Sepasang kekasih baru itu berjalan berdampingan. Melewati koridor lantai satu, lantai untuk anak kelas tiga.
Evan sudah kembali seperti biasa. Cowok itu ramah menyapa kakak-kakak senior.
“Sebenarnya aku pengen nraktir kamu makan,” ucap Lyssa pelan.
Evan menoleh ke arahnya.
“Sebelumnya, setiap aku dapat rangking satu, aku selalu mentraktir Septi. Tapi.. sepertinya kali ini tidak mungkin. Kami sedang ada masalah.”
Mata Lyssa yang berpendar sedih menyakiti hati Evan. Cowok yang sebelumnya tak pernah peduli akan cewek dan segala permasalahannya kini terpanggil jiwanya. “Apa aku bisa membantu sesuatu?” tawarnya.
“Hehehe. Masalah cewek biasa sih. Sebentar lagi kita juga baikan. Aku sama Septi sudah kenal lama.” Lyssa tersenyum manis, menenangkan kekasihnya.
Evan masih memandang Lyssa khawatir.
Lyssa kembali mencoba menenangkan Evan. “Tidak masalah.. Aku gak papa kok. Kamu juga, semangat rapatnya.. Semoga semua program kerja kamu bisa terlaksana dengan baik.”
Evan mengangguk. Akhirnya teryakinkan. “Terima kasih.”
“Nanti selesai rapat aku hubungi,” kata Evan lagi.
“Em,” angguk Lyssa.
Evan melepas kepergian kekasihnya di pinggir tiang tinggi hall sekolah, mengawasi Lyssa yang berjalan menjauh.
“Lyssa!” panggil Evan tiba-tiba.
Gadis cantik itu menoleh. Menawarkan senyum terbaiknya. Mata hijaunya tampak terang memamntulkan cahaya matahari, menyempurnakan hijau-hijau pepohonan sekolah.
“Jika butuh sesuatu bilang aku saja.” Evan serius menatap ke arahnya. Beberapa meter di depannya, Lyssa mengangguk.
Melihat Evan yang seperti ingin mengucapkan hal lain, Lyssa menunggu. Berdiri di jalan setapak sekolah. Berlatarkan suara anak-anak cowok yang tengah berlatih basket ditemani sorakan cheerleader, sepasang kekasih baru itu saling berdiri berhadapan. Saling memandang penuh kasih sayang.
“Hati-hati di jalan..” kata Evan pada akhirnya.
“Ya, terima kasih,” balas Lyssa.
Hari ini hari pertama mereka menyatakan hubungan mereka ke publik. Entah mengapa berat hati Evan melepas kepergian Lyssa. Padahal toh, mereka masih bisa lagi bertemu esok hari.
Meninggalkan senyum manis yang dulu membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama, gadis cantik pujaan hatinya itu berbalik. Beranjak pulang dengan tas punggung warna hitamnya. Bahkan warna tas itu pun tak mampu mengalahkan hitamnya rambut kekasihnya. Surai hitam itu sangat cantik.. Berkibar lembut diterpa semilir angin.
***
Sekolahnya yang mahal itu sangat luas. Jika harus berjalan kaki mengitarinya, siapa pun pasti akan mengeluh kelelahan. Baru melangkah menuju gerbang utama saja sudah melelahkan, belum lagi melewati taman depan..
Sejak sepedanya dirusak oleh Pearl beberapa waktu lalu, Lyssa memang belum memperbaikinya. Ia masih menunggu pamannya sedikit senggang untuk meminta tolong diantar ke tempat reparasi. Menjelang akhir tahun seperti ini, toko roti pamannya banjir pesanan. Pamannya saja sampai lupa tidak menengoknya berhari-hari.
SMA Thrivent terletak di blok khusus untuk sekolah. Jalanan depan Thrivent ramai oleh siswa-siswi pulang dari sekolah. Sedikit aneh memang, Lyssa yang berseragam Thrivent pulang berjalan kaki. Sangat tidak sesuai dengan reputasi sekolahnya yang elite. Beberapa siswa dari sekolah lain berhenti menawari tumpangan padanya namun ditolak halus oleh Lyssa. Menumpang pada orang asing bisa menjadi suatu hal berbahaya tahu..
Suara motor direm halus berhenti di samping Lyssa. Gadis itu menoleh ke samping kanannya, motor sport hitam besar berhenti di sampingnya.
Lyssa ikut berhenti, menunggu apa yang akan dilakukan oleh pengandara itu. Dari seragamnya, ia tahu mereka dari sekolah yang sama.
Pengendara cowok berkaki panjang itu menaikkan visor helm full face-nya. Mata itu dalam memandang Lyssa di antara tulang hidungnya yang tinggi. Kepalanya mengedik ke belakang, mengisyaratkan Lyssa untuk ikut di boncengan.
Untuk sejenak, hampir saja Lyssa terkecoh. Terhipnotis untuk ikut duduk di belakang pemuda itu.
Suara eraman motor panjang bersahut-sahutan menyadarkan Lyssa dari lamunan. Gadis itu menoleh ke belakang. Deretan motor-motor keren memanjang ke belakang bak showroom outdoor.
Hampir di semua jok belakang motor-motor itu terisi oleh siswi berseragam sekolah yang sama dengannya. Kebanyakan dari mereka menempel erat di punggung anak-anak cowok itu. Tangan mereka menyabuk mesra di perut teman lelakinya.
Sepertinya, rombongan motor ini hendak berpesta menyambut musim liburan semester.
Suara klakson motor di depannya menyadarkan Lyssa untuk fokus kembali pada pengendaranya.
“Naiklah.” Pemuda itu lagi-lagi mempersilakan Lyssa untuk naik di jok belakang. Suaranya tak jelas, teredam oleh puff helm. Motor-motor di belakangnya menggeram tak sabar.
“Maaf.. Mungkin lain kali saja. Terima kasih sudah menawari,” tolak Lyssa halus. Gadis itu bahkan tidak tahu siapa pemuda di depannya.
Sepasang mata itu saling berpandangan. Tak ada yang ingin menyerah. Mata hijau Lyssa masih berpendar lembut sementara pemilik iris hitam di depannya dalam menghujam.
Di antara deretan motor itu, motor sport berwana hijau terang menyalip tiga motor di depannya, berhenti di depan motor hitam milik pemuda misterius di depan Lyssa. Untung saja jalanan depan SMA mereka sangat luas, deretan panjang motor-motor itu tak berpengaruh pada laju lalu lintas.
Anak perempuan yang duduk di jok belakang mobil sport hijau membuka kaca helm half face-nya. Wajah cantik pemiliknya menyempil keluar.
Pearl!
Gadis itu tampak kesal mengomel pada Lyssa. “Tidak usah sok jual mahal! Kalau mau ikut, ikut saja!”
Wajah kalem Lyssa ikutan berkerut, tak kalah kesal dari wajah Pearl. Andai Pearl tidak merusak sepedanya, saat ini dia pasti sudah otw pulang tanpa harus capek-capek jalan kaki. “Siapa juga yang mau ikut?!” balas Lyssa sengit.
Anak cowok yang membonceng Pearl memutar-mutar handle gas tak sabaran, menimbulkan suara eraman keras dalam mode rem.
“Mentang-mentang punya pacar baru! Tunggu saja, sebentar lagi kalian juga bakalan putus!” teriak Pearl melawan kerasnya suara motor teman lelakinya.
Wajah Lyssa memerah, belum pernah ia merasakan semarah ini pada Pearl.
Tak diduga, anak cowok yang tadi menawarinya boncengan malah mematikan motor. Pemuda itu menurunkan kakinya, sekaligus juga menurunkan standar samping motornya. Anak-anak cowok di belakangnya mengikut, sama-sama mematikan motor mereka.
Anak cowok itu membuka helm, menatap Lyssa beberapa saat sebelum beralih pada Pearl. “Apa dia punya pacar?” tanyanya datar.
Jujur, Lyssa tidak tahu siapa pemuda di depannya. Meski helm tak lagi menutup kepala cowok itu, Lyssa tak yakin mereka pernah bertemu. Apalagi seragam sekolah cowok di depannya itu tertutup jaket, Lyssa jadi tidak bisa melihat badge kelas.
Mendengar pertanyaan dari anak cowok itu, teman lelaki Pearl ikut mematikan motor, kepalanya menoleh ke belakang penasaran. Para pengguna jalan pun ikut menoleh penasaran ke arah mereka.
“Kamu mungkin tidak tahu karena kamu gak pernah peduli soal ginian. Nenek lampir satu ini sekarang pacaran sama Evan. Mainan barunya si ketos tampan.” Pearl mencibir.
Gigi Lyssa mengatup marah. Jika saat ini Pearl tidak sedang berada di atas motor, dia pasti sudah mencakar-cakar wajah itu. Ia menghentakkan kaki sebelum berlalu. Rambut panjangnya berkibar mengintip di antara ransel hitamnya.
Masih dengan wajah datarnya, anak cowok bermotor hitam itu kembali mengenakan helm. Beberapa saat kemudian, motor itu melaju pelan di jalanan samping Lyssa. Tidak ada yang menoleh. Sama-sama fokus pada jalanan di depan mereka.
Rombongan motor-motor yang sempat mandek itu kembali melaju, mengikuti pimpinan mereka. Beberapa dari mereka menyapa klakson pada Lyssa. Penasaran pada anak cewek yang mampu menghentikan laju motor pimpinan mereka.