“Nih, aku otw ngambil barangnya. Oh ya, kapan hari ada yang bilang lihat kamu sama Evan di atap. Aku pikir kamu ketahuan ngetik. Tahunya kamu pacaran sama Evan.”
Tangan Lyssa yang sedang membuat pola bunga di tanah berumput itu terhenti.
Suara di seberang, “Aku tidak pernah lagi lihat Evan di tempat biasa sama cewek. Gak lama kemudian, ada yang bilang lihat Evan berduaan sama kamu di atap sekolah. Sudah pasti kamu pacar barunya.”
Kepala Lyssa semakin menunduk, “Memangnya tidak boleh ya, berduaan dengan seseorang yang bukan pacarmu?” tanya Lyssa lambat-lambat. Dia tidak tahu kalau gosip tentangnya dengan cepat akan tersebar.
“Pokoknya hati-hati sajalah. Evan banyak yang suka. Aku sering lihat anak-anak cewek berantem soal Evan di sosmed. Padahal juga bukan pacarnya.”
“Dari mana sih kamu tahu gosip-gosip kayak gitu?” tanya Lyssa penasaran.
Wajah Lyssa terangkat begitu mendengar pergerakan di depannya, matanya mengekor rombongan anak piket yang menyudahi aktivitas. Adik-adik tingkat itu tersenyum menyapa. Sudut bibir Lyssa terangkat, memasang senyum manis untuk mereka, masih dengan posisinya yang berjongkok menekuk lutut.
Di seberang, suara dealer rokoknya sayup-sayup masuk ke indra pendengaran Lyssa, berceramah tentang pro-kontra pacaran sama Evan.
Selesai menutup telepon, gadis cantik itu duduk menyelonjorkan kaki. Menikmati suasana khidmat sekolahnya. Angin siang yang bercampur hawa panas lembut menyentuh pipinya. Terasa sepi dan menenangkan.
Hm.. Sepi? Lyssa melihat jam tangan peraknya.
Wuahhh... Ternyata jam masuk sudah lewat! Ia tadi terlalu sibuk mengurus transaksinya sampai tidak kedengaran suara bel masuk.
Berlari-lari kecil, gadis cantik itu menuju kelasnya. Setelah ini adalah mata pelajaran terakhir UAS semester ini. Setelah itu tinggal menunggu hasil rapor belajar. Semoga ia bisa meraih rangking satu lagi dan dapat SPP gratis!
***
Malam itu, sesuai janji, Evan menjemputnya. Lyssa sudah menunggu sejak beberapa menit lalu sambil bersandar di tembok kaca toko roti pamannya. Bau roti sedap memenuhi indra penciuman.
Supaya tidak ketahuan paman dan bibinya. Lyssa mengajak janjian jam setengah tujuh. Para karyawan shift dua biasanya selesai jam kerjanya pukul lima. Sementara paman dan bibirnya biasanya masih akan tinggal hingga beberapa saat. Pukul lima pagi pagi sekali, toko roti Italian ini mulai beroperasi kembali.
Beberapa saat kemudian, sebuah motor sport besar berwarna merah berhenti di jalan depan tokonya. Sepasang tangan kokoh membebaskan kepalanya dari helm trendinya sembari menjejakkan dua kakinya yang panjang ke tanah, menahan keseimbangan.
Sedikit merapikan tatanan rambutnya, pemuda itu tersenyum pada gadis yang menunggunya. Gadis itu balas tersenyum. Menyambut kekasihnya.
Turun dari motor, pemuda itu berjalan sambil terus tersenyum menuju kekasihnya. Ia meletakkan dua tangannya menangkup wajah Lyssa sebelum turun mencium bibir kekasihnya.
“Selamat malam,” katanya. Wajah tampannya berada dalam jarak yang super dekat dari wajah Lyssa.
Lyssa tersenyum. Sedikit tersipu saat balas mencium bibir tipis di depannya. Ia mengulum lembut bibir bawah Evan ke dalam mulutnya yang hangat.
“Selamat malam juga,” bisik Lyssa.
Evan meletakkan kepalanya di ceruk bahu Lyssa. Memeluk tubuh Lyssa lebih dekat lagi ke dalam tubuhnya. “Aku sangat merindukanmu.” Pemuda itu menghirup dalam-dalam bau sampo dan parfum yang bercampur dengan bau tubuh kekasihnya. Terasa menenangkan. Membuat nyaman.
Lyssa memiringkan kepalanya. Menyandarkannya di d**a Evan. Merasakan detakan-detakan jantung Evan yang seirama dengan miliknya. Tangannya memeluk posesif tubuh dalam dekapan.
“Evan..” panggil Lyssa.
“Yups?” Evan melonggarkan pelukannya, mengintip melihat wajah sang terkasih.
Lyssa, “Aku baru ingat. Aku tidak punya helm.”
“Ehhh...”
Sepasang kekasih itu tertawa. Tidak menyangka hal sesimpel itu akan menggagalkan kencan pertama mereka.
Lyssa tidak punya motor. Jika dia perlu pergi jauh, biasanya dia akan naik ojek online atau diantar oleh pamannya. Pamannya juga jarang mengendarai motor. Biasanya mereka menggunakan mobil peninggalan mama Lyssa yang kini dipakai oleh pamannya.
“Tidak papa. Tidak papa, kita bisa ngobrol di sini sampai shubuh,” kata Evan masih dengan tertawa. Pemuda itu melepas jaketnya, menggelar jaket mahal itu di lantai semen depan toko. “Di sini tidak apa?” tanyanya.
Lyssa mengangguk. Gadis itu duduk di tempat yang sudah digelar oleh Evan.
Padahal dia sudah berdandan cantik dengan t-shirt putih ketat ditumpuk blazer jeans biru muda. Jeans mini skortnya juga berwarna senada. Di tubuhnya, tas mungil berwarna biru tua sudah terselempang cantik di bahu kanannya.
“Biasanya aku tinggal memakai helm abang-abang ojol. Jadinya sama sekali tidak ingat.”
“Hehehe. Gak masalah.. Kita bisa pergi kencan kapan-kapan lagi,” kata Evan sambil ikut duduk di sebelah Lyssa.
“Apa aku boleh memelukmu?” tanya Evan meminta izin.
Lyssa mengangguk.
Sejurus kemudian, dia merasakan tangan Evan yang masuk ke dalam blazernya, memeluk pinggangnya. Membawa Lyssa untuk semakin dekat. Terasa hangat.
“Aku bersyukur seragam sekolah tidak boleh terlalu pendek dan ketat,” kata Evan dengan senyuman. Pandangannya menunduk melihat wajah kekasihnya. Bibirnya lagi-lagi turun mencium bibir Lyssa.
Bibir tipis itu lagi-lagi mengulum dan mengisap bibir Lyssa. Membuat sepasang bibir itu mengkilap basah dan tampak s*****l. “Bee selalu bilang, rumah Bee di atas toko. Aku pikir di pinggir jalan raya. Ternyata di dalam perumahan,” ujar Evan pelan.
“Untungnya aku lihat papan lampu ini.” Tunjuk Evan pada papan nama Charlotte’s Grace Bakery di depan mereka.
Lyssa mengikuti arah yang ditunjuk Evan. Neon di dalam papan itu menyala hangat di temaram malam. Huruf Charlotte’s Grace ditulis dengan font latin bersambung sementara kata Bakery ditulis di bawah nama ibu dan anak itu.
“Charlotte nama mamaku,” terang Lyssa.
Evan memeluk tubuh gadis di sampingnya. Merengkuh tubuh gadis kesayangannya ke dalam pelukannya yang hangat. Angin malam yang dingin sesekali membelai kulit tubuh Lyssa. Membuatnya masuk semakin erat ke dalam pelukan Evan.
Jalanan kompleks perumahan itu sepi. Hanya sesekali saja motor atau mobil yang lewat. Lagipula, toko roti Lyssa tidak langsung di pinggir jalan, masih ada ceruk masuk ke dalam. Membuat nyaman dua insan yang tengah memadu asmara.
“Kamu lihat mataku..” pinta Lyssa.
Evan menurut. Pemuda itu dalam mengintip iris hijau kekasihnya.
Lyssa, “Mataku ... berwarna hijau seperti sup rumput laut.”
Evan tertawa pelan. “Salah. Bukan seperti rumput laut..”
“Lalu?”
“Coba kulihat lagi.” Evan meraih wajah Lyssa dengan kedua tangannya. Pemuda itu menatap lebih dalam lagi ke dalam mata kekasihnya. Di balik pantulan lampu oranye jalan, ia mencoba menelisik lebih dalam lagi tentang warna iris Lyssa.
Pemuda itu serius menganalisa. Bulu mata mereka yang panjang sesekali bersentuhan. Membuat mata mereka berkedip bersamaan. Hitam bertemu hijau. Saling memantulkan bayangan di retina masing-masing.
Evan, “Benar juga. Seperti hijau rumput laut yang masih segar. Sangat jernih.”
“Kan.. Aku bilang juga apa. Aku pertama kali sadar pas di sekolah ada menu sup rumput laut.”
“Hehehe. Tapi tetep cantik kok.”
“Mataku persis seperti punya Mama. Aku akan memperlihatkan foto mamaku kapan-kapan.”
Evan mencubit gemas pipi Lyssa. “Atau aku datang saja langsung. Pura-pura pesan roti. Nanti juga ketemu sama mamanya Bee.”
Lyssa hanya bergumam-gumam pelan dan kembali ke dalam pelukan Evan yang hangat.
“Mamaku dan adiknya dulu merantau dari Italia. Ke Indonesia mengunjungi saudara jauh untuk bekerja. Setelah bekerja keras, akhirnya Mama berhasil membuka usaha sendiri,” terang Lyssa. Suaranya sedikit teredam oleh baju dan d**a Evan.
“Keren..” balas Evan.
Evan menambahkan, “Bee juga keren. Bee bisa rangking satu setiap semester juga karena Bee sudah bekerja keras.”
Lyssa hanya menggumamkan terima kasih.
Lyssa, “Oh ya. Btw kamu kok kalo manggil aku pakai ‘Bee’. Apa maksudnya?”
Evan menatap jail gadis di sampingnya. “Apa hayo artinya?? Yang jelas itu panggilan sayangku untuk kamu.”
Lyssa memanyunkan bibirnya. “Bee lebah kan ya artinya? Apa aku suka menyengat seperti lebah?” tanyanya cemberut.
Evan mencubit gemas pipi kekasihnya. “Ada lagi selain lebah. Aku pernah tidak sengaja membacanya di buku pengetahuan umum tentang negara Prancis. Ada makna besar dibalik simbol lebah. Di sana juga lagi ngetren panggilan sayang dengan kata ‘Bee’. Aku sudah lama ingin menggunakannya, hehe.”
Lyssa cemberut. “Beneran gitu? Bukan karena aku yang nyebelin trus kamu panggil lebah??”