Dengan tangannya yang bergetar, wanita itu mengelus kepala Lyssa. Tubuh itu semakin bergetar. Dadanya terasa sesak, dan sekujur tubuhnya terasa panas. Wanita itu terbatuk, darah segar termuntahkan keluar dari bibir pucatnya.
“Mama, Mama, Mama!” panggil Lyssa histeris. Tangan kecilnya mengguncang-guncang tubuh mamanya yang semakin bergetar tak karuan.
“Mama!!” Lyssa semakin histeris. “Mama kenapa, Ma??” Tetes demi tetes keluar dari mata bening Lyssa.
Wanita yang setiap pagi membuatkannya sandwich babi panggang itu kini berlumuran darah. Iris hijau cantik milik mamanya berubah menjadi merah, tertutup oleh darah, mengalir deras bagai air mata.
“Mama...”
“Papamu... Tunggu papamu...” Wanita itu susah payah mengucapkan kata-kata terakhir. Dari hidung mancungnya mengalir darah yang merembet ke mulutnya yang terbuka. Dua lubang telingnya pun sama. Lubang kecil itu bak pipa bocor, merembeskan darah bertetes-tetes.
“Mama...”
“Papamu, dia akan datang...” – Adalah kata terakhir yang Lyssa dengar dari mamanya.
“Mama, Mama...!” Gadis kecil itu histeris. Jasad mamanya yang merah berlumuran darah ia guncang-guncang. Tubuh lemas itu oleng ke samping. Menyender pada sandaran kursi kayu sebelahnya.
Lyssa kecil menangis memanggil-manggil mamanya.
Pagi berganti siang, siang berganti malam. Gadis kecil itu tertidur kelelahan di lantai. Sesekali ia akan terbangun dalam kegelapan. Ketakutan, Lyssa menggenggam tangan mamanya yang dingin.
Pagi menjelang, gadis itu bergegas bangun. Seperti biasa dia mencuci muka dan menggosok gigi. Gadis kecil itu kemudian memakai baju seragam TK-nya. Dia menunggu mamanya datang ke kamar, menunggu mamanya datang menyisir dan merapikan baju seragamnya. Tapi mamanya tak kunjung datang.
Lelah menunggu, gadis itu kembali ke meja makan sambil membawa sisir. Ia menarik-narik jari mamanya yang dingin. Tangan itu kaku dan pucat, tapi Lyssa tetap merengek.
“Mama, hari ini Ica mau dikepang samping. Mama...” Panggil Lyssa berulang kali. Tapi mamanya tidak menjawab. Wajah mamanya yang penuh darah sedikit tertutup oleh rambut merah bata, darah-darah itu mulai lengket, menempel dan menggumpal di beberapa bagian.
Melihat mamanya yang tak kunjung merespon, gadis kecil itu pun duduk di kursinya sendiri. Dari kejauhan tampak tubuh mamanya yang pucat dengan warna hijau kehitaman di beberapa bagian, – efek pembuluh darah yang rusak dan tak lagi berfungsi.
Gadis itu menunggu dalam diam. Biasanya jam segini mamanya akan bergegas membuat sarapan untuknya.
Hmm... Lyssa ingin segera sarapan, lalu berangkat ke sekolah.
Tapi mamanya...
“Mama bilang, Ica harus menunggu Papa.”
Seperti ketika hari-hari di mana mamanya menyuruhnya duduk anteng menunggu papanya, Lyssa mengambil boneka Barbie kesukaannya, gadis itu bermain seorang diri di sofa ruang tamu. Bibir kecilnya berulang kali berucap kecil, “Papa akan datang, Papa akan datang...”
Sore pun datang, dan papa Lyssa masih belum datang juga. Gadis kecil kelaparan itu datang menemui mamanya, tangan kecilnya mengguncang-guncang tubuh kaku mamanya, “Mama, Ica lapar. Pelut Ica cakit...”
Tapi mamanya masih tak bergerak. Dingin tak bernyawa.
Gadis kecil itu menangis lapar. Saat ia bangun, rumahnya sudah kembali gelap. Ia yang lagi-lagi tertidur akibat kelelahan menangis di kaki kursi ibunya. Mamanya kini berbau busuk menyengat. Dan tubuh mamanya kian membesar dengar warna hitam lebam di beberapa bagian.
Gadis itu takut-takut melihat tubuh mamanya yang semakin tidak mirip seperti mamanya.
“Mama.. Mama..” tangisnya.
Hari berganti hari. Lyssa kecil tak lagi bisa menangis. Air matanya kering. Tubuhnya kurus tak terurus. Kepalanya berkunang-kunang. Sebentar sadar dan sebentar tidak. Minuman kesukaannya yang disiapkan mama di kulkas sudah habis. Ia tidak lagi ingin makan dan minum. Berhari-hari ia tidak makan, hanya mengandalkan minuman kesukaanya, madu dan lemon manis racikan mamanya.
Gadis itu tergeletak lemah tak jauh dari mayat mamanya yang kini membusuk basah. Cairan merah kehitaman mengalir dari tubuh yang dipenuhi ulat dan belatung. Tetes cairan dan belatung yang meloncat dari tubuh mamanya ke lantai membuat Lyssa berulang kali menjerit ketakutan.
Lyssa ingin mendekat, tapi perutnya mual. Ia berulang kali memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan.
Terlalu lama berada di samping jenazah dengan gas beracunnya, Lyssa kehilangan kesadaran. Gadis itu berada di ujung tanduk kehidupannya ketika pamannya datang, lelaki muda itu panik memanggil-manggil nama Lyssa.
Di tengah guncangan pamannya, Lyssa terbangun. Mata hijaunya sayu tanpa kehidupan. Bibirnya pucat dan pecah-pecah. Tubuh kecilnya panas dengan telapak kaki yang dingin. “Zio, Mama bilang, Papa akan datang..” bisik Lyssa lemah.
Charlos, adik kandung Charlotte, saat itu masih remaja. Lelaki itu baru saja masuk SMA. Kakaknya sengaja memasukkannya ke asrama supaya ia bisa fokus sekolah tanpa harus peduli tentang uang.
Charlotte yang saat itu berusia di awal tiga puluhan adalah gadis cantik imigran dari Italia sejak lima belas tahun silam. Dia ikut ke Indonesia bersama keluarga jauhnya untuk bekerja. Setelah bekerja keras, Charlotte akhirnya mampu membuat usaha sendiri, toko roti kebanggaanya. Tapi sayang, kehadiran ayah Lyssa adalah awal dari malapetaka bagi kehidupannya.
Charlos, lelaki berambut keriting merah itu bergegas ke dapur. Digendongnya Lyssa erat ke dalam pelukan. Ia sedikit demi sedikit meneteskan air ke dalam mulut Lyssa, menyalamatkan hidup Lyssa yang di ujung tanduk.
Lengannya sesekali menghapus air mata yang mengalir tanpa suara di pipi.
Charlos tidak punya ponsel, masih dengan memeluk Lyssa, ia berlari keluar, mencoba untuk tidak melihat ke arah kakak perempuannya yang kini penuh oleh belatung dan lalat-lalat beterbangan.
Sambil memeluk Lyssa erat-erat, Charlos berlari menuju klinik terdekat. Remaja itu tidak sanggup berbicara. Air matanya deras menjelaskan.
“Kakakku.. Kakakku..” Suaranya bergetar memberitahu suster penjaga klinik.
Wanita yang berada di balik meja itu terperangah melihat seorang pemuda dengan gadis kecil tak sadarkan diri di pelukannya.
“Adek.. Tenang dulu ya.. Ada apa dengan Kakak? Oh ya, adek kecilnya sini Kakak periksa dulu,” bujuk nona perawat.
Charlos menggeleng.. “Kakakku.. Kakakku di rumah..” tangisnya.
“Kakak di rumah??” Perawat wanita itu mulai tanggap keadaan. Ia mengkode salah seorang perawat laki-laki untuk mendekat. Dan benar saja, dengan adanya perawat laki-laki tersebut, Charlos mulai sadar akan posisinya saat ini, dia adalah satu-satunya keluarga untuk keponakan kecilnya.
Charlos menghirup napas dalam, kata-katanya lebih tenang ketika berucap, “Tolong. Kakakku di rumah menunggu,” pintanya.
“Baik. Tenang dulu ya dek.. Boleh saya lihat adik kecilnya?”
Charlos menggeleng.
Perawat itu terus membujuk. Setelah beberapa saat, Charlos akhirnya menyerahkan Lyssa pada perawat tersebut.
Tim medis bergerak cepat. Lyssa segera mendapatkan pertolongan pertama. Gadis kecil itu berangsur-angsur dapat bernapas lebih teratur dan tidur pulas, tidak lagi seperti seseorang yang mendekati ajalnya.
Tim medis yang lain bersiap untuk berangkat menuju rumah Lyssa. Tapi Charlos yang tidak rela meninggalkan Lyssa sendirian akhirnya kabur membawa Lyssa. Pemuda itu mencabut selang infus Lyssa dan berlari menuju rumah kakaknya.
Mau tidak mau, tim medis pun mengejarnya.
Tim medis yang rata-rata anak magang itu terkaget mendapati seonggok mayat di meja makan. Mayat itu busuk tercium hingga ke pintu luar.
Tak jauh dari mayat berambut panjang itu, Charlos berdiri ketakutan. Tangannya memeluk erat Lyssa yang tertidur pulas di dadanya.
“Sorella mia! Sorella mia! Lei e mia sorella!” isak Charlos memanggil-manggil kakaknya.
Dua dokter magang yang berdiri kaget di ambang pintu mulai bereaksi. Salah seorang dari mereka memanggil polisi dan ambulans. Segera saja, rumah atap Lyssa ramai oleh kerumunan.