2. Lobi Belakang Kampus

1684 Words
Amaranti Andaru Adiwangsa yang kerap disapa Ranti ialah gadis berusia 18 tahun yang baru saja diterima seleksi penerimaan mahasiswa baru, di salah satu perguruan tinggi ternama di Negeri ini. Ranti berasal dari sebuah desa terpencil yang jauh dari pusat kota. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan Kamandaka dan Ratih. Mereka berasal dari keturunan Adiwangsa. Seorang tokoh masyarakat yang sangat dihormati di desanya. Cita-cita Ranti yang ingin menjadi seorang peneliti, membawanya berjuang hingga diterima menjadi mahasiswa fakultas MIPA sebuah Universitas ternama. Menjalani kegiatan Ospek adalah masa-masa tak terlupakan. Ada banyak acara dan keunikan yang dirasakan setiap peserta ospek. Seperti hari ini yang merupakan hari terakhir kegiatan masa Ospek yang diikuti oleh seluruh mahasiswa baru. Dalam kegiatan Ospek itu, Ranti dipertemukan dengan empat mahasiswa lain dalam satu kelompok. Mereka adalah Farah, Nur, Alex, dan Yuda. Farah dan Alex berasal dari kota. Nur berasal dari provinsi yang berbeda. Sedangkan Yuda berasal dari desa yang sama dengan Ranti. Hanya saja mereka berbeda almamater SMA. *** Kegiatan terakhir sebelum upacara penutupan adalah kegiatan yang sangat ditunggu oleh seluruh mahasiswa baru. Mereka diajak berkeliling kampus untuk melihat ruangan apa saja yang ada di kampusnya. Tujuannya agar seluruh mahasiswa baru tidak salah masuk ruangan yang mereka tuju dan memahami kegunaannya. Semua peserta dibariskan di dalam aula sebelum salah satu Dosen pembimbing memandu mereka bersama kakak tingkat yang menjadi senior pembimbing ospek. “Perhatian untuk semua peserta, acara terakhir sebelum upacara penutupan adalah mengenal ruangan yang ada di kampus ini ... sehingga kalian diharapkan tidak melamun! Apa kalian mengerti?” Tanya salah satu senior yang siap mengawal mereka. “Siap! Mengerti!” jawaban seluruh peserta ospek. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Mereka mulai berjalan mengelilingi kampus. Mulai dari ruangan lobi utama yang ada di depan kampus, ruangan di lantai satu bagian depan, ruangan laboratorium, tata usaha, ruang jurusan, ruang dosen, dan lainnya. Hingga mereka sampai di lobi belakang kampus. Letaknya di lantai dua, yang menjadi penghubung antara gedung Fakultas MIPA dengan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Di sana terdapat beberapa ruang kuliah, ruang seminar, juga laboratorium. Ketika Dosen pembimbing menjelaskan, Ranti tidak fokus mendengarkan. Tatapannya mengedar melihat sekeliling suasana lobi belakang kampus itu. Angin yang berdesir kencang menyibak rambut Ranti dan mengalihkan pandangannya pada sebuah ruangan di lantai satu, yang terlihat dari jendela kaca besar yang ada di lobi belakang kampus. Tatapan Ranti masih terfokus pada sebuah jendela kaca besar yang ada di sana. Pemandangan berbeda terlihat dari jendela kaca itu. Di bawah sana tampak beberapa ruangan berjajar seperti sebuah laboratorium. Terdapat sebuah taman kecil dengan bangku-bangku yang tertata rapi di depan laboratorium itu. Seketika pandangan Ranti tertuju pada pintu di sebelah jendela kaca yang kini ada di hadapannya. Pintu yang langsung terhubung dengan tangga menuju laboratorium yang ada di lantai satu bagian belakang kampus. Ranti kembali menatap pintu laboratorium yang ada di bawah sana. Seorang mahasiswa laki-laki keluar dari sana. Tatapan Ranti dengan Mahasiswa itu seolah saling terpaut. Lelaki tampan dengan tinggi sekitar 186 sentimeter, kulitnya berwarna terang untuk ukuran warna kulit seorang pria. Rambutnya lurus terbelah dua, mengenakan jaket jeans berwarna biru, dengan senyuman yang sangat menawan. Mana mungkin Ranti tidak terpesona dibuatnya. Lantaran mahasiswa itu pun melontarkan senyumannya untuk Ranti. Kini mereka saling memberikan senyuman. Ranti pun tersipu. Entah siapa namanya, yang jelas Ranti merasakan debaran dalam hatinya untuk pertama kalinya kepada lawan jenis. “Ran!” “Eh, iya!” Suara Farah mengagetkan Ranti yang terlihat seperti melamun. “Jangan melamun, Ranti! Denger gak? Apa yang tadi Bu Dewi bilang?” Farah menegur Ranti. “Enggak, Far?” Ranti merasa sangat gugup. “Jangan melamun, Ran! kalau di lobi belakang, jangan melamun, ya!” Nur memberitahu Ranti. “Ran, Ibumu bilang kalau kamu memang sering melamun ... tapi, kebiasaanmu itu, jangan dibawa ke sini, ya! Bisa gawat nanti!” Yuda pun memperingatkan Ranti. “Iya, maaf ....” Ranti hanya menunduk dan kembali melanjutkan aktivitas ospek bersama mahasiswa lainnya. Ranti segera menoleh ke arah laboratorium itu, sayang sekali Ranti kehilangan jejak mahasiswa tampan yang baru saja membuat Ranti terpaku seketika menatapnya. Kegiatan ospek berjalan dengan sebagaimana mestinya. Namun pada saat upacara penutupan ospek yang berlangsung menjelang magrib. Seketika berubah mencekam setelah beberapa mahasiswi pingsan dan kesurupan. “Aaarrrgghhh!!!” teriakan salah satu suara mahasiswi yang kesurupan, membuat Ranti dan teman satu kelompoknya saling berpegangan tangan. Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri, tiga dari mahasiswi yang pingsan, mengalami kesurupan. Mereka berteriak, mencakar, bahkan tertawa melengking. Jeritan mereka membuat sebagian peserta ospek perempuan merasa ketakutan. Ranti melihat beberapa mahasiswa tingkat atas yang sedang melakukan penelitian berhamburan melihat apa yang terjadi di lapangan tengah kampus. Begitu pula Ranti kembali melihat mahasiswa ganteng berjaket jeans biru, sedang melihat peristiwa mengerikan itu bersama beberapa temannya, karena mereka terlihat datang secara bersamaan. “Ran! Wes balik! Bubar! Ojo didelokne!” ( Udah, Ran! Pulang! Jangan dilihatin!), Nur mengajak Ranti pulang bersama teman yang lainnya. “Ran!” suara Yuda membuat Ranti terkejut. “Kebiasaan melamun! Jangan dibiasakan melamun!” Yuda kembali mengingatkannya. “Iya, Yud ... makasih udah ngingetin aku.” Ranti menunduk. “Emang si Ranti hobi melamun ya?” Farah bergumam dalam hatinya. Ia melihat ada sesuatu yang aneh dengan Nur, Yuda, dan Ranti. Peserta lain dibubarkan oleh panitia karena waktu sudah petang. Namun mereka yang kesurupan tetap di bawa ke ruang perawatan hingga mereka sadar. *** Ranti dan keempat temannya berjalan bersama menuju kos masing-masing. Alex dan Farah berpisah di persimpangan pertama, mereka pulang bersama karena jarak rumah kos mereka berdekatan. Kemudian Ranti, Nur, dan Yuda masih jalan bersama. Di sepanjang perjalanan, Yuda dan Ranti merasakan bulu kuduk mereka meremang. Terlebih lagi melihat Nur yang diam dengan tatapan dinginnya. Gadis manis dengan tinggi sekitar 160 sentimeter, berambut lurus sebahu, kulit kuning langsat, dengan wajah sendu, membuat Nur tampak bagai raga tanpa jiwa. Yuda dan Ranti saling menatap. Yuda seakan memberi kode pada Ranti untuk memulai percakapan agar suasana menjadi lebih hangat. “Nur ... kos kamu di mana? Apa masih jauh?” Ranti memulai percakapan untuk menghangatkan suasana. “Kos aku sama kos kalian, lebih jauh kos aku ... soalnya aku cari kos yang murah ....” Nur tersenyum menyeringai di balik wajah dinginnya. “Oh ....” Ranti mulai merinding mendengar jawaban Nur. Sebentar lagi Yuda pun akan berpisah dengan mereka di persimpangan. Namun Yuda khawatir dengan keselamatan Ranti. Bagaimana pun juga, kedua orang tua Ranti memberi amanah pada Yuda untuk menjaga Ranti selama di perantauan. Yuda sangat senang dengan amanah itu. Amanah dari salah satu tokoh masyarakat yang dihormati juga disegani. Selain itu, Yuda memang memendam perasaan suka pada Ranti. Yuda tidak tega membiarkan Ranti sendirian ke kos, dirinya pun merasa sedikit aneh dengan sikap Nur yang seperti itu. Sehingga Yuda memutuskan untuk mengantar Ranti terlebih dahulu. Mereka sudah sampai di persimpangan menuju kos Yuda. “Yud?” Ranti merasa ada yang aneh dengan sikap Yuda. “Aku mengantar kamu dulu saja, Ran ... baru setelah itu aku kembali ke kos.” Yuda tersenyum pada Ranti. “ Udah gede kok diantar? Biar Ranti sama aku aja, Yud!” ujar Nur dengan nada datarnya. “Tap—tapi ... kan ... itu ... anu ....” “Anu apa?” Nur menyeringai menatap Yuda. "Ha ha ha ... aneh banget kamu, Yud!" Nur justru tertawa cekikikan. “Yud, biar aku pulang bareng Nur saja! Kamu jalan saja ke kos kamu!” Ranti tersenyum walau dirinya pun takut jalan berdua dengan Nur yang bersikap dingin itu. Ranti memberanikan dirinya, walau keadaan saat itu sudah sangat petang. “Oh ... ya sudah kalau begitu ... aku pulang duluan, ya!” Yuda berpamitan pada mereka. “Iya, Yud!” Ranti tersenyum melepas Yuda yang terlihat sudah melangkah memasuki gang. Kini Ranti hanya bersama Nur. “Ya Allah ... kok jalan bareng Nur, merinding terus ... agak seram sih, tapi aku harus mencoba bersikap biasa saja.” Ranti berbicara dalam hatinya ketika dirinya jalan bersama Nur. “Kenapa, Ran? takut?” tanya Nur pada Ranti. Seakan Nur mengetahui apa isi hati Ranti saat itu. “Oh ... nggak apa-apa, Nur.” Ranti tersenyum pada Nur yang kini tengah berjalan bersamanya. Ranti melihat wajah Nur kembali dingin tanpa ekspresi. Kepalanya sering menunduk saat berjalan. Ranti semakin merinding karena gerimis mulai datang lebih lebat. Mereka terus berjalan karena sudah kepalang basah terkena gerimis yang turun secara perlahan. “Oh, ya ... Nur, kamu kos di mana?” Ranti berusaha memecah kesunyian karena ia sendiri merasa takut karena jalan pulang berdua bersama Nur. “Tadi kamu sudah menanyakan hal itu sama aku, loh! Nggak jauh dari kos kamu, Ran ... kenapa? kamu takut?” Nur tersenyum seakan bisa membaca pikiran Ranti. “Berarti ... nanti kamu pulang sendirian? Apa nggak takut, Nur?” Ranti merasakan ada yang aneh dalam diri Nur. Ranti merasa pikirannya kosong, sehingga bingung dengan pertanyaannya sendiri yang ia tanyakan kepada Nur. “Justru aku nyaman dalam gelap, Ran.” Nur menatap Ranti sembari tersenyum misterius. “Astaga ....Senyuman Nur horor banget!” Ranti berbicara dalam hatinya. “Horor apanya, Ran?” Nur kembali bisa menebak isi hati Ranti. Sontak hal itu membuat Ranti terkejut. “Apa? Dia tahu?” Ranti kembali berbicara dalam hatinya. Dirinya semakin takut jalan bersama Nur. Langkah Ranti semakin berat, tetapi ia tetap berusaha mempercepat jalannya. Gerimis semakin lebat, membuat pandangan Ranti semakin buram. “Nur?” Ranti menyapa Nur yang tiba-tiba terdiam. Ranti merasa sangat takut melihat Nur yang terdiam sejak tadi. “Cepet mlakune, Ran! Cepet!” Perintah Nur pada Ranti untuk mempercepat langkahnya. (“ Cepat jalannya, Ran! Cepat!”), “Nur ... kaki aku berat banget, kenapa kita nggak sampai-sampai?” Ranti semakin ketakutan. Di antara rintik gerimis dan lampu jalan yang remang-remang membuat Ranti ingin berlari. Kemudian ia teringat ucapan sang ayah. Jika mulai tidak bisa mengendalikan perasaan takutnya, maka Ranti harus mengingat Allah. Membaca istigfar dan terus bersikap tenang. Ranti memraktikkannya, sekarang ia sudah mulai tenang, ternyata dia sudah berada di seberang rumah kosnya. Sedangkan Nur berpamitan melanjutkan perjalanannya. “Nur, aku udah sampai ... kamu hati-hati di jalan!” Ranti merasa lebih tenang saat ini, karena suasana kos Ranti ramai banyak mahasiswa satu kos yang juga baru pulang ospek.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD