang bahkan rela terkena hukuman bersama jika salah satu dari mereka mendapat hukuman. Apa itu istilahnya? Best friend forever? Sejoli? Sahabat kepompong? Ah, intinya yang semacam itu. Tapi, yang berbeda kali ini adalah, raut wajah mereka yang seperti sedang gelisah, seperti gemas sekali menunggu kedatangan Perly. Ya, Perly mengerti, pasti Buk Mena. Baru saja Perly akan membuka pintu mobil, salah satu dari mereka sudah mencecar terlebih dahulu, "Lo dari mana aja sih, Er? Dari tadi lo di cariin tau nggak sama Buk Mena." Benar 'kan? Raut mereka yang seperti ini hanya di dapat ketika berurusan dengan guru yang satu itu. Sambil mengeluarkan semua barang-barang bawaannya dari bagasi mobil, Perly menoleh sebentar sebelum menanggapi, "Aduh gue gak punya waktu buat jelasinnya." Sedikit kesal karena ketiganya hanya menatap dirinya yang tengah terburu-buru mengeluarkan semua barang. Maka dia berkata sambil menukik kesal, "Lagian, udah tau gue telat dan di tungguin sama Buk Mena, ini bukannya di bantuin biar cepet malah ngomel. Bantuin cepetan!" ujarnya terdengar sedikit rengekan di akhir kalimat. Berdecak lebih dulu, mereka tak mungkin menolak, meski juga tengah kesal karena sedari pagi mereka yang di cecar Buk Mena karena keterlambatan Perly, mereka tetap bergerak meraih beberapa barang yang belum di turunkan. Sambil memberi ocehan tentunya.  "Perly!" Seorang siswa meneriaki namanya, membuat Perly dan sahabat-sahabatnya menoleh ke belakang. Perly lupa namanya, yang Perly ingat, laki-laki itu satu angkatan dengannya, hanya berbeda kelas. Menunjuk tempat di mana ruang osis berada, "Lo di tungguin sama Buk Mena di ruangannya. Cepetan! Dia udah ngamuk dari tadi gara-gara lo telat." ungkapnya membuat Perly semakin meringis. Siap-siap saja pagi ini dia mendapat siraman rohani yang maha panjang. "Mampus lo Er. Bisa di depak lo dari OSIS." ucap sahabatnya menakut-nakuti.  Menoleh sejenak untuk memberikan pelototan yang membuat mereka cekikikan, lalu kembali tolehkan kepala pada laki-laki tadi, "Oke. Gue ke sana sekarang. Thanks ya," Perly berteriak pada laki-laki itu.  Mengambil tas punggung di balik kemudi, lalu melempar kunci mobil pada Vanya dan segera berlari dari sana sambil berteriak, "Bawain barang-barang gue ya!" Seraya tangan kanannya terangkat membentuk huruf OK..  Dua dari ke tiga gadis itu melongo, "E eh. Er! Perly! Ini banyak banget, ya kali kita yang ngangkut! Woi!" Heboh Agnes meneriaki sahabat cantiknya itu. Teta, salah satu dari mereka menelisik semua barang yang baru saja di turunkan dari bagasi mobil. Otak pintarnya berputar begitu cepat, mencari alasan supaya bisa terbebas dari pekerjaan yang melelahkan ini. Pikirnya, biarlah kali ini dia tak solidaritas, hanya untuk kali ini saja. Maka tak membuang banyak waktu lagi baginya untuk mengungkapkan apa yang terlintas di kepalanya kala itu, "Emm ... gue kayaknya nggak bisa bantu deh. Bukan apa-apa, gue 'kan juga anggota OSIS, entar kalau gue nggak ada di sana, gue yang di sembur Buk Mena. Jadi, sorry ya. Gue pergi dulu, fighting!" jelasnya mengepalkan kedua tangannya untuk menyemati sebelum berlari dari sana. "Yang bener aja woi! Balik lo! Tetrasi!" Teriakan Agnes makin nyaring, sedangkan Vanya hanya berdecak. Kesal sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, Teta memang anggota inti. Hah ... anak itu pintar sekali mencari alasan yang tepat di waktu yang tidak tepat. Dengan pasrah, dia mulai mengangkat barang-barang di sana, "Udahlah bawain aja," putusnya membuat Agnes kian berdecak kesal, sangat tak ikhlas terlihat saat gadis itu membawa barang lainnya. Sedangkan di koridor sekolah, Perly terus berlari untuk sampai ke ruangan OSIS, guru yang menjadi pembimbing OSIS, "Permisi Buk. Huh ... huh ..." Nafas Perly terengah-engah saat sudah sampai di ambang pintu ruangan Buk Mena. Satu tangannya bertumpu pada kusen pintu, satunya lagi bertumpu pada lututnya, meraup udara sebanyak banyaknya seakan pasokan oksigen akan habis sebentar lagi. Hei, ruangan OSIS itu tak main-main jauhnya dari parkiran. Jelas persediaan nafasnya terkuras banyak. Di sana, anggota OSIS sudah lengkap, pandangan mata mereka tertuju padanya, tentu saja, itu pasti. Apalagi tatapan mematikan dari guru wanita yang memiliki badan agak berisi itu. Katanya menyerukan, "Nah.. ini dia ketua OSIS kebanggaan kita udah dateng. Ayo ayo sini, duduk dulu, duduk. Kamu pasti capek ya, sampai ngos-ngos-an kayak gitu." Sambil tersenyum ke arah Perly. Iya, tersenyum, namun semuanya juga tau kalau itu bukanlah kalimat yang menyerukan sebuah rasa simpati karena Perly terlihat ngos-ngosan, apalagi dengan penekanan kata 'kebanggaan" dalam kalimatnya tadi. Itu menyeramkan. Melihat tak ada pergerakan dari Perly, Buk Mena akhirnya berdiri, dan berjalan menuju gadis itu lalu menarik pelan tangan Perly dan membawa Perly duduk di kursi miliknya.  Kontan, Perly tentu semakin melotot, ini adalah pertanda akan habisnya ketentraman paginya. Panik dirinya, tapi tetap memberanikan diri untuk menyela, "A-a.. tapi, Buk ..." Perly kembali berdiri dan Buk Mena kembali mendudukkannya. Masih dengan senyum mautnya dan menggeleng pelan. Katanya, "Nggak apa-apa. Kamu mau minum? Ibuk ambilkan ya." Buk Mena berjalan ke arah dispenser yang ada di dekat mejanya.  Perly menatap satu persatu anggota OSIS lainnya yang ada di sana. Mereka semua membalas menatap Perly dengan berbagai macam tatapan. Dan sekretarisnya berucap tanpa bersuara 'tamat riwayat lo sama Buk Mena, Er' ucapnya dan kemudian mengelus d**a, meng-isyaratkan Perly agar sabar.  Melihat itu, hembusan kasar Perly keluarkan. Menggeleng pelan sambil memijit pelipisnya. Benar. Tamat sudah riwayatnya.  Selesai dengan air, Buk Mena lantas kembali berjalan dengan segelas air di tangannya. Mengulurkannya pada Perly, "Ini. Ayo di minum.".  Perly menerimanya dengan tersenyum canggung, "Ma-makasih ya, Buk," ucapnya pelan, membalas dengan senyum canggung. "Iya, sama-sama. Ayo diminum." Buk Mena mempersilahkan dengan senyum manisnya.  Dengan patuh, Perly meminum air yang diberikan oleh Buk Mena padanya, meski sesekali melirik sekilas raut Buk Mena yang menatapnya intens. Braakk!!  Purrfftt  Air yang ada di dalam mulut Perly tersembur keluar saat mendengar gebrakan meja yang di lakukan oleh Buk Mena. Segera saja, Perly berdiri dari duduknya seraya punggung tangannya membersihkan sisa air di sekitar mulut dan dagunya. Tatapan membunuh dari Buk Mena membuat Perly rasanya ingin menceburkan diri dengan suka rela ke Sungai sss.  Anggota OSIS yang lainnya juga ikut terkejut mendengarnya. Sungguh cocok untuk senam jantung. Namun jika seperti itu terus menerus, mereka bisa terkena penyakit jantung. Menumpu kedua tangannya di pinggang, nafasnya menderu berat, sarat akan kemarahan saat bersitatap dengan Perly, "Ke mana aja kamu baru datang sekarang hah?!" teriaknya dengan mata yang melotot. Keluar sudah iblisnya.  "Kamu pikir saya punya waktu sebanyak ini buat nungguin kamu selama dua jam?!"  Perly tak menjawab. Dia hanya menundukkan kepalanya sambil sesekali mengusap telinganya yang berdengung karena pengang mendengar teriakan Buk Mena. Suara Buk Mena memang dahsyat tiada tara. Belum ada yang bisa menandinginya di sekolah ini, kecuali mama. Suara mama jauh lebih melengking dari ini jika marah. Astaga, ampun ma, anakmu ini memang durhaka.  "Ta-tadi--"  "Saya nggak nyuruh kamu buat ngejawab!" sentaknya cepat mendengar sepatah kata keluar dari mulut Perly.  Perly dan anggota yang lainnya kembali terkejut mendengar teriakan Buk Mena. Maaf-maaf saja, sebenarnya ibu dari Buk Mena ini mengidam apa ketika mengandung Buk Mena? Kenapa suara guru ini bisa sebegitu menggelegarnya? Menggerakkan satu tangannya pada Perly, sarat akan sebuah usiran kasar. Tak cukup dengan tangan, mulutnya ikut menyuarakan, "Minggir kamu! Saya mau duduk!"  Dengan secepat kilat, Perly langsung beranjak dari sana memberikan ruang untuk Buk Mena menempati tempat duduknya. Kursi kebesaran sang guru. Buk Mena membuka kaca mata bulatnya lalu mengambil selembar kertas untuk mengipas wajahnya. Iya wajahnya memerah dan panas saking marah. Perly bahkan bisa melihat bulir keringat di dahi Buk Mena di ruangan ber AC ini. "Saya nggak habis pikir sama kamu Perly. Kamu yang ngerencanain tour ini tapi kamu sendiri yang nggak bisa handle semuanya. Malahan kamu yang telat. Kamu pikir persiapan tour se-simpel kamu minum air putih apa? Semuanya harus disiapin, Perly. Kamu kayak ketua OSIS amatir tau nggak!" omel buk Mena menatap sinis pada Perly. Begitulah selama satu jam penuh, Buk Mena menceramahi mereka dengan berbagai macam kesalahan yang mereka lakukan. Sampai kesalahan yang tidak ada sangkut pautnya pun ikut terbawa.  Apakah semua orang tua seperti ini? Semuanya serba di besar-besarkan hanya untuk mencari bahan untuk menceramahi anaknya. Ah entahlah, mungkin itu cara mereka melampiaskan rasa marah. * * * "Sumpah ya itu tadi Buk Mena ceramahnya 1 jam non stop. Apa gak kering itu liur ngoceh mulu." keluh Teta, meneguk minuman di depannya. Dia dan Perly, juga anggota OSIS lainnya, baru saja keluar dari aula, baru selesai mempersiapkan semua hal yang berhubungan dengan tour nanti. Agnes yang mendengar itu lantas mendengus kesal. Bersungut-sungut dia berkata, "Lo mending cuma di sekolah aja, lah gue, hampir setiap hari ada aja yang di nyinyirin." Dengan kedua tangannya yang ikut mengambil bagian memperagakan kekesalannya. Mendengarnya, lantas Teta tertawa. Hampir lupa kalau sahabatnya itu keponakan Buk Mena, yang baru saja dia bicarakan, "Iya ya. Dia kan tante lo ya. Nggak kebayang sih jadi lo." ucap Teta yang hanya di angguki oleh Agnes.  "Lo kenapa Er?" Vanya yang sedari tadi memperhatikan Perly, akhirnya bersuara. TMI untuk hari ini, hanya Vanya yang memiliki kewarasan berlebih di banding ke tiga sahabatnya itu. Mungkin karena dia yang lebih dewasa dari mereka, sehingga mengambil peran sebagai kakak tertua. Perly masih tak menjawab. Dia masih terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.  Teta dan Agnes ikut menarik atensi pada gadis itu, Perly melamun, lantas sedikit tersentak kala Teta menyerukan namanya "Er?" Sambil menyentuh bahu Perly. "Em, ya, kenapa?"  "Lo yang kenapa? Lo ngelamun? Lamunin apa lo?" tanya Agnes.  "Oo itu ...," gumam Perly.  Raut wajah Perly seperti orang yang sedang kebingungan, maka dengan insting tinggi Agnes menerka, "Lo gak sakit hati 'kan sama ucapan Buk Mena? Astaga Er. Lo 'kan udah biasa sama mulutnya Buk Mena yang super pedas. Udahlah nggak usah di masukin ke hati. Toh dia marah juga karna lo yang salah 'kan," Dan insting dadakan itu di angguki Teta.  "Bukan. Bukan masalah Buk Mena." jawab Perly membuat mereka semakin bingung.  "Trus apa?" tanya Teta penasaran.  Perly tak langsung menjawab. Dia masih memikirkan, apakah yang di lihatnya tadi itu nyata atau tidak. Dan apakah ceritanya ini akan di terima oleh mereka?. Lagi-lagi, dengan tegas namun lembut Vanya berkata, "Cerita aja Er," Menatap Perly yakin. Seolah dia berkata lewat matanya, "Kita bakal dengerin, dan cari solusi sama-sama" membuat Perly akhirnya yakin untuk mengungkapkan. "Oke. Gue bakal cerita." Perly memperbaiki posisi duduknya dan menggeser kursinya untuk semakin mendekat dengan mereka, begitu pun yang lainnya. Ingat, ini adalah pembicaraan sensitif yang bersifat rahasia. "Kalian pernah liat ikan gak? Aduh, apasih. Bukan, bukan. Maksud gue, manusia setengah ikan." tanya Perly memperbaiki sedemikian rupa bahasanya. Sesaat mereka terdiam, sebelum Vanya memberi tanggapan, "Maksud lo mermaid?" tanyanya memastikan.  Senyum Perly mengembang, terlewat antusias karena Vanya dapat menebak dengan benar. Menyeru sambil menunjuk Vanya, "Nah, itu." Katanya. "Gue pernah." ucap Agnes membuat Perly melotot.  Berarti apa yang dia lihat tadi itu nyata?  Teta ikutan antusias, "Sumpah demi apa lo pernah? Beneran Nes?" Sedangkan Agnes hanya mengangguk sebagai jawaban membuat Perly dan Teta kian melotot tak percaya, juga karena antusias. "Beneran. Waktu itu gue nonton drakor, judulnya Legend Of The Blue Sea. Nah ceritanya kisah cinta mermaid sama manusia. Dan kalian tau siapa pemerannya? Lee Min-ho dong.." jelas Agnes antusias saat menyebut nama aktor Korea itu.  Baik Perly, Vanya maupun Teta, hanya menatapnya dengan tatapan kesal, sekaligus geram. Sedangkan Vanya hanya terkekeh pelan sambil geleng kepala dramatis. Terlalu hapal dirinya dengan pemikiran sahabatnya yang satu itu. Brak!  Perly tiba-tiba berdiri dan berteriak, "Bukan itu Agnes oon!" Membuat Agnes terkejut. Gadis itu kembali duduk di kursi, mengusap kasar wajahnya. Padahal dia sudah berharap kalau setidaknya ada satu dari ribuan orang percaya dengan apa yang di lihatnya, tapi ternyata, "Besar banget dosa gue sampai punya sahabat kayak lo," keluhnya frustasi. Kening Agnes berkerut, dia tidak salah 'kan? "Emangnya, gue salah apa? Lo nanya pernah liat mermaid atau nggak, ya gue jawab pernah di tv. Salah emang?" Agnes membela diri, bersikukuh dirinya tak salah. Perly menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, kemudian tersenyum paksa, "Nggak kok. Makasih ya udah di jawab pertanyaan gue," ucap Perly.  Agnes turut tersenyum, tanpa memikirkan betapa terpaksanya senyuman itu, "Nah gitu dong. 'Kan nggak perlu marah-marah kalau mau ngucapin terimakasih."  Agnes tidak tau saja, Perly sudah mati-matian menahan nyinyirannya agar tidak keluar begitu saja.  Untung sahabat. Rapalnya dalam hati. "Udah. Lanjutin Er." ucap Teta mengabaikan gaya congkak Agnes. Kalau tidak begitu, dirinya juga bisa ikut emosi nantinya. "Gue tau ini nggak mungkin, gue juga berpikir ini cuma halusinasi gue. Tapi percaya atau nggak, tadi pagi gue liat mermaid di pantai. Dengan mata gue sendiri." Tukas Perly menceritakan menatap mereka satu persatu. Dan saat matanya bersitatap debgan Agnes, segera saja dia mengangkat tangan di depan wajah Agnes, "Lo diem!" Perly menatap Agnes tajam, saat Agnes ingin membuka mulut untuk berbicara.  "Lo gak lagi bikin prank 'kan Er?" tanya Teta memicingkan matanya pada Perly.  Berdecak pelan, merotasi bola matanya malas, "Dalam rangka apaan gue bikin prank. Ini serius, gue lagi nggak becanda." "Lo liat jelas emangnya?" tanya Vanya. "Jelas banget. Walaupun jarak pantai sama jalan itu agak jauh, tapi mata gue gak mungkin salah. Malahan nih ya, gue inget gimana wajahnya." jelas Perly penuh keseriusan. Jeda sejenak sebelum terdengar suara Teta yang menanggapi, "Kayaknya itu cuma halusinasi lo aja deh, Er. Gak mungkinlah mermaid itu ada di dunia nyata, itu cuma ada di cerita dongeng, Er." "Tadi gue sempet mikir gitu. Tapi nggak tau kenapa, gue percaya kalau itu nyata. Mermaid yang gue liat tadi itu kayak berhubungan gitu sama gue." ucapnya lagi.  "Maksud lo?" tanya Vanya semakin penasaran.  Mencondongkan sedikit tubuhnya, menunjuk mereka satu persatu, "Lo inget soal mimpi yang pernah gue ceritain? Mimpi waktu gue nolongin cewek?" Mereka bertiga mengangguk sebagai jawaban.  "Lo tau nggak, gue gak cuma sekali mimpi-in cewek itu, dan parahnya lagi, cewek yang ada di mimpi gue itu, wajahnya mirip banget sama mermaid yang tadi pagi gue liat. Bedanya, yang di mimpi gue itu dia punya kaki, tapi yang tadi itu ekor. 100% ekor ikan." lanjutnya.  Perly diam sejenak, menatap ekspresi dari ketiga sahabatnya. Baru melanjutkan, "Nggak cuma itu. Kalian tau Bubu? Ikan hias yang ada di kamar gue? Warna mermaid itu sama persis sama Bubu. Dan gue rasa itu bukan kebetulan deh." Perly mengakhiri ceritanya.  "Agak nggak mungkin sih, tapi bener juga kata Perly. Nggak ada yang kebetulan di dunia ini." ucap Vanya di angguki ketiganya.  "Jangan-jangan mermaid yang lo liat tadi, butuh bantuan lagi" ucap Teta, katanya lagi, "Secara, lo 'kan mimpi nolongin cewek, dan cewek itu mirip sama mermaid itu. Mungkin aja mimpi lo itu pertanda buat lo nolongin mermaid itu." jelas Teta membuat Perly mengangguk antusias. Dirinya menimpali, "Pas banget sama dugaan gue. Soalnya, tadi itu, mermaid itu natap ke gue kayak seolah-olah dia itu berharap ke gue." ucap Perly lagi.  "Ini di luar nalar banget sih. Gue masih ragu kalau itu nyata." ucap Agnes.  "Ya gue juga masih gak percaya sih. Tapi gue lihat sendiri." balas Perly mempertahankan pendapatnya kalau itu benar-benar nyata. "Trus seandainya lo ketemu lagi sama tu mermaid. Lo mau ngapain?" tanya Vanya membuat Perly terdiam.  Entahlah, dia saja masih tidak yakin akan keberadaan makhluk itu, bagaimana bisa dia menentukan apa yang akan dia perbuat nantinya.  * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD