11. Jujur

1280 Words
Thrivent High School memiliki desain bak istana modern. Lyssa mengajak Septi menuju teras kelas. Teras itu cantik dengan ukiran bunga-bunga di bagian tembok dan pagar. Dari sini, halaman sekolah yang dihias rapi dengan pohon cemara dan pinus menjadi view pencuci mata untuk pelepas penat. Beberapa kendaraan tampak sedang lalu lalang melewati gerbang tinggi mereka. Asal memiliki kartu pass sekolah, siapa pun bisa bebas keluar masuk Thrivent dengan bebas. Meski begitu, tim sekuriti dengan teknologi canggih selalu siaga memantau wajah-wajah yang keluar masuk wilayah mereka. Maklum saja, tempat ini adalah markasnya para generasi penerus konglomerat dan orang-orang penting pemerintahan. Lyssa menunggu beberapa saat sampai Septi membuka suara. “Kenapa kamu gak bilang?” “Bilang tentang apa?” balas Lyssa. “Tentangmu dan Evan.” Mata Septi sedih menatap sahabat di depannya. “Veve marah soal itu? Aku sama Evan baru saja jadian. Aku bingung, gak tahu harus mengatakan pada kalian bagaimana. Aku berencana cerita nanti, pas kita lagi hepi-hepi libur semesteran.” “Veve marah. Semalam dia nelfon aku. Dia pikir dia sendiri yang gak tahu.” Septi berucap pelan. “Tapi, bukannya Veve yang ngasih nomor Evan ke aku? Aku pikir dia gak masalah aku pacaran sama Evan.” Keramaian gedung seolah menjadi background tanpa suara. Meski di belakangnya siswa-siswi berlalu lalang ramai, tetap saja itu semua menjadi sunyi di telinga Lyssa. Septi, “Yang kami maksud bukan itu, Lyss. Kamu bisa kenal Evan karena kami. Tapi kenapa kamu gak bilang? Harusnya kamu ada konsultasi atau apa kek gitu ke kita..” “Apa aku harus memberitahu kalian sedetail itu?” “Harusnya sih iya kalau kamu emang anggap kita teman.” Lyssa speechless. Tidak tahu harus menjawab bagaimana. Sepasang sahabat itu saling diam memandang ke kejauhan. “Dari mana Veve tahu?” Septi menoleh. Rambut pendeknya berkibar oleh tiupan angin. “Foto yang diunggah Evan. Semua juga tahu itu depan rumah kamu.” “Oh iya. Karena kamu yang salah, mungkin kali ini aku nemenin Veve dulu sampai dia tenang. Semoga kalian bisa segera baikan.” Setelah mengatakan itu, Septi pergi. Berlalu menuju kelas Veve. Lyssa berdiri termangu. Frustrasi pada kondisi yang ada. Di antara mereka bertiga memang beberapa kali ada kesalahpahaman kecil, tapi ia sungguh tidak menduga, hal seperti ini bisa menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Gadis itu lesu kembali ke dalam kelas. Mendadak ia ingin bertemu Evan. Bercerita dengannya.. Sebagai sepasang teman yang saling menyemangati. Tak berselang lama, gadis itu tertidur pulas di mejanya. Lelah berpikir. Pertama kali dalam sejarah hidupnya, Lyssa tidur di ruang kelas. ** “Lyssa, Lyssa, bangun..” Sellin mengguncang-guncang bahu Lyssa pelan. “Hm?” gumam Lyssa setengah sadar. “Nggak mau lihat pengunguman? Kamu dapat rangking satu lagi tuh. Dapat predikat siswa teladan juga semester ini.” Sellin tersenyum lebar. “Selamat ya..” Ruang kelasnya yang tadinya sepi kini kembali ramai. Anak-anak sibuk memperbincangkan nilai dan rangking mereka. “Selamat Lyss. Berturut-turut lho kamu dapat nilai tertinggi. Selamat ya..” teriak Sian dari kursi depan. Lyssa mengangkat kepalanya dari meja, tersenyum manis membalas ucapan selamat dari Sian sang ketua kelas. “Pokoknya selama ada Lyssa, kita gak usah belajar terlalu keras lah. Nggak mungkin juga ngalahin Lyssa. Selain pelajaran olahraga, nilai Lyssa semanya sempurna,” teman sekelas lain menyahut. Lyssa tersipu malu. “Hehehe, maaf.. Aku hanya ingin mengejar beasiswa saja..” Teman-temannya mengangguk maklum. Sekolah di sini memang mahal, tapi bisa dijamin, setelah lulus pasti bakalan diterima di hampir semua perguruan tinggi beken di seluruh dunia. Alumni-alumni dari sekolah ini pun sudah melalang buana merajai dunia bisnis dan kepemimpinan. “Teng Teng..” Bel makan berbunyi. “Ayo makan dulu,” ajak Sellin. “Boleh,” angguk Lyssa. Rasanya sedikit aneh, makan siang di kantin tanpa Veve dan Septi. Biasanya mereka selalu bertiga. Tapi kini ia harus nebeng berbaur dengan teman-temannya Sellin. Tapi memang sih, tidak mungkin juga selamanya kita berkumpul dengan orang-orang yang sama. Berbeda dengan Septi dan Veve yang suka mencari tempat duduk di bagian belakang, rombongan Sellin lebih senang duduk di bagian tengah. Lebih ramai dan digemari siswa-siswa beken. Lyssa hanya manut saja. Ia meletakkan botol minumnya sebelum pergi memesan makanan. Di meja Sellin, tidak banyak yang memedulikan Lyssa. Lyssa memang pada dasarnya pendiam, ditambah bukan anggota geng, sama sekali tidak ada yang mengajak Lyssa bicara. Semuanya sibuk dengan teman di sebelahnya. Dalam diam, Lyssa menikmati makan siangnya. Dari kejauhan, Lyssa melihat Evan dan rombongan pengurus OSIS masuk ke kantin. Bibirnya insting menyunggingkan senyum manis untuk kekasih barunya. Di seberang, Evan balas tersenyum padanya. Cukup untuk mengembalikan mood Lyssa yang sedang tak karuan. “Kamu kenal sama Evan?” tanya Sellin tiba-tiba. Teman-teman segengnya ikut menoleh ke arah Lyssa. “Hehe, kami pernah bertemu dan chat beberapa kali,” aku Lyssa jujur. Hati kecilnya ingin semua orang tahu tentang hubungannya dengan Evan, supaya ia tak perlu lagi menjelaskan. “Iya sih, aku pernah denger dari Sellin, katanya Evan mencarimu sepulang sekolah,” sambung teman Sellin di kursi paling ujung. Mendengar nama Evan disebut, satu meja kini menoleh pada Lyssa. Menyimak penasaran. “Apa kalian pacaran?” tanya Sellin menelisik. Teman-teman Sellin menganga tak percaya. Tidak mungkin Evan pacaran sama gadis pendiam seperti Lyssa. Lyssa merasakan pandangan penasaran ciwi-ciwi di mejanya. Berpasang-pasang mata tertuju padanya. Membulatkan tekad, ia menjawab, “Ya. Kami pacaran.” Untuk beberapa detik, mata-mata di depan Lyssa membulat kaget, mulut menganga lebar ... “Woah!” “Seriusan?” “Sejak kapan?” “Kok kita gak tahu??” Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Lyssa menghitung. Delapan pasang mata di mejanya menatap tak percaya ke arahnya. “Belum lama kok,” jawab Lyssa jujur. Dia inginnya, orang yang pertama ia beri tahu adalah Veve dan Septi. Mata hijaunya berkelebat, meng-scan wajah-wajah di kantin yang ramai. Matanya terseret oleh pandangan kebencian dari bagian pojok kanan. Tampak Veve yang menatap penuh amarah ke arahnya. Di sampingnya, Septi berwajah netral. Tidak membela Veve maupun Lyssa. “Cerita dong ke kita.. Apa Evan sudah mendekatimu sejak ia masih pacaran sama Karin?” Anak cewek yang duduk di depan Lyssa antusias mengajaknya berbicara. Meski sebelumnya ia sibuk dengan teman di sampingnya dan mengabaikan Lyssa habis-habisan, gadis itu kini terlihat sangat tertarik pada Lyssa. Sellin bergumam, “Karin hmm.. Aku dengar dia sedikit nakal. Sering ada gosip dia jadi pelakor dulu pas kelas satu.” “Sungguh? Tidak mungkin ‘kan Evan pacaran sama cewek begituan..” bela gadis berkuncir tinggi. Lyssa mengangkat sendok, kembali menekuni makan siangnya. Menu hari ini nasi putih dan tumisan udang. Sayur sop dan bola-bola baso mengisi mangkuk sup makan siangnya. Rasa lapar yang mendadak muncul menambah nafsu makan Lyssa. Gadis itu lahap menyantap makan siangnya. “Kamu gak masalah, Lyss? Mantan Evan banyak lho.” Pertanyaan Sellin membuat Lyssa kesulitan, ia bersusah payah menelan makan siangnya. Menyeka sudut bibirnya dengan tisu, Lyssa menjawab Sellin, “Tidak masalah kok. Toh semua sudah masa lalu.” Anak-anak cewek di mejanya memuji-muji Lyssa. Lyssa yang tadinya terabaikan kini menjadi pusat perhatian. “Kalau kamu bisa pertahanin hubungan kamu sama Evan, masa depan kamu bakalan terjamin lho, Lyss. Kamu tahu sendiri ‘kan, keluarga Evan itu turun temurun konglomerat penguasa dunia properti..” Lyssa lagi-lagi mengalami kesulitan menelan makanannya. “Tidak, aku tidak tahu,” jawabnya polos. Anak-anak perempuan itu bergeleng kepala. “Iya sih, kamu ‘kan pintar, selalu rangking satu. Kamu pasti masuk ke sini bukan karena dari keluarga kaya, tapi karena otak kamu.” Gadis berbandana merah muda di sebelah Sellin memasang wajah maklum. “Tapi gak masalah sih, banyak kok cerita Cinderella yang jadi kenyataan,” tambah gadis itu. Mendengar kata-kata teman seangkatannya membuat Lyssa sedikit termenung sebelum akhirnya dapat menguasai diri. Gadis itu tersenyum ramah pada teman-teman barunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD