Anak hasil perselingkuhan

1307 Words
Peluh membasahi wajah Olivia. Andai saja uang gaji kerja part time-nya tidak diminta oleh sang ibu kemarin, mungkin sekarang dia tidak perlu merasakan pegal di kakinya. "Aku pulang." Ketika membuka pintu, Olivia melihat ibu dan adiknya yang duduk di ruang tamu. Gadis itu membuka sepatu dan melangkah masuk. Namun, waktu melewati ibu dan sang adik, langkah Olivia terhenti karena dipanggil oleh Jeni—ibu Olivia. "Olivia, sini kamu!" Usai mendesah, Olivia pun menurut dan duduk, di bagian sofa yang ada di depan, Amira-adik Olivia. Wanita yang kira-kira berumur 45 tahun menatap Olivia tajam—seolah ingin menghabisi putri sulungnya. "Apa benar, tadi pagi, kau memarahi Amira di sekolahnya?!" tanya perempuan paruh baya itu. Amira menyela, "Benar, Bu. Dia datang dan mempermalukan aku di depan teman-teman." Olivia menatap adiknya jengkel. Kalau saja Amira tidak mengambil uang tabungannya di bawah kasur, tentu Olivia tidak akan repot-repot ke sekolah adiknya. "Itu semua adalah kesalahanmu!" "Hey anak sialan! Aku bertanya padamu, benar atau tidak?" umpat Jeni pada putri sulungnya. Olivia tidak terluka dengan perkataan ibunya. Boleh dibilang ia sudah sangat kebal mendengar umpatan yang ditujukan Jeni padanya. "Ya." Satu tamparan keras mendarat di pipi Olivia. Gadis itu mengerang pelan, seraya memegang pipinya yang berdenyut pedih. "Apa kesalahanku hah?!" ucap Olivia lantang. Wanita yang memiliki rambut sebatas tengkuk dengan bentuk kriwil, memandang Olivia garang. "Kau tidak pantas memarahi Amira, apalagi sampai mempermalukannya, paham?!" Olivia menggeram. "Kenapa aku tidak pantas memarahinya? Dia telah mencuri uang tabungan hasil kerja part time-ku di kafe," balasnya. "Dasar anak tidak tahu diri! Asal kau tau saja, uangmu adalah uang Amira juga," balas sang ibu. "Kenapa ...?!" tanya Olivia. Karena tidak ingin menjawab pertanyaan Olivia, maka Jeni menyuruh anaknya untuk mencuci piring. "Jawab dulu pertanyaanku?" Olivia mendesak. Ia muak diperlakukan tidak adil, tanpa ia tahu kenapa. "Sudalah. Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaanmu itu!" ujar Jeni angkuh. Bersama Amira, Jeni beranjak dan pergi meninggalkan Olivia. Sebenarnya ini bukan kali pertama, gadis itu diperlukan tidak adil oleh Jeni. Sebelum benar-benar hilang dari pandangan Olivia, Amira mengejek kakaknya, dengan menjulurkan lidah. "Rasakan itu, memangnya enak, Wek." "b******k!!" umpat Olivia ketika adik dan ibunya tidak terlihat oleh pandangannya. Sebenarnya Olivia pernah berniat untuk pergi dari rumah ini. Namun, niat itu urung ia lakukan saat melihat sang ayahnya terbaring lemah di atas tempat tidur. Ayah Olivia menderita penyakit liver—akibat kebisaan buruk, seperti mabuk-mabukan ketika muda. Di saat seperti ini Olivia harus selalu ada di samping sang ayah. Hanya lelaki itu yang ia punya. Olivia masuk kekamar ayahnya guna melihat keadaan lelaki itu. Sebenarnya uang yang diambil oleh Amira akan gadis itu gunakan untuk membawa ayahnya berobat di rumah sakit. Agrh bodoh, harusnya uang itu tidak kusimpan dibawah tempat tidur!! Olivia merutuki kebodohannya. "Yah." Olivia menegur sesaat setelah masuk ke kamar. Lelaki paruh baya, berwajah pucat itu tersenyum, lalu menepuk-nepuk ruang kosong yang terdapat di tepi ranjang tidurnya. "Sini, Nak," katanya. Olivia melangkah ke sisi sang ayah dan duduk di sebelahnya. "Ayah sudah makan?" tanya Olivia lembut. "Sudah, Nak." "Minum obat?" Ayahnya mengangguk lemah. "Kamu?" "Sudah, Yah," jawab Olivia. Melihat keadaan sang ayah yang tidak membaik, gadis itu kembali merasa menyesal karena tidak bisa menjaga uang tabungannya, dari tangan nakal sang adik. Andai ia tidak berpikir tentang uang haram dan tidak, tentu dia akan menerima tawaran si predator tampan—Vincet Lawrence. "Maaf karena aku masih belum bisa, membawa Ayah ke rumah sakit," sesalnya. Ayah Olivia tersenyum hangat. "Tidak apa-apa, Nak. Ayah tidak perlu ke rumah sakit." "Tapi, Yah. Ay–" belum juga menghabiskan kalimatnya, Jeni masuk ke kamar dan memarahi Olivia. "Heh, anak sialan! Bukannya tadi aku menyurumu untuk mencuci piring," makinya, "kenapa malah santai-santai disini?! Dasar anak tidak tahu diri." Olivia menghela napas berat. Ia tidak kuasa untuk menjawab, ibu kandungnya yang terasa seperti ibu tiri. "Ya sudah ya, Yah, aku mau jadi pembantu dulu," sarkasnya. Gadis bermata sedikit belok itu langsung pergi dari kamar kedua orang tuanya untuk memulai, peran sebagai Cinderella. Olivia sangat berharap, kelak ia bisa bertemu dengan pangeran dan membebaskannya dari penderitaan tersebut. Setelah Olivia tidak tampak lagi, Robert—suami Jeni—menyampaikan protes pada istrinya yang selalu bersikap buruk pada putri sulungnya. "Kenapa kau begitu kasar kepadanya?" tanyanya, "apa sebenarnya kesalahan dari Olivia, hm?" "Kesalahannya adalah datang ke rumah ini!" Jeni menekankan kalimatnya. "Tapi dia darah dagingku," kata Robert parau. "Tapi, dia bukan darah dagingku!" balas Jeni tajam. Robert menghela napas berat. Ia berpikir Jeni sudah melupakan kesalahannya di masa lalu. "Tidak bisakah kau melupakan kesalahanku?" "Lupakan?" Setetes air mata keluar dari mata wanita paruh baya itu. "Bagaimana bisa? Sedangkan setiap hari aku melihat hasil penghianatanmu." Wanita yang pernah terkhianati ketulusannya itu terisak. "Harusnya kau tidak membawa hasil penghianatanmu, dengan wanita lain kerumah ini, Robert!" Lukanya kini kembali terkorek. Air mata Jeni, kembali menimbulkan lagi rasa bersalah di hatinya. Andai ia bisa kembali ke masa lalu, , tentu ia akan menghindari kesalahan yang membuat Jeni terluka. Ketika berumur tiga puluh tahunan, Robert yang kala itu menjadi pemborong untuk pembangunan jembatan di kota lain, menjalin cinta terlarang dengan seorang gadis muda, hingga sang gadis mengandung. Ibu kandung Olivia sebenarnya meminta Robert untuk menikahinya. Namun, lelaki yang amat mencintai Jeni, menolak melakukannya. "Sudalah ... jangan pernah membahas ini lagi," putus Jeni, ia tidak mau lukanya makin menganga. "Sudah menjadi hakku, untuk menjadikan anakmu pembantu di rumah ini." Berkat kesalahan yang kembali terungkit, Robert hanya terdiam. *** Ketika melihat calon adi iparnya—Cristian—duduk bermain PS4, Vincent lantas ikut bergabung dengan lelaki bermata bulat itu. Cristian terlihat asik bermain game Boruto. Menyadari kehadiran seseorang, Cristian menekan tombol pause yang ada di tengah stik PS empatnya. "Eh, Kak." Ia memandang Vincent. "Kakak mau bermain denganku?" ajaknya. Vincent menarik garis senyum tipis, kemudian menggeleng. "Aku tidak jago bermain Boruto." "Santai, saja. Dicoba dulu." Pemuda berbibir tipis itu tersenyum penuh arti. Berharap Vincent bersedia menjadi rival-nya. "Okelah." Vincent mengambil stik PS dan mengaturnya agar terhubung dengan PS4, milik Cristian. Ia juga suka main PS dengan game pertarungan. Namun, dia lebih suka game Naruto—ayah Boruto—yang ada di Play Station tiga. Di sela bermainnya, Vincent membuka suara. "Cris, apa gadis yang duduk bersamamu itu adalah pacarmu?" "Yang bersamaku saat di kampus, tadi?" "Iya. Pacarmu, ya?" "Calon pacarku." Jawaban Cristian menciptakan perasaan semacam tidak terima di hati Vincent. "Cantik tidak menurutmu," sambung Cristian dengan mata yang masih menatap layar TV datarnya. "Bagaimana, ya, mengatakannya. Tapi sepertinya, dia tidak cocok denganmu." Cristian kembali menjeda permainannya. Ia menatap Vincent tidak terima. "Masa? Tapi kenapa?" "Menurutku, kau bisa dapat yang lebih cantik daripada dia." Vincent mengatakannya dengan nada mencela. Cristian tersenyum. "Mungkin banyak yang lebih cantik dari dia, tapi cuma dia yang aku suka dan tidak ada yang lain," ucapnya seraya mengingat wajah Olivia. Cristian terkekeh kecil saat mendengar Vincent mendengkus sambil berdecak. "Siapa namanya?" tanya Vincent. "Olivia Brown. Ngomong-ngomong, maaf ya, jika dia sedikit menyebalkan," ujar Cristian. "Menyebalkan, bagaimana?" "Masa untuk menyebutkan namanya saja susah. Kau dengarkan, dia tidak menyebutkan namanya ketika berkenalan denganmu?" Vincent terkekeh. "Ah tidak apa-apa, tapi dia itu agak unik, ya," katanya. "Oh ya, apa dia itu satu jurusan denganmu?" "Iya. Kami banyak memiliki kelas yang sama." Vincent mengangguk paham, lalu sedetik kemudian. "Apa ... kau tau alamat rumahnya?" Pertanyaan calon iparnya membuat Cristian curiga. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" Vincent agak berdecak. "Jawab saja, tau apa tidak!" "Tidak ... sih." Cristian memang tidak tahu rumah wanita itu, lalu tidak lama ia mengeryit. "Kakak, suka dia?" Kening Vincent berkerut. "Dia siapa?" "Olivia." Vincent tertawa. Baginya, gadis seperti Olivia hanya cocok menjadi jalangnya saja. "Hey, kakakmu itu seribu lebih cantik dari gadis itu." "Lalu kenapa kakak bertanya alamat rumahnya?" "Apa salahnya bertanya?" Vincent memasang raut serius. "Begini, maksudku itu, kalau kau sudah tau di mana rumahnya. Berarti dia sudah memberi kode, kalau dia menyukaimu." Cristian kehilangan mood. Apa artinya Olivia tidak menyukaiku yang tampan ini? Tanya lelaki itu dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD