Bab 1

1526 Words
Hari masih terlalu pagi untuk Bima berdiri sendirian di balkon kamarnya. Hanya mengenakan piyama abu-abu lengan panjang dan dengan kaki telanjang, lelaki itu melipat tangan di d**a sembari netranya menatap langit yang semakin detik semakin terang. Matahari semakin naik. Sinarnya perlahan mengenai wajah tampan Bima. Tubuh tegap lelaki itu kian terasa hangat. Sedetik kemudian, senyum tipis terulas samar. Ada batin yang kian hambar. Bima seperti sedang menertawakan dirinya sendiri. Dunia pasti terasa indah bagi mereka yang hatinya tidak patah. Dunia pasti indah bagi mereka yang cintanya bisa singgah. Manik mata itu perlahan berubah sendu. Sungguh! Bima ingin waktu segera berlalu. Sisa-sisa perasaan yang masih belum terselesaikan, harus segera Bima buang. Sudah saatnya Bima menutup buku perihal masa lalu. Membungkus semua kenangan lalu dia pendam dalam-dalam. Tunggu, bukankah itu berarti Bima harus memulai babak baru? Entahlah! Bima tak bisa mengatakan apa-apa atau menebak masa depannya sendiri. Dunia serasa seperti fatamorgana, baginya. Dimana cinta sejati hanyalah ilusi yang dibiaskan oleh angan-angan belaka. Cinta sejati itu, TIDAK ADA! Pun sama dengan Olivia yang kini masih bersembunyi di balik selimut tebal. Menutup tubuh sampai sebatas telinga. Mata bening itu menatap hampa pada jendela kamarnya. Pelan tapi pasti, sinar mentari semakin menembus masuk. Menghapus fajar dan sinar itu semakin berpendar. "Olivia." Panggilan itu disusul suara ketukan. Olivia tidak segera menjawab. Dia melanjutkan lamunannya. Setiap pagi saat membuka mata, hal pertama yang dia ingat adalah, kekasihnya Dewa Resapati yang sikapnya berubah akhir-akhir ini. Olivia tidak tahu apa yang terjadi padanya. Tapi, sedikit banyak Olivia bisa merasakan ada perubahan. Iya, Olivia paham. Manusia pasti berubah. Baik menjadi baik. Ataupun menjadi buruk. Iya, kan? Selama ini, Olivia bersikap seolah semua baik-baik saja. Olivia selalu berfikir positif jika dia baik pada semua orang, maka orang-orang akan baik padanya. Tapi, apa dunia benar-benar sebaik itu? Katakanlah Olivia t***l. Dia membiarkan hatinya terus teraniaya oleh cintanya pada Dewa. Olivia seolah buta oleh cintanya. Dia sedikit banyak tahu jika dirinya hanya dimanfaatkan. Tapi, ketika rasa sudah membelenggu, seorang hebatpun akan berubah dungu. Akhir tahun nanti, Jean akan pindah ke Kanada. Olivia juga merasa sedih karenanya. Olivia hanya memiliki beberapa teman saja. Jean dan Audrey. Jika Jean akan ke Kanada, maka Audrey sudah lebih dulu ke luar negara. Dia tinggal di Singapura setelah menikah dengan Dion. Jean itu sangat baik. Dia berbagi segalanya dengan Jean setelah Audrey tak lagi berada di Indonesia. Ah, jadi ingat Audrey. Gadis itu kini menitikkan air mata. Dia butuh Audrey untuk teman bicara. Karena Jean tak seasyik Audrey saat dia menceritakan perihal Dewa. Olivia sangat mencintai Dewa dari segala sisi. Apapun akan dia beri. Segalanya akan dia lakukan. Jika itu untuk Dewa. "Olivia!" Masih tetap sama. Panggilan itu disertai ketukan pintu. Mau tak mau Olivia menyibak kasar selimutnya. Berjalan dengan malas menuju pintu setelah sebelumnya menghapus air mata dengan tisu. "Iya, Ma," jawabnya setelah pintu terbuka. "Mama tunggu di bawah sama papa." Olivia memgangguk. "Iya, Ma." "Olivia," panggil Fatma lagi sebelum pintu kamar di dorong oleh pemiliknya dan tertutup sempurna. "Iya, Ma," jawabnya sambil menarik pintu agar terbuka, lagi. "Kamu nanti ke rumah sakit lagi?" Olivia mengangguk. Rambut panjangnya semrawut. Piyama lengan panjangnya menutupi seluruh tangan. Bahkan jari-jarinya tidak kelihatan. Olivia memang lebih menyukai baju tidur yang ukurannya kebesaran. "Kenapa, Ma?" "Nggak apa-apa. Nanti mama siapkan bubur untuk kamu berikan pada Dewa." Olivia mengulas senyum lebar. Seolah terlihat sangat bahagia akan niat baik sang mama. Ini adalah satu dari sekian alasan gadis itu bertahan dengan Dewa. Sesakit apapun itu, Olivia hanya mampu diam. Sebab Fatma menaruh harapan besar pada kekasihnya. Fatma ingin Dewa yang mendampingi Olivia sampai tua, nanti. "Makasih, Ma." "Sama-sama, Sayang. Buruan mandi sana," titah Fatma sembari menarik pintu kamar Olivia. Saat pintu tertutup, saat itu juga air matanya menitik. Ini bukan hal pertama bagi Olivia. Pertahanan gadis itu sangat hebat. Olivia pernah menceritakan perihal perubahan sikap Dewa pada mamanya. Tapi, sang mama malah menganggap Olivia kekanakan. Dunia memang sangat tidak adil! Pemikiran yang sama juga dirasakan oleh Bima. Lamunannya kian menjadi walaupun mentari semakin tinggi. Tubuh tegapnya tidak bergeming. Hidupnya hampa, kosong, hatinya tak berpenghuni. Sepi. *** Olivia mengeratkan genggaman pada tas bekal yang dia bawa. Bubur buatan mama tercinta ada di dalam sana. Dengan sisa-sisa tekad yang ada, Olivia tetap menyusuri lorong rumah sakit tersebut untuk bertemu Dewa. Seandainya Olivia menyadari, ada lelaki yang sejak tadi mengikuti. Ralat, bukan mengikuti. Untuk apa Bima mengikutinya? Seperti tidak memiliki pekerjaan lain saja. Bima hanya menuju ke arah yang sama. Itu saja. Back to topik, Dewa baru saja melakukan tlansplantasi hati. Dimana hati Dewa mengalami kerusakan akibat terlalu banyak mengkonsumsi alkohol. Dewa memang seorang alkoholic. Tuntutan pekerjaan membuatnya tertekan. Olivia berusaha selalu ada. Tapi, apa daya? Keberadaannya seolah tak berguna. Hingga akhirnya Dewa lebih memilih alkohol daripada Olivia untuk mengusir segala kepenatan yang ada. Lalu kemudian, berakhir dengan penyakit hati yang kini di derita Dewa. Tlansplantasi hati yang dilakukan Dewa juga tak lepas dari campur tangan Olivia. Gadis itu bersusah payah mencari donor hati yang tentunya sehat dan sesuai untuk lelaki tercinta. Benar, kan? Olivia akan melakukan apa saja jika itu untuk Dewa. Hingga kini langkah kaki Olivia berhenti, hatinya serasa seperti di tusuk duri. Ada Jean di sana. Duduk di kursi tepat di sisi ranjang Dewa dengan mangkuk beserta sendok. Nampak jelas jika Dewa sudah menelan sarapan pagi hari ini. Olivia terdiam. Tangannya sudah menggenggam handle pintu. Tapi urung untuk membukanya. Sebab gadis itu melihat Dewa tertawa. Sungguh! Lelaki itu terlihat sangat bahagia. Tawa yang bahkan tidak pernah Dewa tunjukkan padanya sejak setahun terakhir hubungan mereka. Sejurus dengan hal itu, atensi Olivia beralih pada papper bag di tangan. Gadis itu tercenung. Kasihan mama udah repot-repot bikin ini. Batinnya dengan mata berkaca-kaca. Olivia memilih pergi. Membalik badan yang kemudian di sambut tatapan tajam dari seseorang. Ah, dia. Batin keduanya bersamaan. Olivia membuang muka. Menghalau air mata agar tidak keluar saat itu juga. Mencoba melihat apapun, asal bukan wajah tampan itu. "Kita bertemu lagi." Olivia tersenyum kikuk. "I-iya." Bima melangkah tepat di depan pintu ruang rawat Dewa. Melongok sebentar kemudian menatap Olivia. "Yang pacarnya itu kamu atau dia?" tanya Bima asal. Karena Bima melihat sendiri dua insan yang ada di dalam sana berciuman, kemarin. "A-aku." Bima menaikkan satu alis. Heran sekaligus tidak percaya. Tapi, Bima hanya mengangguk paham. Sebuah anggukan yang bermakna lain di mata bening Olivia. "Kenapa?" "Nggak apa-apa," jawab Bima sambil mengedikkan bahu kemudian berlalu. Seolah yang baru dia tanyakan tadi bukan hal penting. Tapi tunggu, jika tidak penting, kenapa Bima bertanya? Apa dia hanya iseng, hanya ingin tahu, atau hanya ingin menyapa Olivia? "Hai, kamu." Olivia berjalan setengah berlari untuk menggapai langkah Bima. "Tagihan kamu, mana?" Olivia menengadahkan tangan. Meminta nota atau apapun untuk sekedar meminta maaf atas perlakuannya yang tidak sopan. Tempo hari. "Tidak usah," jawab Bima yang kemudian menyambung langkah. "Serius, aku nggak apa-apa. Uang papaku banyak. Dewa saja operasi tlansplantasi hati pakai uang papaku-" Ocehan Olivia terhenti saat Bima tiba-tiba membalik badan. Olivia terkesiap. Dengan kikuk dia berkata, "....ja-jadi. Ta-gi-han kamu... biar di bayar papaku." Olivia merasa terintimidasi dengan tatapan Bima. "Aku bilang tidak usah." "Tapi aku bilang tidak apa-apa," tegasnya tak mau kalah. Bima hanya menatap Olivia datar. "Aku nggak bohong," celetuk Olivia yang jujur saja, dia tidak nyaman dengan tatapan Bima. "Aku cuma ngerasa nggak sopan aja kemarin udah nabrak kamu tapi langsung pergi." "Apa kamu sering seperti ini?" "Ya?" jawab Olivia bingung. Seperti ini, apa maksud lelaki itu? "Melakukan ini?" "Maaf?" Olivia masih di terpa kebingungan luar biasa. Maksud lelaki itu, apa? Bima menghela napas. Lelaki itu memupus jarak di antara keduanya. Memajukan wajahnya agar lebih dekat dan tentunya agar Olivia paham jika maksud Bima adalah, "Apa kamu sering meminta maaf pada orang lain dengan uang papamu yang kamu bilang banyak itu?" Wajah Olivia langsung memucat. Lelaki ini berani sekali menghina dirinya. Padahal, maksud Olivia tidak seperti itu. Sungguh. "Ma-maksud, maksudku tidak begitu, sungguh. Aku kemarin terburu-buru karena harus-" "Sudahlah!" potong Bima cepat. "Tap-tapi sungguh! Aku tidak ada maksud begitu." Olivia berusaha mengejar langkah Bima lagi. Tapi panggilan Jean membuatnya menghentikan langkah. "Olivia." Gadis itu segera menolah pada Jean yang baru saja keluar dari ruang rawat Dewa. Sebenarnya, Olivia ingin bertanya untuk apa Jean di jam kerja seperti ini malah di sini? "Dia, siapa?" Olivia menoleh sekilas pada Bima yang semakin jauh di depan sana. "Bukan siapa-siapa," jawab Olivia setelahnya. Jean masih terus menatap punggung lelaki berkemeja sky blue tersebut. "Je." Jean segera menoleh pada Olivia. "Iya." "Kamu ngapain di sini?" Jean menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Aku tadi beli bubur di sekitar rumah sakit ini. Terus aku mampir. Aku beliin Dewa juga. Aku pikir kamu udah di sini." "Oh." Olivia tertawa kecil menanggapi. Padahal di dalam hati dia miris membayangkan kejadian yang dia lihat tadi. "Kata Dewa, kamu tadi pagi di telepon nggak kamu angkat." "Iya. Aku lagi sarapan sama mama dan papa. Hapenya aku charge di kamar." Manis sekali hidupmu, Olivia. Batin Jean tanpa menyuarakan. Gadis itu kemudian melihat jam di tangan. "Ya udah, Liv. Aku pergi dulu, ya? Aku ijin telat 1 jam aja tadi ke papa kamu," pamitnya yang di angguki Olivia. Olivia terus memandang Jean sampai dia hilang di ujung lorong. Jean itu cantik, sexy, dan juga seorang sekertaris. Apa mungkin ada apa-apa di antara Jean dan Dewa? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD