Sebastian Santoso Purnomo adalah seorang pria sempurna yang menjadi incaran para kaum hawa masa kini. Tampan, berbadan kekar serta memiliki harta kekayaannya yang berlimpah dari hasil jerih payahnya sebagai seorang bankir. Begitulah yang bisa dipikirkan oleh orang di sekitarnya tentang sesosok Bastian. Di mata para wanita yang rela mengantre di belakangnya, banyak dari mereka mempertaruhkan segala cara demi mendapatkan hatinya. Tapi, bukan ini yang Bastian inginkan, Bastian ingin para wanita bisa melihat dirinya apa adanya tanpa memperhatikan wajah atau fisiknya. Tapi apa daya, ini adalah hidup yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.
Kehidupan yang kian membosankan harus dilalui oleh pria ini. Hal yang paling dibenci dan dihindari oleh seorang Bastian adalah sebuah perjodohan. Memang sudah sepatutnya Bastian harus menikah. Apalagi di umur yang sudah menginjak usia 30 puluh tahun ini, Bastian harusnya sudah menikah. Namun dia lebih memikirkan pekerjaannya ketimbang memikirkan sebuah pernikahan. Itulah sebabnya mengapa orang tuanya ingin menjodohkan dirinya dengan para wanita cantik di luar sana. Mereka tidak mau, jika anak mereka satu-satunya menjadi seorang perjaka tua.
Jika ada acara makan malam yang akan mempertemukan dirinya dengan wanita yang akan dijodohkan untuknya, Bastian pasti memberikan banyak alasan agar dia bisa menghindar dari pertemuan makan malam itu, ia itu sudah bukan anak kecil lagi yang harus diatur. Hal inikah yang membuat orang tuanya tak habis pikir dengan tingkah laku dan pikiran anaknya yang aneh ini.
Ibunya bahkan sudah menyerah untuk menjodohkan Bastian dengan wanita pilihan yang sesuai dengan kriterianya sebagai seorang menantu. Namun, ibunya tidak pantang menyerah untuk mencari jodoh anaknya. Ibunya terus mencari para wanita di luar tanpa ada persetujuan dengan Bastian. Yang terpenting adalah anaknya sudah bisa melepaskan masa lajangnya dan segera memberikan cucu, bahkan pernah mereka bertengkar hebat karena masalah perjodohan.
"Bastian, ibu melakukan semua ini agar kamu tidak melajang seumur hidup. Ibu tidak mau kalau kamu menjadi seorang perjaka tua. Apakah salah jika ibu menjodohkannya dengan para wanita yang mungkin dengan kriteriamu? Pokoknya kamu harus mau ikut kata ibu. Titik!" itulah kata-kata yang sering di lontarkan ibu Bastian jika anaknya tak datang ke perjodohan yang di atur olehnya.
"Aku kan sudah bilang ke ibu, aku belum waktunya untuk menikah."
"Tapi, kamu enggak sadar. Umur kamu itu sudah 30-an dan umur mama saja sudah malah lebih tua dari kamu. Kamu enggak malu apa sama teman-teman kamu yang sudah menikah."
"Aku muak mendengar ini, ibu. Aku bukan anak kecil lagi jadi jangan mengaturku," ucap Bastian kepada ibunya.
"Terus, kapan kamu bisa melepaskan masa lajangmu?
"Nanti, sampai aku mendapatkan seorang wanita yang pas untukku," ucap Bastian dengan santainya.
"Baiklah, ibu berharap kamu bisa mendapatkan seorang yang pas di hatimu. Tapi, ingat! Jika kamu tak mendapatkannya maka ibu sendiri yang akan bertindak.
Bastian tersenyum sambil menunjukkan deretan gigi putihnya. "Iya, aku akan berusaha mendapatkan calon menantu idaman yang cocok untuk ibu nantinya. Seorang sudah waktunya ibu keluar dulu, ya. Karena anakmu yang tampan ini akan segera berganti baju. Atau, ibu mau melihat perutku yang padat."
Ibunya Bastian pun seketika tertawa dan langsung memukul bahu anaknya dengan lembut dan setelah itu barulah ibunya pergi untuk segera menyiapkan makan malam.
***
Cassandra sekarang berada di sebuah di sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah memohon kepada Laura untuk mencari klien baru, Laura berkata bahwa akan ada seseorang yang akan datang menemuinya untuk meminta bantuan jasa ghost writer-nya. Entah sudah berapa lama dia menunggu kliennya itu datang yang jelas ini sudah melebihi batas janji pertemuannya hari ini. Oleh karena itu, sambil menunggu Cassandra pun mengeluarkan laptop dari dalam tasnya untuk melanjutkan ketikan novel milik Ayu yang sudah harus dia kirimkan sebentar malam.
Kemarin, beberapa jam yang lalu setelah Cassandra pulang dari kantor Perfect Writer tempat Laura bekerja. Laura menghubunginya dengan panggilan video.
"Seorang bankir? Aku pikir seorang penulis yang sedang mengalami block writer."
Cassandra terus menarik ulur beranda profil seorang bankir yang akan menjadi kliennya. Dia pikir jaringan di kafe itu sedang bermasalah. Tapi, ternyata memang foto profilnya tidak di pajang di situs itu.
Laura hanya terkekeh geli. Ia sedang melihat ekspresi wajah teman berkacamatanya yang kebingungan ini yang terlihat mirip seperti kucing garong yang tak sengaja berendam di dalam air.
"Memang apa alasannya mencarikan aku klien seperti ini?"
"Ini terakhir kalinya aku membantumu, ya. Orang ini merupakan seorang bankir yang merupakan keponakan pimpinan kami yang sempat mengirim email kepadanya untuk bisa menuliskan autobiografi untuknya. Tapi karena pimpinan kami sibuk dia pun menolaknya. Untungnya, aku sempat meminta nomor keponakan pimpinan kepadanya dengan alasan mungkin bisa membantunya," jelas Laura kepada Cassandra sambil memelas.
"Terima kasih, Sayangku. Kamu memang sahabat terbaik aku." Cassandra menunjukkan lambang hati kepada Laura di depan layar ponselnya sambil memberikan senyuman yang manis yang bisa dibuatnya.
"Ya, sudah. Semoga ini bisa membantu penghasilanmu, ya."
"Tapi, Aku tak bosan-bosannya untuk terus meminta bergabung menjadi penulis penuh waktu di platform kami."
"Astaga. Sampai dengan saat ini, pun. Aku tak akan menjadi seorang penulis. Lagi pula menjadi seorang penulis hantu itu sudah cukup bagiku. Aku sudah sangat senang jika kamu membantumu dalam mencari klien. Tapi, membuatku untuk segera menulis ceritaku sendiri mendingan jangan harap, ya," ucap Cassandra sambil memperbaiki kacamatanya.
Laura menggeleng-geleng kepalanya, dia tak akan bosan-bosannya menawarkan sebuah kesempatan besar yang menanti di depan matanya. Lumayan dia bisa menghasilkan penghasilannya sendiri dari pada harus bergantung kepada kliennya yang sudah jelas-jelas hanya menguras waktu dan tenaga dari empunya penyedia jasa seperti yang di lakukan oleh Cassandra selaku sebagai seorang penulis hantu.
"Baiklah, semoga kamu berhasil bernegosiasi dengannya. Soalnya ini bukan novel internet tapi buku yang langsung di cetak."
"Mau dalam cetak atau bentuk apa pun itu, akan aku tulis dengan senang hati tanpa mengeluh dan yang terpenting akan bayaran yang cukup untukku," ucap Cassandra dengan penuh semangat.
"Padahal ada cara yang jauh lebih mudah dari ini, ketimbang harus melakukan pekerjaan ini."
"Apa? Bisa kau ulangi apa yang baru saja kau katakan. Sepertinya ada kata terakhir yang belum aku sempat dengarkan dariku," ucap Cassandra penasaran sambil meletakan telinganya di lubang pengeras suara ponselnya.
Laura langsung menepuk jidatnya melihat tingkah temannya ini. Apakah wanita ini berpura-pura polos atau dengan sengaja melakukan hal ini. Jika andai temannya ini setuju saja dengan penawaran ini dia pasti sudah mengecap penghasilan yang lumayan banyak ketimbang harus bekerja menguras tenaga seperti ini.
"Sudah, dulu, ya. Semangat, aku mau melanjutkan pekerjaanku dulu dan semoga kamu bisa bertemu dengan klien tampanmu.
"Siap, bos. Aku akan bersemangat dalam melakukan pekerjaan terbaikku ini dengan hati yang tulus."
"Halo, gadis cantik!"
Seorang pria asing tiba-tiba menepuk bahunya sehingga membuatnya Cassandra tersentak kaget. Cassandra menutup laptopnya kemudian mengangkat kepalanya sembari memperbaiki posisi kacamatanya dan dia pun melihat sesosok seorang pria bertubuh cukup padat sudah duduk di atas mejanya. Pria itu memakai sebuah kemeja bermotif bunga dengan kancing yang sedikit terbuka dan dilengkapi dengan kacamata hitam serta rambut yang terlihat Klinis. Dari pengamatan Cassandra pria ini cukup mengusik sementara di lain pikirannya apakah pria ini adalah klien yang ditunggunya.