Waktu liburan semester, full Lyssa habiskan di toko roti. Setiap hari mulai pukul sembilan hingga lima sore, Lyssa full berada di dapur. Kakinya kebas, lelah berdiri berjam-jam. Entah sudah berapa puluh kue yang ia hias di minggu ini, tangannya lelah, ngilu, tapi ia tidak berani mengeluh. Semua karyawan pun sama.
Meski Lyssa adalah keponakannya, tidak ada belas kasih dari paman dan bibinya – mereka juga butuh tenaga tambahan di dapur. Sayangnya, ramai pesanan di musim liburan hanya musiman, sangat riskan jika harus menambah karyawan tetap.
“Lyssa, jangan lupa sebelum sekolah masuk lagi, nginap di rumah Tante ya..” teriak bibirnya dari seberang. Wanita di akhir dua puluhan itu sibuk menghitung nota di belakang konter.
“Eh? Sepertinya tidak bisa, Te. Lyssa sudah ada janji sama Septi sama Veve. Katanya mereka pengen Pajamas Party di rumah Lyssa, nggak tahu kapan. Tinggal sepuluh hari lagi sampai sekolah masuk.” Tangan Lyssa yang sedari tadi telaten mengukir bunga dengan cream rasa blueberry berhenti. Suasana dapur roti sangat panas, punggung gadis itu basah oleh keringat, poni dan rambut panjangnya yang ia kepang tinggi lepek menempel di dahi dan leher putihnya.
Apron dan lengan baju Lyssa pun sudah berubah dipenuhi warna-warni aneka krim. Masker plastik penutup mulut dan hidungnya lembab sedari tadi. Pekerja di toko roti pamannya kebanyakan pria, maklum lah pekerjaan di dapur sangat membutuhkan kondisi fisik yang optima.
“Hm.. Harusnya kamu sempatin waktu liburan untuk keluarga. Si Veve dan Septi itu juga pasti sibuk dengan keluarganya masing-masing,” sahut bibinya lagi. Tadi obrolan mereka sempat tertunda oleh telepon dari costumer – Bibinya merangkap CS sekaligus admin pembayaran.
Lyssa mengangkat wajah lagi, kue ulang tahun besar di depannya sudah separuh jadi, untuk pesanan nanti malam. Warna hijau adalah favorit Lyssa, kebetulan sekali pesanan kue kali ini bernuansa hijau muda, sangat memanjakan mata.
“Tidak bisa, Tante.. Kami sudah ngerencanain sejak dulu banget.. Veve bilang dia ingin coba camping di atap terbuka.”
“Hm.. Ya sudahlah. Jangan lupa bilang ke pamanmu nanti.”
“Siap..”
***
Tepat pukul lima sore, Lyssa menyudahi aktivitasnya di toko. Bersama dengan karyawan lainnya, gadis itu bahu membahu membereskan peralatan kerja mereka. Di sini ada juga karyawan yang sudah bekerja sejak masa mamanya dulu. Mereka sudah seperti paman dan bibi untuk Lyssa.
Dengan kaki dan punggung yang terasa remuk kelelahan, gadis itu memanjat naik ke rumahnya. Sebenarnya dulu ada tangga dari dalam toko menuju rumah atapnya, tapi tangga itu sudah disegel, supaya tidak ada karyawan yang iseng menyelinap naik ke rumah Lyssa.
“Hah..” Gadis itu merebahkan tubuh di atas dipan bambu depan rumah. Ia merogoh saku, mencari ponselnya yang sedari tadi tidak sempat ia buka.
Pesan masuk dari Evan. Pemuda itu mengirimkan fotonya yang sedang liburan di California bersama keluarga besarnya. Dia bilang bakalan seminggu di sana. Foto itu ... semua juga tahu Evan berasal dari keluarga kaya. Tampak dalam latar, vila dengan latar hamparan pepohonan, seperti berada di antara bukit atau gunung kecil.
Pemuda itu berfoto bertelanjang d**a, separuh tubuhnya berada di dalam kolam renang berair jernih warna biru, sebiru laut. Senyum pemuda itu kalem berselfie di kamera depannya. Kulit Evan tampak lebih gelap dari sebelumnya.
[Semoga suatu saat bisa liburan bareng kamu,] tulis Evan.
Lyssa membalas dengan emotikon smile banyak-banyak. Gadis itu mengarahkan kameranya, hendak mengirim foto untuk pacarnya. Sayang sekali, hasil jepretan fotonya menyadarkan Lyssa pada dunia nyata. Gadis itu tampak kusam dan letih dalam foto, baju dan wajahnya cemong oleh warna-warni krim kue.
Gadis itu termenung, mendadak teringat obrolan teman-temannya yang mengatakan bahwa Evan berasal dari keluarga konglomerat. Dunia mereka berbeda. Sekalipun, Lyssa tidak pernah berniat menjadi Cinderella, dia hanya ingin mencoba pacaran. Ia tidak ingin menjadi seperti mamanya yang terlanjur jatuh cinta pada laki-laki kaya yang tak sepadan dengannya, yang kemudian berakhir dengan--
‘Bruk.’ Ponsel yang sedari tadi ia sangga dengan lengan jatuh menimpa tulang hidungnya, gadis itu meringis kesakitan. Pas sekali saat itu ponselnya bergetar.
Evan memanggil. Lyssa pun mengangkat teleponnya.
“Halo..” sapa Lyssa.
“Halo.. Selamat sore, Bee.. Di Indonesia sore kan, Bee??”
“Iya, nih. Bentar lagi maghrib.” Lyssa menerawang jauh ke langit. Tangannya terangkat, mencoba meraih langit-langit berhias warna oranye.
“Tadi aku lihat Bee ‘mengetik’ tapi aku tunggu lama kok gak ada muncul pesannya.”
“Hehe, maaf.. Tadi aku ngetik tapi kedistrak sama sesuatu.”
“Hmhm..”
“Balik kapan ke Indo??” tanya Lyssa.
“Mungkin dua hari lagi. Aku harus siap-siap buat orientasi penerimaan siswa baru.”
“Oh..”
“...”
“Em.. Evan?”
“Ya?”
“Aku pengen manggil kamu sesuatu, kayak kamu manggil aku ‘Bee’ gitu..” aku Lyssa malu-malu.
Terdengar kekehan pelan dari seberang. “Boleh saja. Bee maunya panggil aku gimana?”
“Hm.. Entahlah. Aku belum pernah sebelumnya..” ujar Lyssa malu.
“Hahaha, nggak papa kok. Nomor kontakku, Bee simpen pakai nama apa?” pancing Evan.
“Hm? Nomor kamu? Aku simpen pakai nama My First,” Pipi Lyssa bersemu merah menyebut nama itu.
“Your First?? Yang pertama dalam hal apa nih? Hehe,” goda Evan.
“Ciuman pertamaku,” aku Lyssa malu-malu.
“Yah.. Padahal aku pikir, aku cinta pertamanya Bee..”
Lyssa tidak menjawab. Wajah gadis itu sudah berubah seperti tomat. Kegelapan malam yang kini meliputi rumahnya menyembunyikan rona merah di pipinya.
Di seberang, Evan seperti bisa menduga ekspresi kekasihnya saat ini. Di Kalifornia sekarang pukul tiga pagi, pemuda yang sedari tadi masih mengerjakan sesuatu di laptopnya itu berhenti sejenak dari aktivitasnya. Asisten wanita yang tengah membantu keperluan penerbangan paginya ia kode untuk keluar dari kamarnya, sedikit memberi privasi untuknya.
“I miss you..” bisik Evan begitu asistennya pergi.
Lyssa masih tak menjawab. Gadis itu masih tersenyum malu-malu dalam kegelapan malam. Ia dari tadi belum beranjak menyalakan lampu rumah, masih sibuk bucin dengan pacar tampannya.
“I love you..” coba Evan lagi.
Lyssa berdehem, melemaskan otot-otot tenggorokannya.
“I love you too..” balas Lyssa pada akhirnya. Suaranya kecil sekali. Mencicit hampir tak terdengar.
“Hehehe, thank you, Bee..”
***
Di tengah kesibukannya bekerja sambilan menghias roti, Lyssa masih menyempatkan diri menghubungi kedua sahabatnya, Veve dan Septi. Gadis cantik itu menelepon berkali-kali, tapi tidak pernah sekalipun dijawab oleh mereka.
[Maaf, aku hanya ingin menjaga perasaan Veve,] balas Septi pendek. Padahal demi apa, Lyssa yang duluan kenal sama Septi, bukan Veve. Apalagi ketika Evan mengunggah fotonya berdua sama Lyssa, Veve lagi-lagi keluar grup WhatsA-p mereka. Padahal baru beberapa jam saja sejak Lyssa memasukkan nomornya kembali ke dalam grup.
Lyssa lagi-lagi memasukkan nomor ke dalam grup.
[Katanya pengen ngadain pesta piyama? Aku sudah beli tenda otomatis, barusan dianterin abang kurir,] tulis Lyssa di grup.
Lyssa, [Malam Sabtu besok bagaimana?]
[Aku traktir BBQ deh,] tulis Lyssa lagi.
Tidak ada yang menjawab pesannya.
Gadis cantik itu memotret kardus olshop berlogo kuda poni yang baru ia terima. Lagi-lagi pesannya tak terjawab. Hanya bercentang dua biru.