'Flashback Tiga Belas Tahun Silam'
“Papamu bilang, dia akan tetap mengunjungimu setiap hari Minggu. Papamu bilang, dia akan tetap peduli sama kita meski dia rujuk kembali dengan istrinya.” Wanita bertubuh molek itu berdiri di belakang konter masak. Satu tangannya dilipat di bawah dadanya, sementara tangannya yang lain membawa spatula. Meski begitu, dia tampak seperti kehilangan fokus. Spatula kayu di tangannya bergetar-getar. Begitu juga matanya yang berpindah cepat dari ujung sana ke ujung sini.
Suara air mendidih menyadarkan wanita itu. Wanita berkulit putih dengan dress cantik berwarna putih gading tersebut kembali fokus memasak. Tangannya lihai memasukkan segenggam spaghetti porsi bertiga ke dalam panci tinggi. Sambil menunggu pasta itu masak, wanita berambut gelombang besar berwarna merah terang itu lagi-lagi melamun.
“Papamu bilang, papamu bilang dia ingin anak perempuan. Kamu perempuan ‘kan Sayang? Alyssa?” Wanita itu menoleh ke belakang, mengecek putrinya.
“Iya, Mama. Ayca perempuan.” Gadis itu menjawab dengan senyuman. Mata gadis cilik itu dewasa. Tampak tenang dan menenangkan.
Gadis kecil itu duduk tenang dengan punggung yang tegak di meja makan. Senyum manis menghiasi wajah cantiknya. Rambut hitam sebahunya rapi berkilauan. Di atas potongan poninya, bandana berenda melengkapi tampilannya yang bak boneka maid cantik.
“Bagus. Papamu pasti suka sama kamu, tapi kenapa, kenapa papamu tidak menepati janjinya?? Dia bilang dia akan menemuimu setiap hari Minggu.” Wanita itu terisak. Wajah yang tadinya cantik berpoles make up kini berubah menjadi seram seperti boneka hantu cantic, terkotori oleh lunturan maskara dan eye liner.
“Mama jangan sedih..” Gadis kecil di meja makan kembali bersuara.
Wanita di belakang konter tidak mendengar. Wanita itu sudah tidak lagi bisa mendengar yang tidak ingin ia dengar.
Seolah tak terjadi apa-apa, wanita itu melanjutkan lagi agenda masaknya. Ia kini sibuk memisahkan air dari pasta. Ia kemudian lanjut menggoreng bawang bombai dan daging cincang. Tangannya lihai mencampur saus putih pasta ke dalam panci penggorengan.
Bau harum bawang dan daging sapi semerbak di ruangan. Gadis kecil di meja makan masih memasang senyum manis. Tangannya rapi terlipat di pangkuan.
Melihat mamanya yang selesai mendekor pasta di atas piring, gadis kecil di meja makan berdiri. Dengan tangan mungilnya, ia membantu membawakan piring dari meja dapur ke meja makan. Piring berisi pasta panas itu dengan hati-hati ia bawa ke meja makan.
Tak menghiraukan tangan kecilnya yang meloncot kepanasan, Lyssa kecil masih berusaha menyeimbangkan piring berat itu agar tidak tumpah atau bergeser isinya. Satu piring besar ia letakkan di depan kursi utama yang menghadap ke pintu.
Tubuh kecilnya kembali ke dapur. Ia kini membawa piring yang lebih kecil ke meja depan kursinya. Gadis kecil itu balik lagi ke dapur. Kali ini ia membawa sendok dan garpu. Ia menatanya rapi untuknya dan untuk Papa.
Setelah itu, si gadis kecil berambut hitam sebahu kembali duduk tenang di kursi. Antara miris dan lucu menggemaskan melihat gadis kecil itu mencoba duduk di kursi kayu yang terlalu tinggi untuknya itu.
Di dapur, wanita molek itu ganti membuat salad. Jarinya yang putih beberapa kali teriris oleh pisau dapur kala sedang memotong dedaunan dan sayur untuk salad. Semua itu karena matanya yang lagi-lagi tergenangi oleh air mata.
Gadis kecil di meja makan kembali ke dapur, membawakan piring salad mamanya ke meja makan.
Mamanya masih menangis tanpa suara saat ia mengeluarkan botol wine mahal ke meja makan. Pertama-tama, dia menuangkan segelas wine di depan kursi utama, setelah itu ia menuangkan untuk dirinya yang duduk di seberang Lyssa.
Mama muda itu kembali ke dapur. Mengambilkan jus anggur untuk Lyssa. Setelah itu ia pergi ke kamar. Saat keluar, ia membawa botol kecil berisi cairan berwarna hitam pekat.
“Jika nanti papamu tidak datang, kita minum ini ya, Sayang? Tapi kita harus menunggu papamu untuk pulang dulu.”
“Baik, Ma,” jawab Lyssa patuh.
Wanita itu menuangkan cairan hitam ke gelas kecil di samping jus anggur Lyssa sambil tersenyum miris. Air matanya terus-terusan mengalir dari mata cantiknya. Wanita muda itu menuangkan sisa cairan hitam ke gelas kecil miliknya. Tatapannya kosong ketika ia pergi ke depan televisi yang terpasang di kabinet dapur. Sengaja dipasang di sana biar Lyssa tidak suka menonton TV.
Wanita itu menekan tombol-tombol, memutar ulang rekaman video yang sempat ia rekam. Video itu pendek, hanya berdurasi beberapa detik saja.
Tampak di layar sepasang suami istri dengan anak lelaki seusia Lyssa di tengah mereka. Keluarga kecil itu tampak bahagia melambai pada kamera. Video itu diperlambat kecepatan putarnya. Berulang kali menampilkan tiga orang yang tersenyum pada kamera.
[PRESIDEN MENGUNDANG PENGUSAHA BERPRESTASI KE ISTANA] tertulis rapi di bagian bawah televisi.
“Papamu, papamu dengan wanita lain,” tangis wanita di seberang meja. Mata Lyssa yang lebar menatap tenang ke mamanya. Mamanya sudah berhari-hari bersikap seperti ini.
Kehidupan Lyssa awalnya normal-normal saja. Anak usia lima tahun itu berangkat ke taman kanak-kanak diantar mamanya setiap hari. Terkecuali hari Sabtu dan Minggu, mamanya akan mendandaninya cantik untuk bertemu papanya.
Tapi, semuanya berubah ketika papanya tak lagi datang berkunjung. Mamanya tiba-tiba berubah aneh. Mamanya tidak lagi suka bersih-bersih rumah. Tumpukan baju kotor dan sampah menggunung di rumah. Setiap hari yang mamanya lakukan adalah memasak sambil menangis. Kaleng-kaleng bir dan botol minuman keras berserakan di sana sini.
Lyssa yang sebelumnya diantar mamanya ke sekolah kini berangkat seorang diri. Bajunya dekil ia kucek dengan tangan mungilnya. Baju-baju mamanya pun ia bantu cucikan sebisanya.
Mamanya semakin aneh ketika dia mulai memutar-mutar video berulang-ulang. Padahal Lyssa ingin menonton kartun kesukaannya. Tapi mamanya--
“Mama tidak tahan lagi! Jika papamu tidak datang hingga sore, mama beneran akan minum ini!” teriak mama Lyssa. Tangannya memegang erat gelas kecil berisi cairan warna hitam.
Mata wanita cantik itu kehilangan fokus. Antara putrinya dan cairan hitam di tangannya. Kalut, wanita setengah gila itu akhirnya meminum cairan berwarna hitam pekat di tangannya.
Lyssa masih duduk tenang di kursinya. Tangannya pun masih terlipat rapi di pahanya. Dia tidak terlalu paham kenapa mamanya selalu menangis. Lyssa tidak menyukai papa yang membuat mamanya menangis.
“Mama, kenapa Mama berdarah?” tanya Lyssa polos.
Gadis itu turun dari kursi, datang mendekat menuju mamanya. Dari hidung mamanya, mengalir darah segar yang tak berujung.
“Mama, kenapa Mama berdarah?” tanya Lyssa lagi. Gadis kecil itu berdiri di samping mamanya. Tangan kecilnya memegang tangan mamanya yang panas. Sangat panas.
“Apa Mama sakit? Ica halus mencali Zio,” kata Lyssa kecil.
Tangan Mama yang panas mencegah putrinya, kini darah mulai keluar dari mata dan telinga.
“Maafkan Mama.” Tangan Mama yang panas membelai wajah mungil Lyssa.
“Mama, kenapa Mama berdarah?” Lyssa semakin mendekat ke mamanya. Gadis itu mendekat, memeluk paha mamanya.