Pagi hari saat Bian hendak berangkat kerja, di depan rumahnya susah terparkir sebuah mobil. Tyo dengan seringai khasnya menunggu di halaman. Lelaki itu menjegal langkah Bian yang hendak melewatinya. Tangan keriputnya menarik tangan gadis itu.
"Lepaskan!" bentak Bian. Laki-laki itu kembali menyeringai menunjukkan giginya yang kuning karena kopi dan rokok.
"Kau tidak akan ke mana-mana, gadis bodoh. Kau akan ikut denganku sekarang," ucapnya lalu menarik Bian masuk ke dalam mobil. Setelah itu Tyo memerintahkan sang sopir segera menjalankan mobil. Sekuat tenaga Bian melawan, tetapi akhirnya kalah dengan sebuah sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Tubuh mungil itu pun terkulai lemas.
Satu jam kemudian, Tyo sudah sampai di kediaman Danish. Sekuriti sepertinya sudah mengenali siapa yang datang. Dia langsung membuka gerbang tanpa diminta.
Tyo dibantu sang sopir langsung membopong tubuh Bian ke dalam rumah itu. Diantar sekuriti itu, mereka akhirnya mengempaskan tubuh Bian di hadapan sang Tuan.
Senyum terkembang di bibir Tyo saat Danish memberinya sebuah cek dengan angka yang membuat matanya terbelalak.
"Terima kasih Tuan Danish. Sekarang dia menjadi milikmu." Tyo mundur dan meninggalkan putrinya untuk menjadi mangsa sang Tuan.
Sepeninggal Tyo juga anak buahnya, Danish bersandar ke tembok sambil memandangi wajah polos gadis itu. Sebuah gelas berkaki panjang dengan wine dalam genggamannya sesekali dia goyangkan.
Setengah jam berselang akhirnya Bian mulai sadar. Dia melihat sekeliling. Asing. Keningnya mengerut. Kepalanya masih terasa berat.
Sebuah deheman membuat Bian menoleh.
"Kau sudah sadar?" sapanya lalu mendekat ke arah ranjang
Bian berusaha bangkit. Namun, kepalanya terasa sakit. Bian kembali berbaring.
"Si-siapa kamu?" Bian balik bertanya. Bukan sebuah jawaban yang Bian dapat, tapi lengan lelaki itu meraih lehernya. Sebuah ciuman panas mendarat di bibirnya. Bian terdiam sejenak karena kaget.
"Hei, kau mencuri ciuman pertamaku!" jerit Bian seraya mendorong tubuh lelaki itu. Lelaki itu tersenyum sinis.
"Jangankan sebuah ciuman, bahkan tubuhmu sekali pun aku berhak menikmatinya sekarang. Ayahmu sudah menjualmu padaku," ucap lelaki itu kembali mendekat.
"Berhenti! Atau aku akan menjerit," sergah Bian yang membuat Danish tersenyum kecut.
"Bian ... Bian. Kau pikir kau ada di mana? Ini rumahku. Tidak ada satu pun yang berani melawanku." Danish semakin mendekat. Bian dengan sigap menendang s**********n lelaki itu saat mencoba mengungkungnya.
"Aowww!" Danish tanpa sadar berteriak karena terkena tendangan Bian. Lelaki itu bangkit sambil memegangi senjatanya yang terkena tendangan.
Tok! Tok! Tok!
"Kak Danish ... Kak ... kamu baik- baik saja?" Terdengar suara seorang laki-laki dari luar.
"Pergi! Jangan ganggu!" teriak Danish sambil meringis merasakan sakit yang teramat ngilu.
"Tapi kamu menjerit barusan. Tolong buka pintunya!" Suara itu terdengar kembali. Danish melirik ke arah Bian. Tatapannya terlihat marah.
Danish kemudian membuka pintu. Terlihat di sana seorang lelaki tampan yang lebih muda sedang terbengong melihat ada seorang gadis di atas ranjang.
"Kalian sedang ...? Sorry aku ganggu ya, Kak. Soalnya biasanya kalau kamu bawa cewek ke rumah, aku cuman bisa denger desahan kalian. Nah barusan aku denger jerit kesakitan."
Lelaki muda itu masuk ke kamar sambil menatap Bian. Danish memperhatikan dari tempatnya berdiri.
"Atau permainanmu begitu hebat hingga Kak Danish menjerit?" tanya Rey pada gadis itu. Bian tergagap. Dia malah merasa jijik setelah mendengar ucapan adiknya Danish.
"Apaan sih? Kakak kamu itu barusan mau perkosa orang," jawab Bian dengan mata mendelik.
"Apa? Dia mau perkosa? Oh my Gosh! Gak mungkin. Yang ada cewek-cewek pada antri mau kencan sama Kak Danish." Rey kemudian menatap sang kakak yang menyugar rambut gondrongnya. Lelaki itu melengos mendapati tatapan adiknya.
Bian bangkit dari ranjang dan melangkah menuju ke luar.
"Hei, kau jangan coba-coba melarikan diri!" teriak Danish. Rey menatapnya dengan mimik wajah yang aneh. Sementara Bian tetap melangkah tak menghiraukan.
"Aku tidak mau berada satu ruangan dengan laki-laki m***m seperti kalian," ujar Bian.
Keluar dari kamar, Bian melangkah menuju ke bagian belakang rumah. Di sana ada beberapa pelayan berseragam sedang membersihkan rumah. Semakin ke belakang, Bian mencium aroma masakan yang begitu menggugah selera. Dia menghampiri dua orang koki yang tengah sibuk memasak.
"Hai, kalian sedang masak apa?" tanya Bian sambil tersenyum manis. Kedua koki itu melirik sekilas.
"Anda siapa, Nona? Jika ingin makan, silakan tunggu di ruang makan."
"Aku duduk di sini, saja," jawab Bian kemudian.
"Hei, kamu! Ternyata ke sini." Rey ternyata mencari keberadaan Bianca. Dia menarik satu kursi lalu duduk beseberangan.
"Kamu, beneran tadi nolak ajakan bercinta dari Kak Danish?" telisik Rey. Bian menatap laki-laki di depannya.
"Hei, aku gak kenal kalian itu siapa. Yang jelas kalian pasti ada hubungannya sama si Bandot tua itu."
"Bandot tua?" Kening Rey mengerut.
"Itu, orang yang menjualku sama kakak kamu," jawab bian polos.
"Apa? Kamu dijual? Wah gawat, berarti kamu harus melayani Kak Danish seumur hidup," ucap Rey mendekatkan wajahnya ke arah Bian.
"Apa? No way! Buat aku, penghulu dulu baru tempat tidur!" jawab Bian tegas.
"Lah, bapakmu juga sadis amat jual anak sendiri."
"Dia cuman bapak tiri. Orang yang tidak punya otak," jawab bian.
"Hahaha, kamu gadis pemberani ternyata."
"Tidak, aku justru penakut jika sudah berurusan dengan bandot tua itu. Aku takut karena ibuku sangat mencintanya." Bian mengembuskan napas kasar.
"Lalu sekarang apa yang akan kau lakukan dengan Kak Danish?" Rey menatap lekat gadis itu.
"Entahlah, mungkin aku akan memintanya pekerjaan untuk melunasi uang yang sudah diambil oleh ayah tiriku," jawab Bian gamang. Rey mengangguk pelan.
"Kak Danish itu orang yang baik, kok. Cuman dia memang ... doyan main perempuan," ujar Rey lirih.
***
Malam tiba, seorang pelayan menyampaikan jika Bian diminta Danish menemuinya di ruang kerja. Tak punya pilihan, gadis itu pun menurut.
Ragu, Bian mengetuk pintu itu pelan.
"Masuk!" Terdengar perintah dari dalam. Bian membuka pintu itu perlahan. Rasanya seperti seekor ayam yang akan masuk ke sarang musang.
Bian ragu-ragu melangkah. Danish mengangkat wajahnya dari buku yang dia baca. Bian berdiri kaku. Dia benar-benar merasa kikuk diperhatikan seperti itu.
Danish bangkit dari kursinya. Dia mendekati gadis yang tampak gemetar.
"Kau begitu berani menolak keinginanku!" ucap lelaki itu seraya mengangkat dagu Bian. Pandangan mereka bertemu.
"Kau tau? Tyo sudah menjualmu padaku. Jadi sekarang, aku berhak menikmati tubuhmu kapan pun aku mau." Danish berbisik di telinga Bianca, membuat gadis itu merinding seketika.
"Jangan coba-coba! Atau aku akan menendang selangkanganmu seperti pagi tadi!" jawab Bian menggertak. Danish tertawa sinis. Tangannya terangkat, lalu mencengkeram wajah mungil itu.
"Kau tau? Tidak pernah ada perempuan yang menolakku," lirih Danish dengan tatapan nyalang. Bian membalas tatapan itu dengan tak kalah nyalang.
"Dan kau juga harus tau, kalau aku bukan perempuan-perempuan itu!"
"Benarkah?" Danish makin mendekatkan wajahnya. Wajah Bian memerah seketika.
"Prinsipku, penghulu dulu, baru tempat tidur!" ucap Bian tepat di muka Danish. Tawa Danish meledak.
"Jadi, maksudmu aku harus menikahimu dulu, begitu?" tanya Danish.
"Kau pikir, kau siapa ingin menjadi istriku? Masih banyak wanita yang lebih baik darimu yang bisa kujadikan istri." Mata Danish melotot seakan menahan amarah. Bian membalasnya dengan senyuman hambar.
"Kau pikir aku mau menjadi istrimu, Tuan? Kau salah besar. Aku sama sekali tidak pernah berpikir memiliki seorang suami yang sudah dicicipi banyak perempuan. Membayangkannya saja aku jijik!" balas Bian. Danish menyeringai lalu sedikit menjauh dari gadis itu.
"Sudahlah, Tuan. Kita tidak perlu membahas lagi soal tempat tidur. Aku sama sekali tidak tergoda seperti perempuan-perempuan yang kau sebutkan tadi.
"Aku bersedia menemuimu, karena aku ingin membicarakan uang yang sudah diambil bandot tua itu." Bian meghentikan ucapannya. Kening Danish mengerut.
"Bandot tua? Tyo maksudmu?" Danish kemudian tertawa hambar.
"Aku bersedia bekerja padamu, sampai hutang bandot tua itu lunas," ucap Bian percaya diri. Danish kembali mendekat.
"Dengan bekerja padaku, kira-kira berapa lama kau bisa membayar utang sebesar lima ratus juta." Ucapan Danish membuat mata Bian terbelalak.
"Li-lima ra-tus ju-ta?" tanya Bian meyakinkan diri. Danish mengangguk.
"Ta-tapi, kemarin lintah darat itu menagih utang, lima puluh juta saja," gumam Bian. Rahangnya mengeras menahan emosi yang meluap. Danish kembali mendekat.
"Karena itu, sebaiknya kau layani saja aku di tempat tidur agar masalah ini cepat selesai," lirih Danish mencoba memeluk gadis itu.
"Jangan harap!" teriak Bian kemudian kembali menendang lelaki di depannya. Danish meringis menahan ngilu.
Bian tidak menyia-nyiakan itu. Dia segera berlari ke luar.
Bersambung.