Dijual ibu tiri

1644 Words
Malam di sebuah ruangan terang, Olivia memandangi wajahnya yang penuh, riasan mencolok. Gadis itu tengah meratapi nasib. Seminggu lalu. Pagi, sekitar pukul sembilan, Olivia bersiap untuk pergi kuliah. Di saat ia memasang sepatu, Jeni—ibu Olivia—menghampiri gadis itu. "Kamu mau kemana, Oliv?" tanya Jeni lembut. "Berangkat kuliah, Bu. Aku tidak mau beasiswaku di cabut, karena terlalu lama absen." Sedetik kemudian, Olivia cukup tertegun, waktu rambut panjangnya di usap oleh Jeni. "Kamu dirumah saja hari ini. Kita 'kan masih berkabung atas meninggalnya Ayah kamu." "Tapi, Bu–" "Ibu mohon, Nak!" Selama dua puluh dua tahun hidupnya, baru kali ini ia dipanggil "Nak" oleh ibunya. Perlahan rasa haru Olivia pun menyeruak. "Baiklah, Bu, aku tidak akan pergi," ucap Olivia pelan. Senyuman yang tergurat di raut Jeni membuat Olivia begitu bahagia. "Masuklah, Ibu sudah membuatkan sup buntut. Mari kita makan bersama," ujar Jeni. Olivia mengangguk seraya menyunggingkan senyumnya. Ia menyusul langkah Jeni untuk pergi ke meja makan. Di sana sudah terlihat Amira yang sudah duduk di meja makan. Olivia mengisi kursi di depan adiknya. Jeni menautkan nasi, ayam goreng serta sop daging sapi, kesukaan Olivia. Diperlakukan seperti itu untuk pertama kali, membuat air mata Olivia menggenang di pelupuk. Sebelum air mata itu tumpah, Olivia lekas menyekanya. "Setelah makan, ibu mau kamu berdandan, Liv." Jeni memberikan piring berisi makanan kepada Olivia. "Buat apa, Bu?" "Ibu mau mengajakmu jalan-jalan." Olivia tersenyum senang, lalu mengangguk. "Ya, Bu." "Aku, Bu. Aku ikut tidak?" sela Amira usai menghabiskan nasi di mulutnya. "Tidak Mira. Kau harus jaga rumah!" Amira merengut kecil. "Tapi, Bu ...." "Ingat apa yang ibu katakan semalam padamu?!" Bentakan yang ditujukan Jeni pada Amira adalah hal langka bagi Olivia. Amira menekuk wajahnya. "Baiklah Bu, tapi jika Ibu pulang, aku minta oleh-oleh, ya?" "Iya, Ibu akan belikan yang banyak untukmu." Jeni tersenyum sambil mengelus-elus rambut putri bungsunya. Amira tersenyum."Terima kasih, Ibuku sayang." "Hem." Seperti permintaan sang ibu, selesai makan Olivia berdandan, lalu mengenakan mini dress bewarna merah darah. Dress tersebut membuat lekuk tubuh indah Olivia tercetak jelas. Tidak hanya itu paha ramping dan bagusnya pun terekspos. Merasa tidak nyaman dengan pakaian yang biasa ia juluki—gaun anak SD. Olivia lantas berjalan keluar menuju kamar sang ibu. "Wadaw, Kakak terlihat begitu hot," tegur Amira saat melihat kakaknya. "Ibu mana?" "Di kamar." Olivia berjalan ke kamar ibunya. Ketika melihat kamar terbuka, ia lalu mengetuk pintu. "Bu." Jeni yang sedang memoles wajahnya, menoleh ke arah Olivia. Ia tersenyum, melihat baju yang ia berikan, melekat sempurna di tubuh putri sulungnya itu. "Kamu begitu cantik dengan baju itu." "Terima kasih." Olivia mengatur kata supaya sang ibu tidak merasa tersinggung. "Maaf, tapi apa aku boleh memakai blouse dan jeans saja, Bu?" "Pakai baju itu saja, Oliv." "Tapi, Bu. Ini begitu ketat dan terlalu pendek," sanggah Olivia. Jeni mengerutkan keningnya. Rautnya berubah sinis. "Jangan cerewet! Jika kusuruh kau memakai itu, kau harus memakainya, paham?!" "Ya, Bu," ucap gadis itu pelan. Kembali ia mendapat bentakan, seperti biasa. "Bagus. Sekarang mendekatlah!" Olivia berjalan ke sisi ibunya. "Hapus lipstikmu dan pakai ini!" Olivia membuka lipstik diberikan kepadanya. Ia menaikkan batang lipstik itu ke atas, kemudian menyerngit tidak suka. Warnanya yang merah mencolok terkesan, menjijikan untuk gadis itu. "Bu, tapi aku tidak suka warnanya." "Sudahku bilang untuk tidak membantah omonganku, bukan?!" "I-iya, Bu." Olivia menurut dan memakaikan lipstik itu di bibirnya. Ia merasa tidak enak melawan sang ibu yang telah berlaku manis padanya tadi. Jeni tersenyum. "Bagus sekali, Nak. sekarang kamu tunggu ibu di ruang tamu, ya," ujarnya yang kembali lembut. "Baik, Bu." Olivia melangkah keluar dan menunggu ibunya di ruang tamu. *** Taksi yang di tumpangi Olivia dan ibunya berhenti di depan sebuah rumah, berpagar tinggi yang di cat warna emas. Keduanya turun dari taksi tersebut. Olivia dapat melihat bangunan rumah berwarna putih yang menjulang tinggi dari balik pagar. "Ini rumah siapa?" tanya Olivia. "Ini rumah teman Ibu." Jeni menekan bel yang tersedia di sisi tembok kiri. Tidak lama berselang, pagar tersebut dibuka oleh seorang pria bertubuh bodyguard dengan tampang garang. "Mau bertemu dengan siapa?" tanya lelaki itu. "Saya sudah mempunyai janji dengan Nyona Mary," jawab Jeni—ibu Olivia. Setelah nama bosnya disebut, lelaki tadi langsung mempersilahkan kedunya masuk. Ia juga mengantar mereka sampai ke ruang tamu. "Mari silahkan duduk dulu, Bu! Saya akan memanggilkan nyonya di kamarnya," ujar lelaki tadi. Keduanya duduk sofa empuk yang biasa Olivia duduki waktu berada di rumah Cristian. "Apa rumahnya bagus, Oliv?" tanya Jeni. Olivia tersenyum. "Iya, Mewah lagi." "Kamu tau, Ibu akan segera pindah ke rumah yang sama seperti ini. Dengan hasil penjualan rumah dan–" Belum habis Jeni menyelesaikan kalimatnya, seorang wanita bertubuh semok memotong. Wanita itu melemparkan senyuman hangat pada Olivia dan ibunya. "Eh ... kau rupanya, aku pikir kau tidak jadi datang." Wanita yang terlihat hampir berumur 50 tahun tersebut, mengisi sofa di depan Olivia dan Jeni. "Tentu saja aku akan datang." Jeni memandang putrinya. "Kenalkan, ini Olivia. Anak yang saya ceritakan kemarin." Mata Nyonya Mary menatap Olivia. Kemudian ia menunjukkan seringainya. "Cantik, serta memiliki aura sexappeal yang tinggi," pujinya, "aku rasa dia akan menjadi primadona di tempatku," kekehnya. Olivia mengeryitkan dahi. Ia tidak paham maksud ucapan perempuan tua di depannya itu. Marry menyuruh lelaki yang mengantarkan Olivia dan ibunya tadi untuk mengambil sebuah koper uang kamarnya. Setelah memdapatkan koper tersebut, ia lantas membuka. Terlihat susunan uang yang hampir memenuhi koper tersebut. "Jumlahnya seratus juta. Apakah cukup untuk membeli anakmu?" Olivia memandang ibunya. "Ini maksudnya apa, Bu?" Ia berharap tebakannya salah. "Jangan panggil aku Ibu! Aku sungguh muak mendengarnya!" bentaknya. "Bukankah kau cukup pintar untuk menebak ini?" Setetes air mata Olivia jatuh. Ternyata ada maksud tersembunyi di balik perlakuan baik sang ibu. Padahal ia berpikir kalau ibunya telah berubah. "Kau menjualku?" Kelirihan yang terdapat di suara gadis itu, jelas menggambarkan luka hatinya. "Benar." Jeni meruncingkan tatapannya. "Aku tentu harus mendapatkan kompensasi karena telah membesarkanmu, bukan," katanya angkuh. "Kompensasi?" tanyanya sekartis, "apa aku ini bukan anakmu?" "Tentu saja bukan." Jeni kemudian memaparkan semuanya kepada Olivia. Wanita itu berucap tanpa ragu kalau ia sangat membenci, hasil perselingkuhan mendiang suaminya. Air mata Olivia bercucuran. Ia mendapat jawaban atas pertanyaannya selama ini. Meski tebakannya benar, tetapi hati gadis itu tetap terasa sakit. "Kenapa kau harus menjualku, kenapa tidak kau usir aku saja?" tanyanya terisak, sambil sesekali mengusap air matanya. "Apa yang kudapatkan dengan mengusirmu," tukas wanita itu angkuh. Olivia memandang penuh benci pada wanita yang selama ini dia anggap ibu. Rasa benci pada wanita itu makin menggunung di hatinya. Tidak mau menjadi jalang, Olivia memandang Mary tegas. "Aku tidak ingin menjadi seorang jalang di tempatmu. Jadi ambillah kembali uangmu." Ketika Olivia hendak beranjak, Marry memanggil para orang suruhannya untuk membawa Olivia ke kamar, kemudian dikurung. *** Jika Olivia tau akhirnya akan begini. Ia lebih memilih untuk menjadi p*****r Vincent, saja, setidaknya hanya pria itu yang menyentuhnya. Marry datang untuk melihat pekerja barunya. "Bagaimana, Nak. Apa kau siap?" ucapnya lembut. Olivia mengangguk. "Iya, Nyonya," jawabnya. "No Oliv, Jangan memanggilku Nyonya. Panggil aku, Mami," imbuh Marry. "Ba-baik, Mami." Nyonya itu tersenyum hangat. "Good, ayo sekarang kita pergi. Ada pelangganku yang sangat ingin bertemu denganmu," ajaknya. Mami dan Olivia pun berjalan beriringan menuju mobil nyonya Marry. Keduanya menaiki mobil tersebut untuk pergi ke sebuah club malam milik sang nyonya. Dua puluh menit berikutnya. Mobil milik Mary berhenti di sebuah club night yang dulu pernah Olivia datangi dengan piyama Squidward-nya. Gadis itu mengernyit, Apa negaranya hanya memiliki satu kelab malam, ucapnya dalam hati. Keduanya berjalan masuk secara beriringan. Tangan Marry, masih ditautkan di lengan Olivia. "Nyo ... eh Mami, apa pelanggan ku seorang om-om?" Nyonya itu terkekeh. "Tidak, sayang. Pelanggan pertamamu ini seorang CEO muda dan tampan. Jika saja Mami masih cantik, Mami yang akan melayaninya," katanya centil. Olivia tersenyum. "Mami masih terlihat cantik, kok," godanya. Sang nyonya terkikik centil, lalu menepak pelan lengan pekerjanya. "Kamu ini bisa saja," kekehnya. "Oh ya, kamu harus bersikap baik kepadanya. Pelangganmu ini masih bujangan dan siapa tau, dia berminat menjadikanmu istri." "Istri?" Nyonya itu mengangguk. "Iya, Nak. Banyak sudah dari PSK Mami yang di jadikan istri oleh pelanggannya," ucapnya. "Memangnya Mami tidak masalah?" "Tidak sayang, asal mereka membayar susai harga yang Mami ajukan." *** Mereka telah sampai di sebuah meja yang telah diisi oleh pria tampan dan muda. Lelaki itu memiliki kulit wajah yang terlihat bening. "Halo, Tuan Allen," sapa nyonya itu pada lelaki yang berkutat dengan ponselnya. Mendengar namanya di sebut, pria tampan, dengan nama lengkap Jayden Allen itu menoleh pada Marry. Ia tersenyum dan meletakan ponselnya di atas meja. "Ah, kenapa Mami lama sekali?" Padangannya beralih pada gadis cantik dengan lekuk tubuh yang indah. "Apa ini yang Mami bilang kepadaku?" Jayden mengedipkan sebelah matanya—menggoda Olivia. "Ayo kita duduk, sayang!" Nyonya itu menuntun Olivia duduk. Wanita tersebut tersebut mengalihkan padangannya pada Jayden. "Iya, Tuan, bagaimana menurutmu?" Mata lelaki itu tidak berpaling dari Olivia. Ia tidak sabar untuk segera mencicipi sang gadis. "Cantik, Mami, aku suka" tukasnya. Lelaki itu menatap Olivia seraya tersenyum manis. "Siapa namamu?" Olivia mendengkus, lalu megedikan bahunya. Sama seperti bertemu dengan Vincent, gadis itu tidak sembarang menyebutkan nama. Mendapatkan reaksi seperti itu Jayden terkekeh kecil. Ia tidak sabar membuat gadis angkuh di depannya meminta ampun ketika dibawahnya nanti. "Sayang, bukankah kamu harus menjawab ketika seseorang menanyakan nama?" ucap Nyonya Marry pada pekerja barunya ini. Nyonya itu memandang Jayden. "Maaf, Tuan, mungkin dia masih gugup." "Namaku, Olivia Brown," kata gadis itu. Olivia mau membuat Mary kecewa. Jayden tersenyum. "Olivia. Itu sebuah nama yang cantik." Olivia menanggapinya dengan dengkusan. Memangnya dia perduli, batinnya. "Yasudah jika begitu, Mami permisi dulu. Have fun, ya!" Nyonya itu pun pergi. Jayden menatap teman mainnya yang terlihat acuh. "Namaku Jayden Allen. Aku seorang ...." Olivia menghela napas. "Aku tidak perduli," tukasnya. "Bisa kita langsung saja?" Penuturan sang gadis membuat Jayden tergelak. "Baiklah-baiklah. Ayo kita bersenang-senang. Kebetulan aku sudah mempersiapkan tempat yang spesial untuk kita," katanya. Keduanya berjalan beriringan keluar dari club night ini. Jayden menawarkan lengannya, tapi sayang tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Olivia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD