Di tengah hiruk pikuk suasana toko roti, gadis itu berdiri termenung di depan pagar, barusan nerima paket olshop. Ia lagi-lagi menulis di grup kecilnya, “Bukannya kamu yang nyaranin aku buat pacaran sama Evan?” dia menandai nomor Veve.
Tak berselang lama, Veve kembali keluar dari grup.
Menarik napas-napas dalam, Lyssa ganti mengirimi Septi pesan, “Jum’at sore aku main ke rumahmu ya.. Kita bujuk Veve biar mau ikutan camping.”
“Tidak usah,” jawab Septi pendek.
“Kenapa? Kamu gak mau temanan lagi sama aku?”
Hanya bercentang biru.
“Pokoknya Jum’at sore aku ke rumah kamu. Habis itu kita bareng-bareng ke rumah Veve.”
“Tidak usah, Lyss.”
“Pokoknya aku ke sana.”
“Terserah,” balas Septi acuh.
“Demi apapun, apa aku salah pacaran sama Evan?” tanya Lyssa tak tahan lagi.
Balasan Septi cepat, “Veve suka sama Evan. Dia nangis lama pas tahu kamu jadian sama Evan.”
Lyssa menelepon Septi, tapi panggilannya tak dijawab. Ia menulis pesan lagi. “Bukannya kamu temenku juga? Kenapa kamu hanya peduli sama Veve?”
“Lyssa.......” panggil bibinya dari dalam toko.
Lyssa menoleh ke belakang. Di balik dinding kaca rumah tokonya, bibinya melambai-lambai memintanya kembali bekerja. Tadinya Lyssa hanya keluar pamit mengambil kiriman.
“Iya, sebentar, Te..” sahut Lyssa.
Gadis itu kembali menekuni ponsel pintarnya, mendapati jawaban pedih dari Septi, “Veve cemburu sama kamu. Dia bilang gak siap jika harus lihat kamu jalan sama Evan. Kamu pikirkan saja dulu, kamu lebih butuh Veve atau Evan.”
Pesan panjang dari sahabatnya itu benar-benar membuat Lyssa lemas. Gadis itu duduk berjongkok di teras rumah, melihati para karyawan yang sedang sibuk menata kotak roti ke dalam mobil boks.
Suara bibinya memberi instruksi pun keras terdengar hingga gerbang depan. Tampak berkharisma menjadi pengganti suaminya yang sedang sibuk marketing keluar kota.
Memperbaiki mood, Lyssa mengirim pesan “I miss you” ke w******p Evan sebelum kembali sibuk di dalam toko.
***
Jum’at sore, Lyssa meminta izin pada bibinya untuk pulang cepat. Ia berencana mengunjungi rumah Septi. Ia sudah menyiapkan hadiah kecil untuk kedua sahabatnya.
Rumah Septi besar, dua kali lebih besar dari rumah toko Lyssa. Lyssa harus memencet bel rumah Septi berulang kali sampai seorang pembantu rumah tangga membukakan gerbang untuknya.
“Mbak Lyssa. Nyari Kak Septi? Kak Septinya pergi Mbak.. Katanya mau ke rumahnya Mbak Veve..”
“Sudah lama perginya?” Lyssa balik tanya. Ia sudah beberapa kali ke sini, jadi pembantunya Septi mengenalinya.
“Barusan kok, Mbak. Nggak ada lima belas menitan kayaknya.”
“Oh.. Ya udah kalo gitu. Aku nyusul ke rumah Veve saja sekalian.”
Beruntungnya Lyssa tinggal di kota. Meski tidak punya motor atau mobil, ia bisa dengan mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ada jasa ojek online yang sangat membantu kesehariannya.
Rumah Veve berada di pinggir jalan besar, meski bukan jalur utama, rumah itu tampak megah berdiri di pinggir jalan dengan taman cantik yang mengintip dibalik pagar batu putih gading yang mengitari.
‘Ting Tong..’
‘Ting Ting..’
Butuh waktu lama sampai seorang pembantu wanita membukakan pintu gerbang untuknya.
“Nyari Kak Veve, Kak?” tanya bibik pembantu begitu melihat Lyssa.
“Iya.”
“Barusan Kak Veve keluar sama Kak Septi. Gak bilang sama Kakak?”
Lyssa melihat jam, sudah jam enam lebih. “Biasanya kalo keluar jam segini, jam tujuh udah balik kok. Apa aku boleh nunggu di dalam?”
“Aduh.. Bukannya nggak boleh ya, Kak.. Tapi ini bukan rumah saya, saya cuman pembantu di sini, gak berani masukin tamu kalo gak ada bapak ibuk..”
“Hm.. Baiklah ga papa. Aku tunggu di luar saja.”
“Mending Kak Lyssa chat Kak Veve saja lho. Tanya kapan pulang.. Atau nyusul ke mal sana.”
“Hehehe. Terima kasih sarannya.” Meski berujar begitu, pada kenyataannya, Lyssa masih menunggu di depan rumah Veve. Gadis itu berdiri bersandar di pagar batu bertuliskan nomor rumah Veve.
Di tangan kanannya, kotak kue besar ia jinjing dengan hati-hati. Sementara tangan satunya memegang tali tas selempang hijau mudanya dengan gugup.
Sore semakin larut. Jalanan di depannya semakin ramai. Mamang-mamang jualan baso di ujung jalan melihatinya sesekali. Pengendara-pengendara motor dan mobil pun beberapa kali mengklaksonnya, mengira Lyssa gadis cabe-cabean yang tengah mencari pelanggan.
Lyssa mengecek jam tangannya berulang kali. Langit semakin gelap, berganti lampu-lampu kota yang mulai menyala terang. Jalanan macet pulang kerja saling bersahut-sahutan menyuarakan klakson mereka.
“Gledar!!” Suara guruh mengagetkan semua orang. Sekarang di pertengahan bulan Juli, tidak ada yang mengharapkan hujan saat ini. Tapi angin berubah menjadi dingin..
Lyssa dan para pengendara motor di jalanan depannya mulai panik.
Lyssa mengeluarkan ponsel, mencoba menghubungi nomor Septi. Tapi sahabatnya masih tidak mau menjawab telepon.
Angin kencang mulai berembus. Mamang bakso di ujung gang panik membereskan lapak.
Lyssa mencoba lagi. Kali ini ia menghubungi nomor Veve. Tapi sepertinya nomornya diblokir oleh Veve.
Gerimis mulai menetes kala Lyssa membuka sosial media, berniat menghubungi Veve via sosmed. Foto pertama yang muncul di homepage Instagramnya cukup untuk membuat Lyssa menjatuhkan barang bawaanya. Kotak roti itu jatuh tak berdosa.
Gadis itu bergegas memesan taksi online. Pakaiannya separuh basah kala ia masuk ke dalam mobil. Ia harus meminta maaf berulang kali pada bapak sopir karena membasahi jok mobil tengahnya.
Gadis itu masih mengamati foto di layar ponselnya dengan saksama.
“Padahal kita mau BBQ outdoor, sayang sekali keburu hujan. #FriendsTime” - Caption yang ditulis oleh Veve. Di atasnya, foto berlatar tenda warna oranye di suatu rumah atap tampak syahdu di sore hari.
Satu hal yang mematikan senyum Lyssa adalah, adanya gadis berambut hitam sebahu yang tersenyum kalem ke arah kamera. Gadis itu.. Karin. Mantan Evan. Ia tampak anggun sementara Veve memeluk lengannya manja. Di sebelah kiri, Septi tersenyum kecil ke arah kamera.
Segala rasa yang awalnya berkecamuk dalam hati Lyssa kini sirna, sebagaimana hujan deras yang kini merusak hiasan kue yang ia tinggal di depan rumah Veve. Topping kue berbentuk tiga wanita mulai jatuh satu per satu. Tak sanggup bertahan di atas lapisan bolu dan krim yang Lyssa tumpuk tinggi-tinggi.
Kue itu hancur, sebagaimana kondisi hati Lyssa saat ini.
***
Tidak ada yang berubah. Liburan Lyssa berlanjut, terasa monoton. Setiap hari ia habiskan kerja part time sambil sesekali berteleponan dengan kekasihnya. Begitu terus sampai sekolah akhirnya masuk lagi.
Hari ini, hari pertama sekolah di tahun ketiga. Selesai upacara tadi, Lyssa tidak langsung pergi main seperti teman-temannya, jam kosong adalah saat yang tepat untuk fokus dengan buku-buku pelajaran. Gadis itu tekun duduk di bangkunya, pulpen di tangan kanan dengan buku-buku teks terhampar di meja.
“Lyssa, apa berita yang trending itu beneran?” Di tengah kekhusyukan jam belajarnya, seseorang memecah konsentrasi Lyssa.