Number 4

2193 Words
Meneguk kopi miliknya terlebih dahulu, sebelum menjawab, "Masih belum. Tapi saya sudah curiga sama beberapa orang. Ya semoga saja kecurigaan saya salah. Karena sekolah kalian satu-satunya sekolah yang tidak pernah terkena kasus seperti ini," jawabnya di angguki yang satunya "Kalau memang itu terbukti, saya harap ini hanya antara Bapak dan kepala sekolah saja. Saya tidak mau orang lain tau dan akhirnya nama baik sekolah kami menjadi buruk di mata orang lain," ucap Perly membuat kedua polisi itu tersenyum. "Waktu Buk Mena mengatakan ketua OSIS yang memberikan usulan tour ini, saya pikir ketua OSIS-nya adalah laki laki, karena biasanya laki-laki lebih berani mengemukakan pendapatnya. Tapi saya kaget, begitu saya bertemu ternyata ketuanya perempuan. Saya sempat merasa kalau kamu tidak akan bisa lebih baik dari pada laki-laki yang menjadi ketuanya. Tetapi saya berubah pikiran ketika saya berbicara langsung dengan kamu. Kamu adalah ketua terbaik yang pernah saya temui." ucapnya panjang lebar. Perly terkekeh mendengarnya, sedangkan yang lain hanya bisa menatap penuh penasaran pada mereka, "Jangan berlebihan, Pak. Saya belum mau terbang ke angkasa," ucapnya membuat kedua polisi itu tertawa. "Tapi kalau mereka memang terbukti, apa mereka akan Bapak bawa?" tanya Perly lagi. Mengernyit bingung, pikirnya, pertanyaan macam apa itu? Tapi meski begitu, dia tetap menjawab, "Apa saya harus membiarkan mereka berkeliaran dengan bebas di sini?" polisi itu balik bertanya membuat Perly terkekeh karna pertanyaan bodoh yang dia tanyakan. "Jadi, mereka akan ditahan?" "Mungkin mereka akan direhabilitasi." jawabnya. "Itu artinya mereka akan putus sekolah." ucap Perly pelan. Mereka mendengarnya membuat dua polisi itu tersenyum maklum. Meski tampak se-tegas apapun sosok wanita yang menjadi ketua OSIS ini, Perly tak meninggalkan sifat murninya sebagai seorang wanita, simpatinya begitu tinggi, "Saya rasa itu lebih baik dari pada mereka terus seperti ini." tukas pak polisi lagi. Perly menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. "Kalau benar teman saya bersalah, mereka jangan dianiaya ya, Pak. Orang seperti mereka itu seharusnya disupport dan diberi bimbingan, jangan dihakimi, Pak," ucap Perly lagi. "Sepertinya wajah saya ini seperti orang yang suka menghakimi orang lain. Begitu menurut kamu?" tanya polisi itu. Peely menggeleng, wajah tegasnya kembali, mengimbangi wajah sangar si pak polisi, "Saya tidak bisa menentukan sifat seseorang dari wajahnya. Memangnya siapa yang tau sifat Bapak seperti apa," jawab Perly tenang. Pak polisi mendengus pelan, "Saya berdoa semoga nanti anak saya tidak memiliki sifat seperti kamu. Kamu sangat suka mendebat," canda polisi itu. "Dan Bapak sebagai orang tua sangat tidak mau mengalah kepada yang lebih muda. Untungnya Papa saya tidak mempunyai sifat seperti Bapak," jawab Perly membuat polisi itu tertawa. Benar yang Buk Mena katakan, meski terlihat sedikit urakan, Perly dapat membuat orang yang baru di kenalnya nyaman berdekatan dengannya. Anak itu pandai menempatkan diri. Masih dalam kebingungan yang sekarang sudah tidak dapat terbendung lagi, "Kayaknya bukan cuma gue deh yang nggak ngerti. Kalian ngomong-in apa sih?" Salah satu dari anggota Perly melontarkan tanya. "Anak kecil dilarang kepo," ucap Perly lantas berdiri dari duduknya, "Saya permisi dulu." Perly berlalu dari hadapan mereka, menuju tendanya. Tak terima dikatai anak kecil, laki-laki itu lantar berteriak, "Gue lebih tua ya daripada lo!" Yang tentunya dapat dengan jelas di dengar oleh Perly. "Tua kok bangga sih lo," ucap teman disebelahnya membuatnya terdiam. • Pagi ini ketika jam baru menunjukkan pukul 6.15, para anggota OSIS sudah bangun dan berkumpul di luar tenda untuk membahas tentang agenda apa yang nantinya mereka lakukan. Tak hanya itu, mereka juga sudah menyiapkan dapur umum beserta peralatan dan bahan-bahannya. "Berarti udah fix ya. Kita ambil ide dari Aza?" tanya Perly pada mereka semua. "Iya Er. Itu aja, kayaknya menarik buat di coba," jawab salah satu dari mereka. "Tapi, Er ..." Ucapan menggantung dari salah satu temannya membuat Perly menolehkan kepala, "Masa kita cuma bikin dua agenda aja. Ada kek gitu gamenya atau acara hiburannya mungkin." Katanya memberi usulan. Yang lain mengangguk menyetujui, "Nah bener tuh, kita adain game berhadiah gimana?" Yang lain ikut mengusulkan. "Hadiahmya apa dulu biar kita sesuai-in sama gamenya." ucap Teta pada siswa itu. Dia sebagai sekretaris, harus jeli menerima masukan-masukan dari rekan-rekannya agar diresume olehnya. "Eh iya, apa ya? Masa uang sih, yakali," jawab siswa tadi membuat yang lainnya memutar bola matanya malas. Ternyata belum tersusun semua masukan yang dia berikan. "Uang boleh juga sih. Karena pasti banyak yang berpartisipasi," ucap Perly menyetujui celetukan asal itu. Kening semuanya mengernyit dalam, "Gila aja Er. Uang dari mana? Uang lo?" tanya Dito mewakili. "Ya kita pake uang OSIS lah. Kalian nggak tau ya kalau kepala sekolah ngasih kita uang konsumsi?" tanya Perly dan mereka dengan cepat menggeleng. Hal itu membuat Perly terkekeh, "Kasian banget." "Terus kenapa lo nyuruh kita-kita masak dan bawa peralatan masak kalau emang ada uang konsumsinya? Beli aja kali Er." ucap Aza diangguki yang lainnya. Bukankah itu lebih menghemat tenaga? Pikir mereka. "Dapet uang konsumsi bukan berarti kita harus bergantung sama uang itu. Kalau bukan gue yang nyuruh kalian masak, emang kalian bakal masak? Nggak 'kan? Setidaknya secara nggak langsung gue ngajarin kalian masak," jawab Perly panjang lebar. "Ya gak gitu juga Er. Yang ada itu di manfaatin gitu loh," ucap Teta yang jelas diangguki yang lainnya. Perly menghela nafas panjang, "Kalian mau tau kenapa uang itu gak gue pake? Kalian pikir kita sewa tenda sama perangkatnya dan semua peralatan PMR dari pramuka itu nggak bayar? Kepala sekolah nyuruh kita yang patungan buat bayar itu, kalian sanggup? Makanya gue pake uang itu buat bayar ini semua. Jelas?" jelas Perly membuat mereka terdiam. Mungkin ini salah satu alasan kenapa Perly mendapat gelar lain di sekolah selain primadona dan berandal sekolah. Perfect Ketua OSIS, itu julukan lainnya. Bahkan mantan-mantan ketua OSIS yang lain pun mengakui itu. Dan sekedar informasi saja, Perly adalah wanita pertama yang menjabat sebagai ketua OSIS sejak sekolah mereka berdiri. Itu adalah klarifikasi dari kepala sekolah sendiri. "Ya udah gak usah dibahas lagi deh," lanjutnya dan mereka hanya mengangguk patuh, terlalu segan untuk menjawab. Perly beralih menatap Teta, " Ta, udah lo catet 'kan agendanya?" Dia bertanya. "Udah semua Er," jawab Teta mengangkat note book yang dia bawa. "Er. Trus ini yang masak gimana? Masa kita juga sih?" tanya salah satu gadis di sana. "Kalau semuanya kita yang sedia-in, percuma mereka pergi ke sini." ucap Perly tanpa menatap mereka, sibuk pada toa di tangannya, "Mereka ke sini bukan buat jadi anak manja yang apa-apa semuanya udah tersedia. 15 menit lagi kalau mereka belum bangun, bangunin mereka. Suruh yang cewek buat masak dan yang cowok beresin tenda." Perintah Perly setelah melihat jam di pergelangan tangannya. Mereka semua mengangguk mengerti. Perly mengalihkan pandangannya ke segala arah, dan tiba-tiba matanya menangkap sosok seorang gadis yang sama dengan apa yang dia lihat saat dia dalam perjalanan sekolah kemarin. Apakah ini sungguhan? Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa dia ada di sini? Sang wakil yang melihat keterdiaman Perly, ikut menoleh ke arah yang sama. Tak ada siapa-siana di sana, "Er. Lo kenapa?" Dito menepuk pelan lengannya membuat Perly tersadar. "Eh. Eng.. enggak. Gue ke sana dulu ya. Gue pengen jalan-jalan deket pantai," ucapnya cepat dan langsung pergi dari hadapan mereka. "Mau gue temenin Er?" tanya Teta. Perly berbalik dan tersenyum "Nggak usah deh. Gue mau sendiri aja." Lalu kembali berjalan. Perly terus berjalan, dan objek yang dia lihat masih berada di sana, terdiam menatapnya. Ya tatapan gadis itu benar-benar mengarah padanya, dengan ekspresi yang sama saat pertama kali dia melihatnya. Sekitar beberapa meter dari gadis itu, Perly menghentikan langkah ketika dia benar-benar melihat sebuah ekor yang seharusnya menjadi kaki gadis itu. Ini nyata! Perly tak mungkin berhayal kalau keadaannya sudah seperti ini. Gadis itu mengulurkan satu tangannya pada Perly, seolah ingin berdiri dengan bantuan Perly. "Kemarilah ...," ucapnya. Suaranya lembut, sangat lembut. Dan gadis itu memiliki paras yang sangat cantik, apalagi dengan hiasan mutiara di atas rambutnya. Ah ya, Perly sampai melupakan kalau di atas kepala gadis itu juga ada sebuah tiara kecil yang cantik, yang juga berhiaskan mutiara. Tunggu! Apa gadis ini adalah putri kerajaan? Atau, apakah gadis ini seorang aktris yang sedang mendalami peran? "Aku tak akan menyakitimu. Kemarilah ...," ucapnya lagi masih mengulurkan tangannya. Pelan tapi pasti, Perly melangkahkan kakinya mendekat ke arah gadis itu. Perly kembali berhenti saat sudah sampai di depan gadis itu. Perly masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun ini memang seperti sungguhan. Ekornya, dan juga dia memiliki sisik seperti ikan pada umumnya. Perly sadar, dirinya seratus persen sadar dan tidak berhalusinasi. "Genggamlah tangan ku," perintahnya yang lagi-lagi dituruti oleh Perly. Entahlah tubuhnya tiba-tiba bereaksi begitu saja. Tak berselang lama ketika Perly menggenggam tangan gadis itu, tiba-tiba sebuah cahaya putih muncul di balik celah telapak tangan mereka berdua. Cahaya itu semakin terang dan merambat ke tubuh gadis itu. Perly sampai menutup matanya karena merasa silau. Tak sampai satu menit, cahaya itu menghilang, Perly kembali membuka matanya. Dan tak tergambar lagi betapa melotot matanya dan mulutnya yang terbuka, berekspresi penuh ketidakpercayaan pada apa yang di lihatnya. Gadis itu kini sudah berdiri tegak didepannya. Memakai gaun berwarna putih bersih, sama seperti ketika gadis itu berwujud mermaid. Dia juga memiliki rambut yang panjang berwarna silver, dengan hiasan yang sama. Di tambah sebuah tongkat yang tingginya sama dengan dirinya di tangannya yang lain. Kli jni wanita itu terlihat seperti seorang penguasa, ah tidak, lebih tepatnya seorang ratu. "Ba-bagaimana bi-bisa kau ...," ucap Perly terbata-bata menunjuk gadis itu. Sebelum menjawab, gadis itu menjentikkan jarinya dan seketika semua pergerakan yang ada di sekitar mereka terhenti. Perly bisa melihat, air pantai yang tadinya ingin menyapu pasir tempat mereka berpijak, menjadi terhenti beberapa senti di belakang gadis itu. Perly mengalihkan penglihatannya pada teman-temannya. Di sana mereka diam, seperti patung. "Apa ini? Siapa kau sebenarnya?" tanya Perly melepaskan tangannya dari genggaman gadis itu. Si ratu tersenyum anggun, "Aku adalah orang yang akan kau selamatkan," jawabnya singkat tanpa menjelaskan apa-apa lagi. "Apa maksud mu? Aku bukan penyelamat dan aku tidak akan menyelamatkan siapa pun." jawab Perly tegas. Penyelamat katanya? Perly merasa, ini sudah sangat tidak wajar. Sangat-sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat. Perly berbalik hendak meninggalkan gadis itu. Namun langkahnya terhenti ketika sebuah bayangan muncul di depan matanya. "I-itu ...." "Ya. Itu adalah kau yang sedang menolongku." ucap gadis itu. "Tidak. Ini tidak mungkin. Aku pasti sudah gila." Perly menggeleng pelan. "Perly.." Perly kembali terkejut saat wanita itu memanggilnya, memanggilnya dengan namanya. Bagaimana dia tau? "Kamu mungkin berpikir ini sangat tidak mungkin. Tapi inilah kenyataannya. Kamu sudah ditakdirkan untuk ini. Dan hanya kamulah satu-satunya manusia yang bisa menyelamatkan aku dan duniaku," ucapnya lagi. Kepala perly semakin pusing mendengarnya. Apakah ini adalah sebuah karma karena sering membuat Buk Mena naik darah? Jika iya, maka Perly akan bersujud meminta ampun pada Buk Mena sekarang juga. Sungguh, ini sudah gila, dia benar-benar bisa gila oleh wanita ini. "Jika kamu bertanya siapa aku ...." Gadis itu melangkah mendekat ke arah Perly dan tersenyum agak lebar kali ini, "Jawabannya, aku adalah ibumu." Perly membuka matanya. Apa itu tadi? Apa dia sedang menghayal? Dan ke mana wanita tadi? Perly hanya mendapati dirinya sendiri berdiri dibibir pantai dengan tangan kanannya yang terulur ke depan. Dia sama sekali tidak melihat wanita itu di sekitarnya. "Apa ini cuma ilusi gue? Tapi itu tadi rasanya nyata banget," gumamnya masih mengingat kejadian yang baru saja di alaminya. Tiba-tiba air laut menyapu kakinya, namun bukan itu yang menjadi fokusnya. Tapi sebuah kerang berwarna putih bersih, yang cukup besar sudah ada di dekat kakinya. Sepertinya terbawa oleh air laut. Tapi ... itu terdengar janggal. Perly mengambilnya lalu membukanya. Yang terlintas dipikirannya adalah, apakah membuka kerang memang se-mudah ini? Kerang itu terbuka dengan sempurna, berisi mutiara, ada delapan mutiara di sana. Ada satu mutiara yang lebih besar di banding yang lainnya, berada di tengah-tengah dan berwarna emas. Sedangkan tujuh lainnya mengelilingi mutiara yang paling besar. Tujuh mutiara itu masing-masing berwarna merah, biru tua, hijau, coklat, kuning, biru muda, abu-abu dan putih. "Ini beneran mutiara?" tanyanya pada dirinya sendiri. Baru kali ini mendapat kerang berisi mutiara, dan sekalinya dapat, langsung dengan delapan mutiara berbeda warna. Sangat aneh satu kerang memiliki delapan mutiara dengan warna yang berbeda-beda. Rasa penasaran yang besar membuat Perly menyentuh mutiara yang berwarna emas itu. Dan tak lama setelah dia menyentuhnya, muncul cahaya putih yang semakin lama semakin terang membuat Perly menutup matanya karena silau. Ini yang ke dua kalinya. Merasa tidak ada cahaya lagi, Perly kembali membuka matanya. Di depannya berdiri delapan orang aneh yang berpakaian seperti bangsawan dengan warna yang sama seperti mutiara yang ada di dalam kerang itu. Ada empat orang wanita dan empat orang pria. Mereka semua memakai mahkota di kepalanya dan juga sebuah tongkat di tangan kanannya. Dari delapan orang itu, hanya satu yang menarik perhatiannya, yaitu wanita yang berada tepat di depannya. Wanita yang sama yang tadi menyebut dia sebagai anaknya. "Salam kami, Putri" Orang aneh itu menunduk pada Perly, kecuali wanita yang ada di depannya. "Gue beneran gila kayaknya." gumamnya beringsut mundur. Sebelum Perly benar-benar pergi, wanita yang berdiri di depannya itu menjentikkan jarinya. Perly terjatuh, seiring dengan munculnya cahaya di sekujur tubuhnya. "Aaaaa ...!" Teriakan itu keluar ketika melihat dengan jelas kakinya tiba-tiba berubah menjadi ekor. Seratus persen ekor. Rambutnya yang tadinya sepanjang bahu, kini sudah bertambah panjang sampai ke pinggangnya. Dia terlihat seperti mermaid. Sama seperti gadis tadi. "Itu adalah gambaran dirimu yang asli, Putriku," ucap wanita itu tersenyum. "Dan inilah saatnya kamu memenuhi takdir mu," lanjutnya kembali menjentikkan jarinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD