17. Trauma

1074 Words
Keesokan harinya, Lyssa dipanggil ke kantor BK. Gadis itu berjalan gontai menuju lantai dua gedung depan. Demi apa pun, konselor dan sejawatnya adalah makhluk yang paling ingin dihindari oleh Lyssa. Dia sudah muak berada di ruang konseling. Pendampingan psikologis? Lyssa tidak butuh. Gadis itu memasang senyum terbaik, menjawab bahwa dia tidak apa-apa dan tidak masalah teman-teman sekolahnya tahu tentang masa lalunya. “Aku baik-baik saja,” kata Lyssa. Tak membiarkannya begitu saja, konselor sekolah meminta Lyssa membuat esai panjang tentang apa yang dirasakannya saat ini. Menulis dan mengarang bebas, tentu saja Lyssa sangat ahli. Dia hanya perlu membuat narasi tentang ‘kenormalan’ diri. Saat Lyssa keluar dari ruang BK, Evan sudah menunggunya. “Maaf. Ini semua karena aku,” kata Evan. “Hm? Tidak masalah kok. Sudah makan siang?” tanya Lyssa dengan senyuman. Evan menggeleng. “Makanlah, OSIS kan sekarang sedang sibuk persiapan turnamen.” Evan mendekat. Pemuda itu meraih Lyssa ke dalam pelukannya. Tangannya lembut mengelus kepala kekasihnya. “Maaf,” bisik Evan. Bibirnya turun mengecup kepala Lyssa berulang kali. “Nanti pulang sekolah tunggu aku ya?” pinta Evan setelah melepas pelukannya. Lyssa menggeleng. Tersenyum menenangkan. “Tidak perlu. Kamu pasti sibuk persiapan turnamen ‘kan? Bukannya kamu ingin Thrivent dapat juara umum?” “Aku bisa nganter kamu bentar.” Lyssa menggeleng lagi. “Aku jalan kaki saja.” “Aku akan menemanimu jalan kaki. Aku mohon,” pinta Evan memelas. Lyssa memandang Evan lama sebelum memutuskan. “Baiklah. Nanti aku tunggu depan gerbang.” “Terima kasih.” “Sana ke kantin. Kamu belum makan ‘kan?” “Makan bareng Bee ya?” “Aku tidak nafsu makan ....” “Jangan gitu dong.” “Please, kali ini saja. Aku bener-bener lagi gak pengen makan.” Melihat wajah kekasihnya yang memelas, Evan menyerah. Pasangan itu pun berpisah di belokan. Lyssa tidak langsung ke kelas. Kakinya insting membawanya ke atap gedung IPS. Meski saat ini ia tidak memiliki sebatang pun rokok, ia sudah sangat terbiasa jika ada masalah akan pergi ke atap gedung kiri. Gadis itu mantap menapaki tangga demi tangga. Ada sesuatu yang kosong dalam hatinya. Lyssa tidak tahu harus mengisinya dengan apa. ‘Kriet..’ Pintu besi itu terbuka. Gadis itu melihat ke atas, langit-langit yang berawan mendung. Angin sejuk semilir berembus. “Sudah kuduga kamu pasti bakalan ke sini.” Lyssa menoleh. Ia menemukan Veve dan Septi berdiri bersebelahan. Tak jauh dari mereka, Karin bersandar di tembokan pagar. “Dasar pecandu! Andai seluruh sekolah tahu kamu yang hobi ngerokok, menurutmu kamu masih bisa dapetin beasiswa?” Mata Veve merah menahan marah. “Jika bukan karena kamu, Septi pasti yang dapat juara satu! Dasar, ibu-anak sama saja, pelakor!” “Apa aku merebut kekasihmu?” tanya Lyssa. Gadis itu berjalan mendekat ke arah mantan sahabatnya. “Sudah jelas jelas kamu ngerebut Evan dari Karin! Tidak mau ngaku juga.” “Aku jadian sama Evan lama setelah Evan putus sama Karin.” Kini Lyssa ganti melihat ke arah Karin. Tapi Karin tidak peduli. Gadis itu acuh melihati kuku-kuku manikurnya. Ia menyerahkan semua urusan pertengkaran pada Veve dan Septi. “Alesan aja! Gara-gara kamu nih, ayahku dipindah tugas keluar pulau! Ayah Septi harus turun jabatan jadi Office Manager! Apa kamu tahu harga saham keluarga Karin yang turun drastis gara-gara perusahaan Evan berhenti jadi investor?!!” “Apa itu semua salahku? Kenapa tidak kamu katakan langsung pada Evan? Kenapa kamu malah berteriak di depanku? Tidak berartikah pertemanan kita selama ini?!” Lyssa membalas sengit. Septi ikutan menjawab, ia berteriak marah pada Lyssa, “Tentu saja ini semua salahmu! Kamu pasti yang minta Evan buat ngehancurin keluarga kita. Harusnya cukup keluargamu saja yang hancur, tidak usah ajak-ajak keluarga kami!” Kata-kata dari Septi menyiram segala hal yang tersisa di hati Lyssa. Semuanya terasa dingin dan sepi. “Kenapa? Tidak usah kaget begitu. Aku sudah lama tidak menyukaimu. Kamu selalu saja rangking satu. Apalagi sekarang ayahku turun jabatan gara-gara kamu. Butuh bertahun-tahun untuk ayahku bisa naik ke posisi itu, dan kamu ngehancurin semuanya.” Mata Septi dingin menusuk kalbu. Tidak ingin berlama-lama dengan mantan teman-temannya, Lyssa berbalik. Hatinya sakit sekali. Tentu saja dia tidak ingin keluarga Septi dan Veve mengalami hal malang seperti itu. Tapi dia sungguh-sungguh tidak tahu. Evan tidak memberitahunya apa pun. Gadis itu beranjak pergi. Di belakangnya, serasa ada momok besar yang siap menerkamnya kapan saja. Septi bersumpah, “Tunggu saja, aku pasti akan membuat perhitungan denganmu.” Lutut Lyssa terasa lemas. Tapi gadis itu masih lanjut berjalan. Sesampainya di lantai satu, kakinya benar-benar lemas. Gadis itu mendudukkan diri di kursi taman. Napasnya memburu meski ia tidak berlari. Jujur, saat ini ia merasa sangat ketakutan. Memori-memori saat ia berusia lima tahun dulu seperti video rusak yang berputar di depan matanya. Memori-memori itu terus bermunculan. Napas Lyssa sesak, gadis itu mendadak lupa caranya bernapas. Keringat dingin membasahi dahi, jari-jarinya terkepal erat menahan kesadaran. ‘Hah.. Hah..’ Kesadaran Lyssa memudar seiring matanya yang berkabut, ‘Hah ha..’ ‘Ctik.’ Suara petikan jari menyadarkan Lyssa kembali ke dunia nyata. Gadis itu linglung menatap lelaki yang berdiri di depannya. Di belakang cowok itu, rombongan siswa-siswi bertampilan sangar ikut menatap apatis pada Lyssa. “Gerimis. Bel masuk sudah bunyi,” ujar si cowok jangkung. “Oh?” Lyssa memandang bingung pada cowok di depannya. Mata cowok itu hitam pekat, menarik Lyssa ke dunia nyata. Potongan demi potongan menyadarkan Lyssa. “O-oh ya, terima kasih,” ucap Lyssa setelah berhasil menangkap maksud perkataan pemuda di depannya. Ia buru-buru berdiri. Gadis itu membungkuk sembari merapalkan ucapan terima kasih sebelum berlari-lari kecil menuju kelasnya. Pikiran Lyssa berkabut. Ia tidak menyangka hanya gara-gara perkataan Septi, trauma masa lalunya kembali muncul seperti saat ini. *** Malam itu, Lyssa insomnia. Gadis itu duduk menekuk lutut di atas kasur. Kepalanya pusing. Di kepalanya terus berputar-putar rekaman masa lalu. Suara mamanya, suara papanya. “Argggh!!!” Lyssa melempar bantal ke tembok. Gadis itu marah sekali. Tangannya menjambak-jambak rambut. “Kenapa? Kenapa aku tidak bisa melupakan masa-masa itu? Kenapa?!” teriak Lyssa frustrasi. Air mata deras mengalir, panas membasahi pipi. Pesan dari Evan tak ia balas. Pikirannya kalut. Ia seperti kembali ke masa tiga belas tahun silam, saat ia duduk di meja makan dengan mamanya, menyaksikan mayat mamanya yang memucat, membusuk, dan berlendir. Mayat itu kian berbau busuk, anyir terasa hingga ke kerongkongannya. Lyssa melesat ke kamar mandi, memuntahkan segala yang ada di perutnya. Menekan tombol siram, gadis itu lemas terduduk di samping toilet. Rambut di dahinya lepek oleh keringat dingin yan bercucuran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD