Buta

1874 Words
Alena membuka mata secara perlahan, ia tidak bisa melihat apapun. Semuanya gelap dan Alena sangat takut dengan kegelapan. Ia mencengkram selimut dengan kuat sembari memanggil-manggil Papa dan Mama. “Papa kenapa gelap? Aku takut!” Ia lantas bangkit dari ranjang, Alena meraba-raba dalam kegelapan. Infus yang berada di tangannya pun sudah terlepas sehingga menyebabkan darah mengalir. “Mama, Aku takut!” ujar Alena lagi. Ia sudah berdiri di lantai dengan tidak sempurna. Kecelakaan itu selain membuat Mata Alena buta juga membuat kaki dan tangan Alena mendapat luka di beberapa sisi. Lantai terasa licin, Alena tidak bisa melihat apapun bahkan ia tidak mendengar apapun. Perasaan takut mulai menghujam dirinya, Alena terus saja memanggil Mama dan Papanya namun tidak kunjung mendapat jawaban. Langkah demi langkah dia lakukan tetapi tidak stabil. Beberapa kali Alena terjatuh, ia hanya meringis namun setelah itu kembali berdiri lagi. "Astagfirullah, Alena!!” teriak Desi kaget. Ia melihat sang keponakan sudah terduduk di lantai. Darah sudah berceceran di lantai. Desi histeris memanggil petugas medis. Beruntung para petugas medis di rumah sakit itu datang. Ia langsung mengangkat Alena ke ranjang dan memasangkan infus kembali. Alena jelas saja memberontak, dia memanggil-manggil kedua orang tuanya dengan lirih sampai suara Alena kian parau. "Tenang Ale, Ante disini,” cicit Desi sambil menenangkan sang keponakan. "Papa sama Mama dimana Ante?” tanya Alena. Desi terdiam, ia bingung harus mengatakan apa. "Kenapa gelap? Aku nggak bisa lihat apa-apa, aku takut gelap Nte,” lirih Alena lagi. Desi lagi-lagi masih terdiam. Beberapa perawat juga tidak bersuara. Mereka tahu apa yang menimpa pasien itu. “Papa!!! Mama!!!” panggil Alena lagi. Infus sudah kembali terpasang, beberapa perawat memilih untuk meninggalkan Alena bersama kerabatnya. Mereka ingin memberikan ruang kepada kerabat dan pasien. Alena memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit, memori kecelakaan di malam mengerikan itu tiba-tiba saja berputar seperti kaset rusak. Tangan Alena bergetar hebat, jantungnya berpompa dengan cepat. “Enggak… enggak. Enggak mungkin,” ujar Alena. Ia menggeleng-gelengkan kepala tidak mempercayai ingatannya sendiri. “Sayang tenang ya.” Desi langsung memeluk Alena dengan erat. Ia juga tidak mampu menahan air mata karena melihat betapa hancurnya hidup Alena. “An-te ja-wab pertanyaan aku, Pa-pa sama Ma-ma ke-mana?” tanya Alena terbata-bata. Desi menutup mulutnya, air mata nya sudah mengalir. Isak tangisnya bahkan tertahan sekarang. “An-te jangan diam aja, jawab pertanyaan aku!” ujar Alena lagi. Ia mendesak sebuah jawaban yang akan menyakitkan untuk dirinya. "Mama sama Papa udah kembali kepada Allah Sayang..." lirih Desi pelan. Ia tidak mampu untuk berkata-kata lagi. Nafasnya kian sesak setelah kalimat itu keluar. Alena membeku, ia terdiam sesaat. “Enggak mungkin!” ujar Alena tidak percaya. Ia bahkan sudah tertawa masam. Desi memejamkan matanya. “Ikhlas sayang,” lirihnya. Alena tertawa kuat, "Ante lagi ngerjain Aku kan ya?" Desi merasakan kepedihan yang amat mendalam. Dia tahu bahwa jauh di lubuk hati Alena memang sudah mengetahui tentang kepergian keluarganya. Hanya saja Alena masih belum menerima kenyataan itu. "Nggak mungkin Papa ninggalin aku Nte, Ante bohong...Pergi dari sini! Ante bohong, aku nggak suka di bohongin!" Alena masih belum menerima kenyataan hidup yang seakan mencekiknya. Kepergian Mama dan Papa tidak akan bisa dia percaya sama sekali. "Sabar sayang...sabar!!!" Desi memeluk tubuh Alena yang kembali memberontak. "Papa dan Mama nggak mungkin ninggalin aku... Semuanya pasti mimpi!!! Pukul aku Nte, pukul aku biar bangun!" Alena mengambil tangan Desi dan memukulkan kepada tubuhnya. Desi langsung ambil tindakan. Dia memencet tombol pemanggilan tenaga medis. "Pap...Mama... Jangan tinggalin aku!!! Ke-napa Papa sama Mama tega ninggalin aku sendiri ka-yak gini!!!" lirih Alena sambil terisak. Teriakan itu kian menggema. Orang-orang yang berada di samping kamar Alena melihat sekilas apa yang sebenarnya terjadi. Pemandangan yang amat menyakitkan siapapun yang melihat. "Udah Sayang..." Desi masih berusaha menghentikan sang keponakan. Semuanya sudah berantakan, meskipun Alena tidak bisa melihat apapun tetapi dia melempar apapun yang bisa dia dapat. Bahkan pisau yang berada di meja samping tempat tidurnya pun berada di tangan Alena sekarang. Desi berteriak histeris. "Ale, sini pisaunya! Jangan ngelakuin hal bodoh," ujar Desi ketakutan. “Ante jangan mendekat, Ante pergi!! Ante udah bohong sama aku. Mama dan Papa masih hidup. Aku benci Ante, Pergi!!!” Alena mencabik-cabik angin dengan pisau yang berada di tangannya. Kaki Desi melemah, ia tidak bisa mendekat ke arah Alena karena bisa-bisa pisau itu mengenai dirinya sendiri. Suara deru langkah kaki serta bisik-bisik terdengar oleh telinga Alena. Dia tahu bahwa banyak orang yang berada di depannya sekarang. Alena tidak memperdulikan apapun. "Jangan ada yang mendekat..." ujar Alena sambil memegang pisau. "Papa, aku mau ikut!!!" teriak Alena menggema. Beberapa perawat masuk ke dalam ruangan, mereka memberikan isyarat satu sama lain untuk diam. Langkah demi langkah mereka lakukan dengan pelan supaya tidak terdengar oleh Alena. "Mereka bohong! Papa dan Mama nggak mungkin ninggalin aku. Nggak mungkin!!!" Alena menggenggam pisau yang berada di tangannya dengan kuat. Sisi tajam dari pisau itu menembus telapak tangan Alena sampai darah mengalir. Desi menutup mulut tidak percaya, ia menangis dengan keras melihat darah mengalir ke lantai. "Paaa, Maa. Dadaa aku sakit!!! Tolong bawa aku, jangan tinggalin aku Paa!!! Salah satu perawat langsung memegang tubuh Alena, ia memberikan suntikan pada lengan Alena. Sepersekian detik pisau itu terlepas dari tangan Alena karena dia sudah tidak sadarkan diri lagi. Kaki Desi melemah, dia langsung terjatuh ke lantai. Dia tidak bisa membayangkan jika pisau itu masih berada dalam genggaman tangan Alena. Dokter langsung bergerak menghentikan darah yang sudah mengalir di lantai. Pintu ruang rawat di tutup agar tidak ada yang bisa melihat ke dalam. Namanya rakyat +62 yang selalu kepo. Dokter melihat telapak tangan Alena. "Bagaimana lukanya?" tanya dokter Zafran. "Cukup dalam Dok, lukanya juga lebar," jawab perawat. Perawat membersihkan luka secara perlahan, setelah luka itu terlihat jelas barulah Dokter melakukan tindakan penjahitan. Dokter Zafran melihat wajah Alena yang sudah memejamkan mata. Jika mereka terlambat sedikit saja entah apa yang terjadi. "Dokter psikiater harus segera mengawasinya. Saya khawatir dia bisa saja mengakhiri hidup kembali. Psikolognya terguncang, ini tidak bisa dibiarkan!" ujar Dokter Zafran. "Baik Dok, nanti saya akan konfirmasi secepatnya di poli psikiater." Kurang dari tiga puluh menit Dokter dan perawat medis keluar. Mereka sudah menjelaskan kepada Desi tentang luka Alena. Desi kembali masuk, dia melihat tangan Alena sudah di perban. Salah satu petugas rumah sakit menyingkirkan segala benda tajam. Pihak rumah sakit akan melakukan pencegahan dengan sangat ketat. "Jika ingin menggunakan pisau untuk mengupas sesuatu, langsung saja ke meja perawat di depan ya Bu. Kita harus mencegah segala sesuatu yang mungkin akan terjadi." Desi mengangguk paham. Petugas rumah sakit kemudian pamit keluar. Desi kembali menangis melihat kondisi sang keponakan. Sampai kapan Alena akan seperti ini? Hanya doa yang bisa dilakukan oleh Desi. Tepat pukul delapan malam, Desi rencananya akan ke rumah Alena. Dia sama sekali belum membersihkan diri seharian ini. Desi meminta satu perawat untuk menjaga sementara di kamar sang keponakan. Desi sampai di rumah almarhum Kakaknya pada jam delapan lewat. Jarak rumah sakit dengan rumahnya cukup jauh karena rumah sakit itu yang paling dekat dengan lokasi kecelakaan. Suasana sepi, tidak ada keramaian yang menyambut. Biasanya setiap kali Desi berkunjung ke rumah Kakaknya itu, pasti suasana rumah heboh dan sangat menyenangkan. Desi mengambil beberapa pakaian Alena dan juga kebutuhan lainnya. Dia masih belum tahu sampai kapan Alena akan berada di rumah sakit. Hanya dia harapan Alena, Desi harus segera masuk ke kantor karena dia hanya mengambil cuti satu minggu. Dia akan membawa sang keponakan untuk tinggal di Bandung. Desi tidak mungkin meninggalkan keluarganya terlalu lama di sana. Beruntung suaminya pengertian, sehingga dia tidak keberatan jika Desi harus berada di Jakarta beberapa waktu. Perasaan Desi bertambah perih ketika melihat tulisan-tulisan yang berada di dinding kamar Alena. Tepatnya di depan meja belajar. "Aku harus jadi anak pintar, biar bisa buat Mama dan Papa bahagia" "Jurusan Kedokteran, Aku datang!!!" "Jangan lelah belajar, harus jadi dokter hebat" Masih banyak tulisan lainnya yang menempel. Foto-foto Alena bersama keluarga terpampang rapi di sana. Desi tahu bagaimana perjuangan Alena untuk bisa masuk di universitas negeri terbaik indonesia dengan jurusan kedokteran. Dia yang tidak ingin menyusahkan orang tuanya untuk bimbel dan lebih memilih belajar sendiri. Padahal teman sebayanya kebanyakan ikut bimbel persiapan masuk universitas terbaik. Saat Desi diberitahu jika Alena lulus di universitas terbaik Indonesia dengan jurusan yang memang dia inginkan, rasanya Desi sangat bahagia. Padahal tepat hari ini, mereka akan melakukan acara syukuran atas pencapaian Alena. Tetapi semuanya hanyalah rencana. "Aku harus berusaha buat Mata Ale biar baik lagi kan Mbak, aku nggak mau bikin dia tambah kacau dan membenci dunia," monolog Desi sambil melihat foto kakaknya di meja Alena. Kemana pun dengan biaya berapapun, Desi akan membawa Alena berobat untuk kesembuhan matanya. "Aku akan berusaha agar dia bisa jadi dokter hebat mbak," lanjut Desi lagi. Rencananya setelah kondisi Alena baik, semua baju dan barang-barang Mama dan Papa akan diberikan kepada orang yang membutuhkan agar bisa mengalir pahala untuk mereka. Desi akan membicarakan itu setelah semuanya baik, bukan saat ini. Setelah dilakukan berbagai macam cara, akhirnya Alena bisa tenang dan tidak memberontak lagi ketika bangun dari tidurnya dengan bantuan obat penenang tentunya. Sebagaimana pagi ini, Alena hanya diam tanpa berbicara sedikit pun. Tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut Alena sejak lima hari yang lalu. Hanya cairan dari infus yang menjadi tenaga untuk menopang Alena. "Coba buka mulutnya, nanti kalau nggak makan sembuhnya lama." Desi masih berusaha membujuk Alena untuk mau membuka mulutnya. "Emang kalau aku makan Papa sama Mama bisa kembali lagi? " Desi terdiam, tangannya bergetar. "Ale, jangan kayak gini. Ale harus ikhlas!" Alena menangis tanpa suara. Rasanya air matanya tidak pernah habis-habisnya. Dia tidak tahu sudah berapa kali menangis. "Makan ya biar cepat sembuh!" "Kalau makan apa aku bisa ngeliat lagi?" "Ante akan berusaha mencari dokter terbaik agar Ale bisa ngeliat lagi,"balas Desi dengan yakin Alena tersenyum tetapi bukan senyum seperti biasanya. Senyum itu penuh luka yang amat dalam dan menyakitkan. Alena tetap tidak mau membuka mulutnya. Dia memilih untuk berbaring. Tidak tahu apa yang harus dia lakukan semuanya terasa amat menyakitkan. "Ale, besok Ante mau ke Bandung." Alena tidak memberi respon. Sebenarnya Desi tidak tega meninggalkannya, tetapi jika dia tidak masuk kerja apa yang akan menghidupi mereka berdua. Apalagi biaya pengobatan Alena tergolong sangat mahal. Desi juga tidak bisa meninggalkan anaknya yang masih kecil. Desi memiliki satu anak yang memiliki kelebihan sehingga dia dan suami berusaha untuk menyembuhkan sang anak. Beruntung ada tabungan dari kedua orang tua Alena yang bisa untuk membiayai pengobatan Alena saat ini. "Ale harus cepat sembuh biar bisa ikut Ante ke Bandung." "Aku nggak mau!" tolak Alena. Dia tidak mau pergi. "Ta-tapi Sayang," "Pokoknya aku nggak mau. Ante nggak usah khawatirin aku." Desi pasrah. Dia akan mendiskusikan hal ini kepada suaminya nanti. Bagaimanapun ia tidak mungkin meninggalkan Alena sendiri. Apalagi kondisi Alena tidak baik-baik saja. Desi sedikit lega, kamar rawat Alena dekat dengan meja perawat. Setidaknya dia sudah meminta bantuan kepada perawat untuk menjaga Alena selama dia berada di Bandung. "Nanti kalau ada apa-apa, Ale hubungi Ante ya?" "Aku buta, aku nggak bisa liat apapun. Gimana caranya bisa hubungi Ante!" "Maaf, Kalau ada perlu sesuatu Ale tinggal pencet tombol ini ya?" Desi mengarahkan tangan Alena pada tombol yang berada di samping ranjangnya. "Ante pamit dulu, makan ya sayang biar cepat sembuh." Alena kembali tidak menjawab. Desi sangat berat hati meninggalkan sang keponakan. Suasana kembali sunyi, Alena kembali menangis. Rasa sakit di dadanya kian bertambah. Luka itu tidak mengering sedikitpun tetapi malah melebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD