Bab 1 Dijual

1434 Words
#BIAN Bian pulang dengan peluh yang bercucuran di dahinya. Saat pintu terbuka sudah disambut seringaian dari sang ayah. “Akhirnya kau pulang juga Bian. Mana duit?” ujar Tyo sambil menjulurkan tangan. Bian yang kehausan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan perkataan ayahnya. “Bian! Kau tuli apa?!” Tyo menyusul sang putri yang tidak memedulikannya. Ditariknya lengan kurus itu hingga Bian hampir terpelanting “Aku belum gajian, Pak. Kalau pun aku punya uang juga itu buat kita makan, bukan untuk modal judimu,” jawab Bian tanpa peduli dengan etika. “Hei, anak tak tau diuntung! Harusnya kau berterima kasih karena sudah aku besarkan. Sini berikan aku duit!” teriak Tyo sambil menarik tas selempang dari pundak Bian. Bian coba mepertahankan, hingga talinya putus dan isinya berhamburan. Tyo segera menyambar dompet Bian yang tercecer. Bian melihat itu dengan mata nanar dan napas yng memburu karena kesal. Tyo segera membuka dompet itu dan mengambil lima lembar berwarna biru. Bian mendekat ingin mengambil kembali uangnya, tetapi Tyo merentangkan tangannya jauh-jauh. “Kembalikan, Pak. Hanya itu sisa uangku.” Bian menarik lengan ayahnya. “Uhuk! Uhuk!” Terdengar suara batuk dari kamar Marni—ibunya Bian. “Aku juga belum beli obat buat Ibu.” Bian mencoba membujuk sang ayah. “Halah … kalau kau kasian sama ibumu, sana cari lagi duit yang banyak!” sergah Tyo. Sia-sia rasanya bagaimanapun Bian membujuk. Tok! tok! Tok! Terdengar suara pintu yang diketuk dari luar. Makin lama semakin keras ketukannya. “Sana buka!” ujar Tyo. Bian beranjak setelah sebelumnya menghapus air mata yang tak ia sadari menetes di pipi. Saat dibuka, tampak di luar dua orang berbadan tegap menatap Bian dengan tatapan nyalang. Wajah keduanya mendongak angkuh. “Mana Tyo?” ujar salah seorang dengan rambut panjang dan tato ular di lengannya. “Bapak … emh … Bapak—“ “Aku tau dia di dalam. Cepat panggilkan atau rumah ini kami obrak-abrik!” bentak satu orang lagi yang berambut cepak. Saat Bian hendak membalikkan tubuhnya, tampak sang ayah tengah berjalan dengan gontai. Wajahnya yang sangar kini bagai kapas tertimpa hujan. “Nah itu dia.” “Hei, Tyo! Aku mau menagih hutangmu. Kapan kamu mau bayar?! Bos kami sudah bosan dengar janjimu terus,” ujar si Rambut Panjang. “Kalau kau tidak mau bayar, tinggal kau pilih, mau ke penjara atau kami lempar ke neraka?!” Kali ini si Rambut cepak yang angkat suara. Mendengar itu nyali Tyo tampak makin menciut. “I-iya. A-aku minta waktu lagi se-seminggu.” Suara Tyo terdengar parau. Lelaki berambut panjang itu merangsek masuk dan menarik kerah baju Tyo hingga lelaki tua itu mendongak. Pandangn nyalang dari lelaki berambut panjang begitu jelas terlihat. “Seminggu, sebulan, setahun. Persetan dengan kau! Aku akan kembali tiga hari lagi dan uang itu harus sudah ada beserta bunganya, kalau tidak … kau akan tau akibatnya!” Lelaki berwajah garang itu mendorong tubuh ringkih Tyo hingga terjerembab ke lantai. Tanpa belas kasih salah satu dari mereka meludah ke arah lelaki tua. Sepeninggal kedua orang itu, Tyo segera bangkit. Dia hampiri Bian yang masih diam karena ketakutan. “Hei, Bian. Besok kau carikan aku uang lima puluh juta. Aku tidak mau tau kau dapat dari mana. Pinjam pada temanmu, atau kau jual tubuhmu sekalian!” ujar Tyo dengan tatapan nyalang dan bibir menyeringai. Mata Bian terbelalak tak percaya. “Apa Bapak bilang? Lima puluh juta? Aku bukan sapi perahmu, Pak. Hentikanlah kebisaaan berjudimu!” teriak Bian dengan isak tangis. Amarah Tyo seolah tersulut kembali. Dia cengkram wajah Bian dengan jarinya. “Dengar kau anak sial! Aku membesarkanmu tidak gratis, maka dari itu kau harus membalas budi baikku,” ujar Tyo setengah berbisik. Dia hempaskan tubuh mungil sang putri yang semakin terisak. “Lebih baik kau mati saja dan pergi ke neraka!” umpat Bian bercucuran air mata. Mendengar itu, Tyo kembali menghampiri Bian, sebuah tamparan keras hingga suaranya terdengar hingga ke kamar Marni. Wanita yang terlihat lebih tua dari umurnya itu bangkit dan berjalan terseok. “Pak … sudah, Pak. Jangan sakiti terus putriku. Uhuk … uhuk!” ujar Marni diselingi batuk. Badannya tampak kurus kering karena TB yang sudah mulai akut. “Aarrggh … anakmu ini tidak tau terima kasih. Aku susah payah membesarkannya, tapi apa balasannya? Dasar anak durhaka!” umpat Tyo dan mengempasan tubuh Bian. Marni meraih tubuh Bian yang terjatuh. Akan tetapi, tubuhnya yang lemah malah ikut terjatuh ke lantai. “Ibu …,” jerit Bian berusaha menopang tubuh kurus wanita itu. “Aah … dasar kalian perempuan tidak berguna!” umpat Tyo kemudian berlalu ke ruang TV. Tyo duduk di sebelah Anis—putri kesayangannya. Dia mengeluarkan uang yang dirampasnya dari Bian. Melihat lembaran biru, Anis yang sedang fokkus ke layar kaca langsung menoleh ke tangan Tyo. “Wah … Bapak banyak duit, nih. Minta dong, Pak.” Anis menjulurkan tangannya. Tyo menjauhkan uang itu sesaat. Namun, kemudian dia ambil satu lembar dan memberiknnya pada Anis. “Ini. Diem jangan bilang-bilang sama kakak dan ibumu!” bisik Tyo. Bibir hitamnya terlihat menyeringai. Anis menjentikkan dua jarinya. “Siipp ….” *** Dua hari berlalu, dengan hati berdebar Tyo menunggu putrinya pulang. Sudah hamper Mgrib, tetapi Bian belum juga menampakkan hidungnya. Tyo jalan mondar-mandir di depan rumahnya. Tak lama, terlihat Bian turun dari angkutan umum. Tyo menyambutnya dengan mata berbinar. “Hei, mana, sudah kau dapatkan duitnya?” tanya Tyo tidak sabar. Bian melirik sekilas, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan sang ayah. “Hei, anak sial! Kau tidak dengar?!” Tyo segera menjejeri langkah sang putri dan menarik lengannya. Bian membalikan badannya. Roman lelah jelas tergambar di wajahnya yang ayu. “Uang sebanyak itu, mau aku dapatkan dari mana, Pak? Sudahlah, Pak. Itu kan utang Bapak. Tinggal pilih saja, mau masuk penjara atau kau pergi saja ke neraka!” jawab Bian seolah lupa dengan etika. Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi putih itu. Menyisakan tnd merah dan isak tangis. Bian memegang pipinya yang terasa perih. Terlebih lagi hatinya. “Bunuh saja aku, Pak. Biar kau puas!” teriak Bian. Tyo meraih wajah mungil itu. Dengan seringainya yang khas, dia berkata, “Tidak akan! Sebelum kau kembalikan setiap rupiah yang aku keluarkan untuk menghidupimu!” Tyo mengempaskan tubuh mungil itu lalu pergi meninggalkan rumah. *** Sebuah rumah mewah yang pernah beberapa kali dia singgahi. Tyo menekan bel yang menempel di pilar pintu gerbang. Tak berapa lama seorang sekuriti muncul membukakan pintu. “Mau ke siapa, Pak?” tanyanya tegas. “Saya mau ketemu Tuan Danish.” “Ada perlu apa?” tanyanya lagi. “Bilang saja, Tyo datang membawa kabar gembira soal Bianca,” jawab Tyo penuh percaya diri. Setelah menghubungi bos-nya via telepon, akhirnya Tyo diizinkan masuk. Dia diantar menuju sebuah ruangan besar. Pintu jati coklat tua menyambut kedatangannya. Sekuriti itu mengetuk dua kali. “Masuk!” Terdengar sebuah suara dari dalam. Saat dibuka, sesosok tubuh jangkung sedang berdiri membelakangi pintu. Buku di tangannya dia tutup saat mendengar langkah kedua orang itu. Lelaki itu membalikan badannya. Wajah dengan rahang yang tegas itu menyunggingkan seulas senyum sinis. Matanya menyipit. Dia jentikkan jarinya sebagai tanda mengusir pada penjaga rumahnya. Lelaki berseragam biru tua itu mundur perlahan lalu menutup pintu. Danish masih berdiri dan bersandar ke meja di belakangnya. “Duduk!” pintanya pada Tyo. Lelaki tua itu pun menurut. “Berita apa yang kau bawa hingga berani menampakkan lagi batang hidungmu di hadapanku?” ujar lelaki itu sinis. “Bianca. Aku mau menawarkan Bianca padamu.” Tyo menghentikan ucapannya lalu menatap lelaki gondrong di depannya. Dia berusaha menilik, apakah orang itu masih tertarik dengan putrinya atau tidak. Sekilas Tyo bisa menilai binar mata lelaki di depannya itu. “Bukankah dulu kau pernah bilang menginginkan Bianca?” telisik Tyo. Mata lelaki muda itu menyipit. “Apa yang kau inginkan hingga kau mau memberikan Bianca padaku? Sorry, maksudku berapa banyak uang yang kau inginkan?” “Lima ratus juta,” jawab Tyo berapi-api. “Heh, rupanya kau tidak berubah. Kau masih saja serakah, Tyo. Aku tau kau pasti terlilit utang lagi,” gumam lelaki itu sambil menatap pada pria tua di depannya. “Aku pikir itu harga yang pantas untuk seorang Bianca. Bagimu uang sejumlah itu tidak ada artinya,” jawab Tyo terkekeh. Danish manggut-manggut sambil meminkan pematik api di tangannya. “Ok. Aku terima tawaranmu. Bawa dia padaku dan aku akan segera memberikan uangmu.” Mendengar itu Tyo langsung bangkit. Dia hendak meraih tangan Danish dengan maksud berterima kasih. Namun, lelaki itu menepisnya. “Tidak perlu kau berbasa-basi mengucapkan terima kasih,” ucapnya lalu melangkah menuju pintu dan membukanya untuk sang tamu. “Besok pagi aku akan membawanya ke sini,” ujar Tyo sebelum meninggalkan ruangan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD