10. Veve

1131 Words
Lyssa cemberut. “Beneran gitu? Bukan karena aku yang nyebelin trus kamu panggil lebah??” “Kalau gak percaya bisa cek Google deh, Bee.” Tangan Evan membelai pipi Lyssa lembut. “Hmhm. Baiklah. Nanti aku cek beneran. Awas ya kalau bohong.” “Hahaha, nggak mungkin lah aku bohong sama kamu.” “Oke..” Untuk sejenak, tidak ada yang bicara. Saling menikmati kehangatan satu sama lain. “Apa kita pesan makan online saja? Makan di sini,” tawar Evan. “Boleh.. Aku mau yang hangat-hangat. Kita pesan dari resto terdekat saja,” jawab Lyssa sambil mengangkat tubuhnya dari d**a Evan. Evan membuka ponselnya yang sedari tadi tergeletak di tanah berlapis semen di sampingnya. Mengabaikan pesan-pesan yang masuk, ia membuka aplikasi pesan-antar makanan. “Mau makan apa?” tanyanya. “Terserah kamu. Pokoknya bukan daging.” Alis Evan terangkat. Kaget ada manusia yang tidak suka daging. “Tidak suka daging?” “Aku tidak suka kalau dagingnya belum diolah. Kalau sudah diolah dicampur tepung dan lain sebagainya aku tidak masalah. Tapi kalau ada sih, yang tidak ada dagingnya.” “Pacarku veggy dong..” “Hehehe.” Evan tiba-tiba mengarahkan kamera ponselnya ke arah mereka. Tanpa menggunakan flash, ia memotret wajah dan tubuh bagian atas mereka. Lyssa tersenyum manis untuk kamera. Evan memperlihatkan hasil jepretannya pada Lyssa. “Apa aku boleh mengunggahnya?” “Bagaimana jika ada yang mengenaliku?” tanya Lyssa panik. Mendengar tanggapan khawatir kekasihnya, Evan tertawa. “Mengenali kita? Sungguh? Wajah kita saja blur tidak jelas,” ujar Evan gemas. “Lagipula, mau sampai kapan kita merahasiakan hubungan? Aku ingin mengenalkanmu pada teman-temanku, mengunggah foto-foto bareng kamu di sosial media..” Lyssa menjawab serius. “Untuk apa? Toh kalau kita putus kamu juga akan ngehapus foto-foto aku dari sosial media kamu.” “Kita baru saja jadian dan Bee sudah bawa-bawa kata putus,” balas Evan dengan wajah masam. “Tapi kamu memang terkenal suka gonta-ganti cewek. Temenku bilang, dalam setahun, kamu bisa ganti dua sampai tiga cewek.” “Itu kan aku di masa lalu. Kali ini sungguh, aku serius pacaran sama Bee.” Mata Evan serius menunjukkan kesungguhannya. “Hm.. Tapi, aku tidak tahu apa aku beneran suka sama kamu atau hanya ingin mencoba-coba pacaran saja,” aku Lyssa. Mata lebarnya sedikit menutup meminta maaf. Tangan Evan membelai sisi wajah Lyssa. Wajahnya kalem saat berkata, “Haruskah setiap hubungan dibangun dengan rasa suka? Kita bisa membangunnya dengan kesetiaan dan saling menghargai. Aku akan selalu setia dan menghargai kamu. Dan kita bisa sama-sama saling belajar mencintai satu sama lain.” Ceramah panjang Evan dan keseriusannya meluluhkan hati Lyssa. Gadis itu menghadiahi ciuman apresiasi untuknya. Meski teknik ciumannya masih amatir, tapi Evan tidak masalah. Pemuda itu membiarkan kekasihnya mengeksplorasi dan menunjukkan perasaannya dalam wujud yang ia bisa. Ciuman French kiss mereka terpotong oleh telepon dari kurir pesan antar yang meminta arahan lokasi. Banyak jalan yang tertutup palang katanya. Malam itu Evan tidak jadi mengunggah mereka berdua. Melainkan mengunggah foto makanan dengan porsi berdua. Tidak ada caption. Hanya memasang tagar #firstdate. Tentu saja uggahan Evan menghebohkan penggemarnya. Mereka kasak-kusuk penasaran siapa pacar baru Evan sambil sibuk diskusi di kolom komentar. *** Keesokan harinya, Lyssa berangkat sekolah dengan bahagia. Hatinya terasa ringan. Memiliki seseorang yang menyayangi, yang berjanji untuk selalu ada, sangatlah menyenangkan. Liburan semester ini ia berencana akan memberitahu kedua sahabatnya tentang hubungan barunya. Ia tidak sabar menunggu saat itu. Bibirnya tersenyum kecil membayangkan reaksi Veve. Pasti gadis itu akan histeris. Hari ini hari pembagian rapot, hehe. Lyssa tidak sabar menunggu hasil nilainya. Ketika ia sampai di sekolah, sekolah SMA privat itu masih sepi. Seperti biasa, gadis itu memang hobi datang awal waktu. Sambil menikmati teh hangat dari botol termos miliknya, ia berdiri di pinggiran pagar lantai dua. Memperhatikan sekolahnya yang tampak damai. Sekolah ini berada di pusat kota. Dengan seleksi ketatnya, hanya ada dua cara untuk bisa masuk sekolah prestisius ini. Satu, kamu terlalu kaya. Dua, kamu terlalu pintar. Sekolah ini.. adalah sekolah alamamter ayah biologis Lyssa. Ia setuju membiayai sekolah Lyssa asalkan Lyssa mau bersekolah di tempat yang dipilihkan oleh ayahnya. Lyssa sendiri belum pernah bertemu secara langsung dengan ayahnya sejak saat itu.. Lyssa bergeleng, mengalihkan diri dari memori lama. Meski siswa-siswi sudah mulai ramai memadati sekolah, ia masih berdiri di sisi pagar, menikmati suasana. Biasanya, Veve dan Septi akan datang menemaninya. Sekarang sudah mendekati bel masuk, tapi kedua sahabatnya belum juga ada yang datang. Padahal Lyssa sudah membawakan satu tas roti untuk Veve. “Teng.. Teng..” Suara bel berbunyi. Menggema seperti suara lonceng di Vatikan, memenuhi SMA yang lebih mirip dengan kastel mewah ini. Lyssa pun bergegas menuju kelasnya. Gadis itu sengaja lewat pintu depan, hendak mampir ke meja Septi.. Tapi, sahabatnya itu menghindari pandangan. Seolah tak ingin bertemu atau berbicara dengannya. Lyssa tidak tahu apa yang salah. Dengan lesu, ia pun beranjak menuju mejanya di bagian belakang. Sambil menunggu guru piket masuk, Lyssa membuka ponsel. Di grup kecil dengan anggota bertiga, - Lyssa, Veve, dan Septi - grup itu bernama Friend Forever dengan foto profil saat mereka pergi jalan bertiga di salah satu mal. [Apa kalian datang terlambat? Kenapa tadi tidak menemuiku di tempat biasa? Aku menunggu kalian,] kirim Lyssa. Veve mengetik... Lyssa menunggu jawaban temannya tanpa menutup panel chat. Sayangnya, jawaban yang ia tunggu ternyata tidak sesuai seperti yang ia harapkan. Veve, [Emang kamu pikir kamu siapa? Kenapa juga kami harus menemuimu.] Lyssa duduk termangu di kursinya. Ada apa? Apa dia membuat kesalahan? [Aku bawain roti yang kamu suka,] tulis Lyssa lagi. [Makan saja sendiri,] balas Veve kasar. Lyssa tidak tahu kenapa Veve seperti ini. Ia mengecek pesan yang ia kirim. Di notifnya, ia melihat Septi yang hanya membaca pesan tanpa membalas. “Selamat pagi semuanya..” Pak Simon, wali kelas mereka masuk ke ruangan. Lyssa menunduk kembali melihat ponsel. [Apa aku ada salah?] tulisnya di grup. Tidak ada yang membalas. Pesannya hanya di-read oleh kedua sahabatnya. “Bapak absen dulu ya. Nanti rapornya seperti biasa kita bagikan setelah jam makan siang. Kalian kumpul-kumpul dulu saja sama temen-temen kalian.” “Ailin Lim.” “Aldo Ferdianz..” Lyssa menunggu namanya dipanggil. Ia tidak sabar ingin melihat balasan pesan dari Veve dan Septi. “Alyssa Grace.” Lyssa mengangkat tangan. Setelah Pak Simon beralih ke temannya yang lain, Lyssa bergegas merogoh ponselnya di kolong meja. [Pikir saja sendiri.] – Jawaban dari Veve. Setelah itu Veve keluar dari grup. Jantung Lyssa berdetak kencang. Ia menatap kosong ke papan tulis. Apa ada yang dia lewatkan? Veve kenapa? Sesaat setelah Pak Simon keluar dari kelas, Lyssa langsung berhambur ke meja Septi. Matanya melas memandang Septi. “Apa aku ada salah sama Veve?” Septi mengalihkan pandangan serba salah. “Kita keluar saja dulu ya? Nggak enak kalo ngobrol di tempat rame.” Lyssa mengangguk. Mengikuti Septi ke depan kelas mereka. Berdiri berdampingan di depan pagar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD