Ranti tersenyum kepada Wibi sesampainya di sana. Baru pertama kalinya bagi Ranti tertarik kepada lawan jenis. Semua karena persona Wibi yang berhasil menarik perhatian Ranti. Aroma Cytrus yang menenangkan ditambah lagi wajah tampan dan senyuman yang memikat, seolah mampu membuat Ranti tidak bisa melupakan Wibi. Ia selalu teringat akan pesona Wibi.
‘Entah mengapa, rasanya aku benar-benar tertarik kepada Wibi. Ingin menolak perasaan ini, tapi nggak bisa. Aku benar-benar ingin mengenalnya lebih dalam,' ujar Ranti dalam hatinya yang merasa campur aduk berbunga ketika bertemu Wibi.
“Hai, Ran!” Wibi langsung menyapa Ranti.
“Hai, Kak ... jadi Kakak sedang penelitian di laboratorium ini?” Ranti mencoba mengatur napasnya yang terasa sesak. Lantaran jantungnya berdebar kencang melihat pesona Wibi.
“Iya, Ran. Saya penelitian di sini. Kamu tadi mau ke mana?” Wibi mengulas senyuman manis dengan tatapan mata yang mampu membuat jantung Ranti memompa darah lebih cepat.
“Ta—tadi aku mau ke kantin, Kak.” Ranti merasa di laboratorium itu udaranya sangat dingin. Bahkan terdengar sangat sunyi. Pandangan Ranti mengedar menatap setiap sudut yang ada di sana. Taman-taman kecil ditata sedemikian rapi di bawah sebuah pohon rindang. Terdapat beberapa ruangan memanjang yang merupakan laboratorium penelitian mahasiswa. Di sekeliling bangunan itu, terdapat tembok pembatas seperti pagar yang tinggi menjulang. Tidak terlihat pemandangan di luar sana. Sehingga jalan satu-satunya untuk keluar dari laboratorium bawah itu adalah melalui tangga yang menghubungkan laboratorium dengan lobi belakang kampus yang ada di lantai dua.
“Kenapa, Ran?” Wibi menatap Ranti yang sedang melihat ke sekelilingnya.
“Nggak apa-apa, Kak.” Ranti merasa bulu kuduknya merinding. Sesekali Ranti mengusap tengkuk lehernya karena tiba-tiba terasa ada yang meniup tengkuk leher Ranti.
Tak lama kemudian, seorang mahasiswi keluar dari pintu laboratorium. Rambutnya tergerai lurus sampai ke punggung. Wajahnya sendu, kulitnya putih cenderung pucat. Senyumannya ramah, walau terlihat misterius. Tingginya sekitar 165 senti meter. Tubuhnya ramping proporsional.
“Hai ....” sapa mahasiswi itu kepada Ranti dan Wibi.
“Hai, Kak.” Ranti menyapa balik mahasiswi itu. Namun, Wibi seperti tidak ingin menyapa balik mahasiswi itu. Wibi memalingkan wajahnya berlawanan arah dengan mahasiswi itu.
“Aku baru melihat kamu. Siapa namamu?” tanya mahasiswi cantik itu kepada Ranti.
“Iya, Kak. Aku mahasiswi baru. Jurusan Matematika, kenalkan namaku Ranti.” Ia menyodorkan tangannya meminta untuk berjabat tangan.
“Namaku Erika.” Mahasiswi cantik itu tersenyum penuh misteri. Menyambut tangan Ranti untuk berjabat tangan.
‘Senyuman itu membuatku merinding. Tangannya sangat dingin. Astaga ... aku nggak boleh berpikir macam-macam. Mungkin memang aku yang paranoid.' Ranti terus berbicara dalam hatinya.
“Aku permisi ke kamar mandi dulu.” Erika melirik ke arah Wibi yang mengacuhkan kedatangan Erika. Namun, Erika tetap mengulas senyum kepada Ranti dan Wibi.
Ranti merasa Wibi dan Erika tidak akur. Ia merasa tidak enak melihat pemandangan itu. Ranti merasa ada sesuatu yang terjadi antara Wibi dengan Erika. Sehingga Ranti memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke kantin.
“Kak, Wibi ... aku lanjut ke kantin dulu ya! Maaf kalau aku mengganggu waktumu.” Ranti mencoba tersenyum, walau hatinya merasa patah sebelum berkembang.
“Mau saya antar?” Wibi kembali menatap Ranti.
“Oh, aku bisa sendiri, Kak. Terima kasih.” Ranti melontarkan senyum yang sedikit dipaksakan untuk menutupi hatinya yang kian retak.
“Permisi, Kak Wibi.” Ranti menunduk dan membalikkan tubuhnya, kemudian berjalan dengan cepat menaiki tangga.
Sesuatu yang tidak terduga terjadi kepada Ranti. Ketika dirinya sampai di ujung tangga. Tubuhnya terasa sangat berat. Bahkan ia merasa seperti ditarik oleh sesuatu yang kasat mata.
Ranti memekik, pandangannya seakan menggelap. Suaranya tercekat hingga tidak bisa berteriak. Terpaksa Ranti melangkah mundur menuruni satu anak tangga agar tubuhnya kembali seimbang. Namun kekuatan yang menariknya itu terasa sangat kuat.
‘Siapa pun tolong aku! Apa ini? Sesuatu menarik tubuhku! Bahkan aku merasa seperti tercekik! Kak Wibi apakah mengetahui apa yang aku rasakan?' Ucap Ranti dalam hatinya
“To—tolong!” Bisik Ranti pelan.
Pandangan Ranti semakin kabur. Kemudian ia merasa ada seseorang yang menarik tubuhnya. Dengan sekejap, Ranti tersadar dari sesuatu yang baru saja ia rasakan.
“Haph!” Ranti menghirup napas yang sempat tercekat.
“Ran! Cepat lari!”
Pandangan Ranti semakin jelas. Ia melihat Nur datang menarik tangannya. Lalu meminta Ranti untuk berlari meninggalkan pintu di ujung tangga. Ranti mengikuti derap langkah Nur yang cepat. Hingga Ranti sampai di ujung lobi belakang kampus di lantai dua.
Napas Ranti tersengal. Ia masih berusaha mengatur napasnya sembari bersandar ke tembok yang ada di sebelah jendela raksasa itu. Ranti merasa ada kejanggalan di kampus semenjak hari terakhir Ospek.
“Ran! Ngapain kamu ke sana? Udah bosan hidup?” Nur yang ceplas-ceplos dan misterius menatap Ranti dengan penuh kemarahan.
“Maaf, Nur! Aku hanya penasaran. Hari ini aku merasa ada sesuatu yang aneh semenjak di perpustakaan.” Ranti menceritakan kepada Nur, tentang apa yang sedang ia alami.
“Ayo! Kita ke kantin! Kamu butuh minum!” Nur menarik tangan Ranti dengan begitu cepat.
Nur adalah seorang gadis yang sangat misterius. Mood-nya bisa berubah secara tiba-tiba. Terkadang dia mematung bagai raga tanpa jiwa. Terkadang bersikap sangat hangat dan sering juga menjadi lebih emosional. Kali ini, Nur marah-marah kepada Ranti. Lantaran ia melihat Ranti sedang mengalami peristiwa aneh di ujung tangga itu.
Mereka terus berjalan menuju kantin kampus yang berada di belakang kampus kedokteran. Ranti dan Nur duduk di salah satu sudut kantin. Nur memesan satu gelas teh manis hangat untuk Ranti dan dia membeli es teh karena merasa haus.
Nur menatap Ranti dengan tajam. Sedangkan Ranti menatap Nur dengan penuh tanda tanya.
“Ran! Kamu tahu ini jam berapa?” Nur menatap Ranti dengan serius.
Ranti langsung memeriksa jam tangan yang melekat di lengannya.
“Jam dua belas siang? Hah? Astaga?” Ranti terbelalak dengan begitu terkejutnya. Ranti merasa waktu begitu cepat berlalu.
“Jam segini, Ran banyak makhluk astral berkeliaran juga! Bukan hanya pergantian sore ke petang, bukan hanya malam, tapi waktu tengah hari, siang bolong begini juga ada! Pasti kamu melamun, kan? Sudah sering kita ingatkan, Ran! Jangan melamun! Kita ini mahasiswa baru di kampus! Belum tahu seluk-beluk kampus kita seperti apa? Kita ingin semua baik-baik saja, kan? Ingin belajar dengan tenang? Please! Mulai detik ini kamu jangan melamun lagi!” ucap Nur tiada jeda.
“Aku akui, Nur! Sejak di perpustakaan, aku melamun, melihat suatu peristiwa yang aneh, ya ... mungkin semua salahku! Makasih, Nur! Tadi kamu sudah menolongku! Kalau nggak, mungkin aku bakal jatuh di tangga itu.” Ranti menghela napas, kemudian menyeruput teh manis hangat yang sudah dipesan oleh Nur.
“Itu mungkin karena kamu lelah, lapar, kurang minum ... makanya aku langsung ajak kamu ke kantin.” Nur menjawab dengan kalimat yang menenangkan hati Ranti. Walau Ranti menyadari kalau tadi dirinya mengalami peristiwa yang aneh di luar nalar. Bahkan Ranti pun sulit untuk mengingat apa yang sudah terjadi.
“Aku akan berusaha lebih fokus, Nur. Makasih udah mau mengingatkan aku.” Ranti tersenyum menatap Nur yang saat ini terlihat sangat friendly. Tidak menyeramkan lagi seperti tempo hari.
“Oh iya, teman-teman yang lain mana? Aku tadi sudah kirim chat ke Yuda, tapi sepertinya belum dibaca.” Ranti kembali meneguk teh manis hangat itu.
“Sebenarnya, mereka belum keluar dari kelas. Tapi aku izin ke kamar mandi, terus ... aku nggak sengaja lihat kamu di sana.” Nur menceritakan dengan singkat.
Tak lama kemudian, Farah, Alex, dan Yuda datang menghampiri mereka di kantin.
“Hei! Ran! Kamu kok ngilang? Nggak masuk kelas?” Farah merasa ada sesuatu yang terjadi dengan Ranti.
Farah adalah gadis metropolitan, kekinian, tetapi sangat ramah dan memiliki hati yang tulus. Tubuhnya mungil, imut, rambutnya pendek, hitam, bermata agak sipit, dan ceria. Alex cowok sporty, tingginya 180 senti meter, anak basket, rambut spike, dan cool. Yuda cowok berpenampilan rapi, rambut belah dua, kulit putih, pendiam, sangat menjaga Ranti.
Mereka berlima masih duduk di kantin, karena setelah ini tidak ada lagi jadwal kuliah untuk hari ini. Sehingga mereka berbincang di kantin. Perbincangan mereka dikejutkan dengan seorang mahasiswi yang menyapa Ranti.
“Hai, Ranti,” sapa mahasiswi yang berpapasan dengan Ranti di kantin.
“Kak, Dewi?” Ranti membalas senyuman mahasiswi kedokteran itu.
“Ingat! Jangan melamun lagi!” Dewi tersenyum kepada Ranti.
“Ah, iya, Kak! Makasih sudah mengingatkan dan menolong aku.” Ranti tersenyum balik.
“Ya udah, yuk duluan! Tuh aku udah ditunggu sama Rangga dan Zaki.” Dewi melambaikan tangannya, kemudian melangkah pergi.
“Ran? Apa yang terjadi?” Yuda menatap Ranti dengan khawatir.
Semua pandangan tertuju pada Ranti. Terutama Yuda yang diberi mandat untuk menjaga Ranti. Saat itu Ranti hanya bisa tertunduk dan sesekali berusaha menatap semua tatapan teman-temannya dengan ragu.
“Se—sebenarnya aku ... baru saja mengalami hal aneh.” Ranti menghela napasnya.
“Tuh, kan! Udahlah, Ran! Kalau kamu mau ke mana-mana, biar aku temani! Kamu bilang sama aku, Ran!” Yuda menatap Ranti dengan tegas.
“Ehem ....” suara Farah dan Alex yang berdehem membuat Yuda teringat akan satu hal. Ranti dan dia hanya berteman. Namun Yuda begitu posesif terhadap Ranti.
“I—iya tadi aku hanya pergi ke Perpustakaan. Terus aku melihat suasana yang berbeda. Aku ketakutan, aku lari dan menabrak seseorang. Kita berkenalan, terus ... aku mendengar seseorang berteriak, aku mencoba melihat tapi ternyata aku terbangun dari pingsan. Lalu yang menolongku Kak Dewi yang tadi menyapa. Ya begitulah, aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi. Maaf sudah membuat kalian khawatir.” Ranti menjelaskan dengan singkat.
“Astaga! Ran! Lain kali kalau mau ke perpustakaan biar aku temani!” Yuda teramat peduli pada keselamatan Ranti.
“Ehem ... tuh, Ran ada bodyguard yang siap menemani kamu ke mana saja!” Farah tersenyum meledek mereka.
“Tadi juga aku melihat Ranti hampir jatuh di tangga.” Nur melirik ke arah Ranti.
“Tangga yang mana, Nur?” Yuda kembali penasaran.
“Itu loh, Yud! Tangga di lobi belakang kampus, pas di pintu yang sebelahan sama jendela gede itu. Aku sih biasanya lihat pintu itu ditutup. Tapi tadi pintunya terbuka dan Ranti hampir jatuh ke sana.” Nur mengatakan yang sebenarnya.
“Tuh, kan! Ranti! Jangan diulangi lagi sesuatu yang bisa membahayakan kamu!” Yida kembali bereaksi.
“Ehem ....” kali ini Alex yang berdehem.
“Maaf.” Yuda melirik ke arah Alex.
“Nih aku ada cerita ... aku kan satu kos sama salah satu mahasiswi kedokteran. Katanya kalau kita lagi di kampus, apa lagi di lobi belakang kampus, dilarang banget buat melamun! Ini tantangan buat kamu, Ran! Katanya sih udah beberapa kali ada yang digangguin gitu!”
“Sssttt! Nggak usah cerita di sini!” Nur mengingatkan Farah yang sedang bercerita.
Tiba-tiba Nur terlihat aneh. Ia menundukkan kepalanya dan rambutnya menutupi seluruh wajahnya. Farah langsung bungkam dan merasa ketakutan. Mereka berempat saling menatap.
“Memangnya kenapa, Nur?” Ranti memberanikan diri untuk bertanya.
“Dia ada di sini!” kalimat Nur membuat mereka mematung. Saling menatap dan takut untuk melihat sekelilingnya. Suasana berubah mencekam saat Nur bersikap aneh seperti saat ini.
***
Apa maksud dari Nur yang mengatakan hal itu? Nur mengatakan kepada semua teman-temannya bahwa "Dia ada di sini", sehingga semua ekspresi wajah teman-temannya, berubah mencekam seketika. Rasa-rasanya mereka ingin segera berlari dan pergi dari sana.