Bab 1 – Hari yang Tak Pernah Datang
Langit pagi di Seoul tampak lebih cerah dari biasanya. Mentari bersinar lembut menembus tirai tipis ruang rias hotel bintang lima, menyinari kilau gaun putih gading yang tergantung anggun di balik pintu kaca. Tapi sinar itu tidak mampu mengusir mendung yang menggantung di mata Han Areum.
Ia duduk diam di depan meja rias, memandangi bayangan dirinya di cermin besar. Gaun pertunangan telah membalut tubuhnya, riasan telah dirapikan, rambut panjangnya digelung setengah naik dengan taburan bunga-bunga kecil di sela-sela helaian hitamnya. Semuanya sempurna kecuali kenyataan bahwa calon pengantin prianya belum juga datang.
Sudah satu jam berlalu sejak waktu seharusnya ia dijemput.
Ponselnya tergeletak di meja, sunyi. Tidak ada panggilan. Tidak ada pesan.
"Areum..."
suara pelan Nari, sahabatnya, terdengar dari balik pintu, "aku tahu kamu masih ingin menunggu, tapi… kamu harus siap dengan segala kemungkinan."
Areum menggenggam erat jemari tangannya. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Tubuhnya terasa ringan, seolah tidak menapak lantai. Entah karena gugup, marah, atau karena satu hal yang sudah ia curigai beberapa hari ini.
Ia sedang hamil.
Tiga minggu.
Kabar itu ia dapat hanya dua hari lalu. Awalnya ia ingin memberitahu Kang Jiseok, pria yang ia yakini akan menjadi ayah dari anak itu, setelah acara pertunangan selesai. Tapi hari ini pria itu bahkan tidak muncul.
Dan di saat ketidakpastian menyesakkan dadanya, seseorang yang tak ia harapkan muncul justru berdiri di ambang pintu ruang rias.
Yoon Sena.
Wanita yang memiliki nama keluarga terpandang, penampilan sempurna, dan dalam diam selalu berdiri terlalu dekat dengan Jiseok.
"Kau tidak perlu menunggu lebih lama," kata Sena tanpa basa-basi. "Dia tidak akan datang, Areum."
Areum perlahan berdiri, matanya memicing. "Apa maksudmu?"
Sena melemparkan selembar kertas ke meja rias. Areum mengambilnya dengan tangan gemetar. Undangan makan malam formal dari keluarga Kang… dengan nama Kang Jiseok dan Yoon Sena tercetak di bagian atasnya.
"Orangtuanya memaksa. Perusahaan keluarga Sena akan merger dengan milik mereka. Kau tahu, cinta tidak bisa bersaing dengan saham."
Areum ingin membantah. Tapi satu pesan singkat yang masuk ke ponselnya memotong napasnya.
“Maafkan aku. Ini keputusan terbaik. Jaga dirimu.”
Jantungnya seolah pecah dalam hening. Air matanya tidak keluar. Bahkan tubuhnya terlalu beku untuk menangis.
"Kau kalah bahkan sebelum permainan dimulai," bisik Sena sebelum pergi.
Tiga hari kemudian, Areum berdiri sendirian di Bandara Incheon. Ia mengenakan coat panjang krem, kacamata hitam, dan topi baret yang menutupi sebagian wajahnya. Ia tidak pamit kepada siapa pun. Tidak pada orangtuanya, tidak pada Nari. Hanya meninggalkan surat singkat: “Maaf. Aku harus pergi. Jangan cari aku.”
Ia membawa luka. Dan satu kehidupan kecil di dalam tubuhnya.
Ia tidak tahu persis apa yang akan ia hadapi di tempat tujuannya tapi ia tahu satu hal:
Ia harus menyelamatkan dirinya sebelum semuanya terlambat.
Tujuan: Swiss.
Negara asing yang selalu ia impikan untuk dikunjungi suatu hari. Sekarang, menjadi satu-satunya tempat pelarian.
Dua minggu setelah tinggal di Zurich, Areum bekerja sebagai desainer lepas untuk beberapa ekspatriat Asia. Ia menyewa studio kecil, cukup untuk dirinya sendiri dan janin di dalam perutnya. Ia tidak mengeluh. Ia tidak menangis. Ia hanya terus berjalan. Satu langkah demi satu.
Hingga suatu sore yang dingin, kehidupannya berubah.
Ia menerima tawaran proyek mendesain ulang interior villa milik seorang pebisnis Korea. Klien itu sangat tertutup, hanya berkomunikasi lewat asisten. Proyeknya besar, bayarannya tinggi, dan menurut info singkat pemiliknya adalah CEO Kang Jihun, salah satu pewaris korporasi terbesar di Asia.
Saat hari pertemuan datang, Areum tiba lebih awal di villa. Ia membawa sketsa, tablet, dan ekspresi profesional yang tenang. Tapi saat pintu terbuka dan pria itu masuk, semua yang ia tahu tentang "dingin" tiba-tiba tampak terlalu hangat.
Kang Jihun.
Tinggi. Tegas. Berwajah tirus dengan sorot mata tajam dan jaket panjang hitam yang kontras dengan udara musim gugur.
Ia menatap Areum dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu desainer itu?”
Areum mengangguk. “Han Areum. Senang bertemu dengan Anda.”
Jihun tidak menjabat tangan. Hanya duduk dan memeriksa sketsa.
“Saya tidak suka warna cerah. Jangan buat rumah ini terlihat seperti toko bunga. Dan… jangan masuk terlalu dalam ke ruang pribadi saya.”
Areum menahan senyum. “Tentu. Saya tahu batas.”
Tatapan Jihun berhenti padanya sesaat. Entah karena tertarik… atau curiga.
Pertemuan demi pertemuan berikutnya berjalan cepat dan profesional. Tapi tanpa Areum sadari, tatapan Jihun semakin lama semakin sering mengarah padanya. Ia seperti mencoba menebak sesuatu.
Areum bersikap biasa. Tapi tubuhnya mulai lelah. Kehamilannya kini memasuki usia 3 minggu, dan mual-mual mulai datang di pagi hari.
Hingga suatu malam, di akhir inspeksi desain, Jihun berkata tanpa memperhalus kata-kata:
“Aku butuh istri kontrak. Untuk menghindari perjodohan dengan anak kolega keluargaku.”
Areum menoleh cepat. “Apa maksud Anda?”
“Menikah saja. Tidak ada cinta, tidak ada perasaan. Hanya kontrak. Enam bulan. Aku tidak akan mengganggu hidupmu, kamu juga tidak perlu ikut campur urusanku.”
Areum nyaris tertawa. Tapi pria itu serius.
“Kenapa aku?”
“Karena kamu bukan dari lingkaran mereka. Kamu tidak punya motif. Dan kamu cukup pintar untuk tidak membuat masalah.”
Areum terdiam.
Ia ingin menolak. Tapi saat itu, ia sendirian. Hamil. Tidak ada keluarga. Dan pria di hadapannya menawarkan kehidupan yang setidaknya stabil, meski tanpa cinta.
“Aku punya syarat,” ucap Areum akhirnya.
“Aku punya masa lalu yang tidak ingin kubahas. Jangan tanyakan. Jangan sentuh.”
Jihun menatapnya lama. Lalu mengangguk. “Deal.”
Satu minggu kemudian, mereka menikah secara sederhana di kantor catatan sipil kota Zurich. Hanya beberapa staf, dua saksi, dan satu foto pernikahan yang bahkan tidak menampilkan senyum.
Areum mengenakan dress putih sederhana. Perutnya masih rata. Tidak ada yang tahu, bahkan Jihun… bahwa di dalam tubuhnya, tumbuh janin berusia tiga minggu.
Pernikahan mereka disahkan dalam bahasa Jerman. Tanda tangan selesai. Nama Areum tercatat sebagai istri dari Kang Jihun.
Saat itu pula, kehidupan baru Areum dimulai. Tanpa cinta. Tapi dengan satu rahasia besar yang ia simpan rapat-rapat.
Malam pertama mereka, tidak ada pelukan. Tidak ada satu ranjang.
Areum tinggal di kamar sebelah, dengan kunci sendiri. Ia merasa lega. Dan sedih. Dan bersalah.
Tapi ia tidak bisa mundur. Tidak sekarang. Tidak ketika hidup anaknya kini bergantung pada stabilitas yang diberikan pria itu.
Jihun tidak banyak bicara. Tapi Areum mulai merasakan sesuatu yang berbeda.
Ia bukan pria jahat. Ia hanya pria yang menolak dijebak oleh sistem. Pria yang lebih suka mengatur hidupnya sendiri.
Dan entah mengapa… Areum merasa nyaman bersamanya.
Tiga hari setelah pernikahan, Areum duduk di balkon villa sambil minum s**u hangat. Udara Swiss menggigit kulit, tapi pikirannya lebih dingin.
Ia menatap perutnya.
“Eomma sudah menikah, Nak,” bisiknya sambil menyentuh lembut perut datarnya.
“Bukan dengan ayahmu… tapi dengan pria yang mungkin akan melindungi mu lebih baik.”
Ia menghela napas panjang. Menyandarkan kepala ke sandaran kursi.
Lalu dari dalam rumah, suara langkah berat mendekat. Jihun muncul di ambang pintu balkon, mengenakan jaket gelap dan memandangnya diam-diam.
“Besok aku harus kembali ke Korea untuk urusan bisnis,” katanya singkat.
Areum mengangguk. “Baik.”
“Aku akan tinggal beberapa bulan. Jika kamu merasa tidak nyaman tinggal sendiri di sini, kamu boleh menyusul.”
Areum menoleh perlahan. Mata mereka bertemu.
Untuk pertama kalinya… ada sesuatu yang tidak terucap dalam tatapan Jihun.
“Tapi…” lanjutnya pelan, “Kalau kau datang nanti… datanglah dengan identitasmu sebagai istriku. Aku tidak ingin sembunyi lebih lama.”
Areum membeku.
“Kau yakin?”
“Aku tidak suka dijodoh-jodohkan. Dan... aku lebih suka membuat musuh-musuhku mati kutu.”
Areum terdiam. Lalu mengangguk pelan.
Tapi di dalam hatinya, badai mulai muncul.
Karena di luar semua perhitungan Jihun…
ia tidak datang sendiri.
Ia akan datang bersama bayi yang sudah memanggilnya “Eomma.”
Dan ia belum tahu…
apa yang akan terjadi jika pria itu tahu siapa sebenarnya anak ini.
To be continued…