Rumah Lyssa rumah atap.
Di bagian depan, ada tembok pagar setinggi satu meter, sengaja agar penghuni bisa melihat pemandangan di depan. Bagian depan juga dibiarkan terbuka tanpa atap, sebagai halaman dan tempat bersantai.
Dulu, mamanya sangat suka berjemur. Gadis itu memandang hampa dipan kayu yang berada di luar, tempat favorit mamanya saat berjemur.
Masuk ke dalam, Lyssa melihat bingkai besar foto mamanya yang terpasang di ruang tamu. Mamanya terlihat sangat cantik tersenyum ke arah kamera.
Wanita di dalam bingkai itu terlihat sedang di akhir masa remaja. Tubuh seksinya mengenakan gaun pesta berwarna merah dengan hiasan manik-manik. Sangat cantik. Rambutnya yang merah kecokelatan bergelombang indah senada dengan senyumnya yang lebar merekah.
“Selamat sore, Mama. Lyssa pulang,” sapa Lyssa tanpa ekspresi.
Mata hijau di foto itu sama persis dengan milik Lyssa – terkecuali, mata hijau yang abadi dalam bingkai foto tersebut sedang berbinar penuh kegembiraan, sementara sepasang mata hijau yang sedang berdiri memandang potret itu sama sekali tidak tersenyum. Iris hijau lumut itu tampak sedih melihat wajah cantik mamanya.
***
Selesai mengerjakan tugas sekolah, Lyssa mengumpulkan pakaian kotornya di bak cucian. Selesai mencuci baju, gadis cantik yang hanya mengenakan singlet dan hot pants itu rebahan di depan rumah. Yang ia sukai dari rumahnya, ia bisa melihat langit dan bintang-bintang tanpa terhalang apapun. Tembok rumahnya yang tinggi melindunginya dari mata-mata jail.
Tapi ya.. satu hal, nyamuk!
Suara “kletek kletak” rutin terdengar setiap kali gadis cantik itu menyabetkan raket nyamuk di udara. Tadinya dia memang sudah memakai lotion anti-serangga, tapi karena ia pakai mencuci, lotion itu mulai memudar keampuhannya.
Tak tahan oleh serangan nyamuk ganas, Lyssa pun masuk ke dalam rumah. Mengambil ponselnya di kamar, ia pergi ke ruang tivi.
“Hm? banyak sekali telfon masuk,” gumam Lyssa. Di layar telepon, tampak nomor Veve berada di deretan misscall dari atas sampai bawah. Ia pun balik menghubungi nomor Veve.
“Apa?” tanya Lyssa begitu panggilan terhubung.
Di seberang, Veve berteriak histeris, “Apanya yang apa?! Aku dengar katanya kamu habis berduaan dengan Evan?? Why? Why? Kenapa tidak bilang?? Cerita dong..”
Septi yang disambungkan oleh Veve ikut komplain, “Sudah berhari-hari dan kami baru tahu, ya ampun..”
“Oh.. Soal itu.. Maaf, kemarin aku mau cerita tapi lupa,” terang Lyssa. Gadis itu berdiri, pergi ke dapur mengambil baguette isi sosis panggang. Membawanya ke meja makan. Meja itu sepi, dari dulu hingga sekarang, Lyssa selalu duduk di kursi yang sama. Tidak pernah berubah.
“Kita ini sahabat lho.. Harusnya kamu cerita sama kita, masa iya kita dengernya dari orang lain? Atau jangan-jangan kamu gak nganggep kita sahabat?” tuduh Veve.
“Kalian satu-satunya temanku, aku tidak punya teman lain selain kalian,” jawab Lyssa santai. Ia kini mulai makan roti bertekstur keras tersebut.
Veve, “Iya, makanya, ceritain ke kita, kamu kok bisa berduaan sama Evan..”
Septi ikut bergumam mendukung Veve.
“Dia yang mencariku,” balas Lyssa selesai menelan makanannya.
Veve, “Dia? Evan? Mana mungkin. Ada urusan apa dia sama kamu?”
“Aku ketahuan merokok.”
Septi terkesiap. “Sudah kubilang berkali-kali, jangan merokok di sekolah. Atau kalau bisa tidak usah merokok lagi. Kamu bisa mandul lho,” omelnya.
“Hmhm..” jawab Lyssa seadanya.
“Lalu sekarang bagaimana? Apa Evan melaporkanmu ke komite kedisiplinan?” tanya Septi khawatir.
“Dia bilang akan melepaskanku untuk saat ini.”
“Syukurlah.. Lain kali lebih hati-hati ya..” kata Septi.
Veve, “Harusnya tidak ada lain kali lagi. Berhentilah merokok, Lyss. Oh ya, kapan-kapan kirimi aku roti lagi ya? Roti buatan toko paman kamu enak banget.”
“Oke. Besok biar kubilang Zio.” – Zio, bahasa Italia yang berarti Paman.
“Oh ya, Lyss. Aku punya ide, gimana kalau kamu jadian aja sama Evan?” kata Septi tiba-tiba.
Lyssa tersedak. “Maksudnya?”
“Bener juga tuh kata Septi,” ujar Veve setuju.
Septi, “Ya kamu jadian sama Evan. Kamu ‘kan cantik, mungkin dia bakalan suka. Aku dengar dia suka gonta-ganti pacar, setahun bisa sampai dua atau tiga kali. Dan dia pacaran sejak SMP! Bayangkan!”
Lyssa, “Hm? Apa bedanya dia sama p*****r?”
“Aaahkkk!” Veve berteriak lebay. “Apa maksudmu?? Kamu bilang pujaan hatiku sama dengan p*****r?? Andai aku cantik dan seksi, aku pasti sudah menggoda Evan!”
“Kan kalo cewek gonta-ganti pacar dibilang murahan tuh, bagaimana dengan dia?” balas Lyssa lagi. Masih santai mengunyah roti.
Veve marah-marah tak terima, “Mana ada! Asal kamu tahu aja ya, yang dipacari Evan tuh semuanya cewek berkelas! Nyebelin banget sih kamu.”
Panggilan telepon mereka yang sedari tadi di-loudspeaker oleh Lyssa memenuhi rumah yang sunyi itu dengan suara cempreng Veve. Lyssa beranjak untuk membersihkan bekas makannya.
Meski tidak bisa masak, gadis cantik itu sangat rajin bersih-bersih rumah. Rumahnya selalu dalam kondisi bersih dan wangi setiap saat.
“Aku serius, Lyss. Kamu jadian aja sama Evan. Evan tuh udah punya banyak pengalaman. Kalau kamu sama dia, dia bisa bantuin kamu ngerasain indahnya jatuh cinta lho. Dia tuh pandai banget manjain cewek, siapa tahu ‘kan dia bisa buat kamu nyaman?” Suara Septi kembali terdengar, mengalihkan pembicaran Veve yang melenceng.
Lyssa mengelap tangan, berkata di depan teleponnya, “Bagaimana jika aku sudah nyaman sama dia, lalu dia tiba-tiba pergi?”
“Kalau emang kayak gitu, malah kamu bisa belajar caranya menghadapi patah hati lho. Kamu gak mau ‘kan berakhir seperti mama mu? Paling tidak, sekarang masih ada aku sama Veve yang nanti bisa bantuin kamu keluar dari zona patah hati,” jelas Septi panjang lebar.
Veve diam menyimak.
Kata-kata panjang dari Septi Lyssa dengarkan dengan saksama. Benar juga sih, jika ia ingin merasakan indahnya jatuh cinta, bukannya sangat tepat memanfaatkan Evan? Evan tipe cowok yang gak masalah bergonta-ganti pasangan. Dan Lyssa hanya butuh seseorang yang bisa ia ajak belajar untuk mengobati trauma masa lalunya.
“Aku pikirin lagi nanti. Eh, btw, dari mana sih kalian tahu info-info tentang Evan?” tanya Lyssa mengalihkan pembicaraan.
“Tentu saja aku tahu! Aku fans beratnya!” seru Veve antusias. “Kamu bisa cari info-info terbaru tentang Evan di sosial media. Aku admin akun Evan Loverz, hahaha. Aku sama anak IPA-D yang buat.”
Lyssa, “Hahaha, iya bener, aku sampai lupa. Tapi eh, si Evan ‘kan pacaran sama Karin tuh..”
“Kita tunggu saja. Sebentar lagi juga putus. Biasanya Evan pacarannya gak lama kok,” jawab Veve percaya diri.
Meski Septi dan Veve sudah membuat agenda akan menjadikan Evan pacar Lyssa, sayangnya anak IPA dan IPS belajar di gedung yang berbeda. Sangat sulit untuk Lyssa bisa bertemu dengan Evan. Jika mereka kebetulan papasan, Evan biasanya hanya akan mengangguk padanya, beda sekali ketika dia dengan ramah menyapa anak-anak yang lain.
Lyssa ingin mendekati Evan dan berbicara serius dengannya, tapi Evan selalu saja berjalan bergerombol dengan teman-temannya. Satu-satunya waktu dia bisa puas memperhatikan Evan adalah ketika cowok itu sedang bermain bola di halaman sekolah. Bersama dengan kedua sahabatnya, Lyssa menonton permainan Evan dari pinggir lapangan. Di sampingnya, Veve sibuk memotret Evan untuk mengisi blog dan akun penggemarnya.