One night stand

1002 Words
Seorang gadis berpakaian piyama kuning, bergambar karakter Squidward, terlihat memasuki tempat dewasa ini. Ia berjalan masuk tanpa ragu, walau banyak pasang mata yang memandangnya dengan tatapan aneh. Tidak terdapat sedikit pun rasa minder di rautnya, walau ia jelas berbeda. Baru saja melangkah sedikit jauh, tiba-tiba seorang lelaki—berparas bisa—dengan stelan kantoran, menghalangi jalannya. Lelaki yang memegang gelas berisi cairan serupa teh, itu, memandang gadis berpiyama tersebut dengan tatapan mencemooh. "Apa kau salah masuk tempat?!" ejek lelaki itu. Mata gadis itu memicing. Rautnya jelas mengatakan jika ia benci diganggu. "Aku memang sengaja ke sini." Lelaki itu terkekeh geli. "Dengan piyama seperti itu." Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan tersebut, sebelum akhirnya kembali memandang lawan bicaranya. "Lihatlah, memangnya ada pengunjung yang menggunakan piyama sepertimu," celanya lelaki itu, "apa kau tidak malu," kikiknya mengejek. "Malu? Kurasa kau yang harusnya malu, pak tua." Sang gadis menyeringai. "Oh, atau kau frustasi karena tidak dapat membeli jalang, hingga menggangguku?" Melihat wajah lelaki tadi memerah, gadis itu menyunggingkan senyumnya. "Dengar, jika kau tidak memiliki dompet tebal." Membuat lingkaran menggunakan tangannya, tepat di depan wajah lelaki itu. "Setidaknya, wajahmu harus tampan!" Berhasil membuat lelaki yang mengganggunya terdiam, gadis itu lantas pergi. Seorang lelaki tampan berhidung panjang dan mancung, menyeringai, waktu melihat gadis unik, berpiyama itu membuat lawannya terdiam. Ia jadi penasaran akan rasanya. Meninggalkan gelas wine-nya, pria itu beranjak dari duduknya demi mencari wanita tadi. Cukup lama mencari akhirnya, ia menemukan gadis berpiyama itu di sebuah kursi yang hanya berjarak beberapa meter dari DJ. Ia mengisi ruang di sebelah sang gadis. "Hay." Gadis berpiyama itu menengok. Ia menaikan sebelah alisnya. "Siapa?" Si tampan itu lantas mengulurkan tangan berjari panjang dan langsingnya. "Vincent Lawrence." Gadis itu menjabat tangan lelaki di sebelahnya. "Baiklah." Kening Vincent berkerut saat tidak mendapatkan respon yang seharusnya ia dapatkan. "Namamu." Gadis ini tidak tahu cara berkenalan atau "Baiklah" adalah namanya? Pikirnya. "Maaf, tapi aku tidak sembari mengucapkan namaku," kata sang gadis dengan intonasi angkuh. Gadis itu kembali memandang Disc jockey. Bukannya tersinggung, Vincent malah terkekeh kecil. Rasa penasarannya akan gadis itu makin menjadi. "Jadilah pelacurku malam ini." Terusik dengan kata-kata tersebut. Si gadis berpiyama langsung menengok Vincent. Rautnya menggambarkan kalau ia tidak senang dengan tawaran lelaki tampan itu. "Maaf, Tuan, tapi aku bukan pelacur." "Tapi aku menyukaimu." Gadis berpiyama itu, tampak tertarik. Ia memicingkan mata, sembari menarik garis senyumnya tipis. "Kau menyukaiku, walau dengan penampilanku yang begini." Vincent mengangguk ragu. Ia sedikit bingung atas perubahan sikap gadis di sebelah yang mendadak. "Y-ya, tentu saja." Gadis itu menerbitkan sebuah senyuman lebar di bibirnya. "Baiklah." "Eh." Kening gadis itu berkerut. "Kenapa, Eh?" "Maksudku, kau mau?" Gadis itu tersenyum. "Kita akan main di mana?" "Apartemenku di dekat sini." **** Sesampainya di kamar, Vincent langsung mengunci pergerakan lawan mainnya malam ini ke tembok. Sambil menyesap kenyal bibir sang gadis, tangannya melapas satu persatu kancing piyama. Hanya tersisa bra. Gadis itu melenguh saat gundukannya di remas. Tak mau kalah, ia pun mengusap bagian bawah Vincent yang masih terlindungi jeans hitam. Setelah sama-sama tidak terbalut sehelai benang, Vincent memajukan badannya, hendak menyarangkan miliknya dengan posisi berdiri. Namun, hal itu langsung di cekal oleh lawan mainnya. "Kau tidak menggunakan pengaman?" "Aku bersih." Ketika hendak kembali maju, gadis itu menahan. "Tunjukan aku bukti, atau aku tidak akan melanjutkan ini." Tidak mau membuang waktu, Vincent lantas mengambil surat pemeriksaan kesehatannya di dalam laci meja, di samping tempat tidurnya. Mata gadis itu membaca dengan saksama, setelah memastikan bahwa Vincent sehat dari penyakit menular, ia mengembalikan surat tersebut. Vincent, membuang surat tersebut ke lantai. Sambil terus merasakan manis bibir lawannya, ia membawanya ke ranjang king size. Hampir menenggelamkan miliknya, secara reflek gadis itu menutup miliknya. "Pe-pelan-pelan. Aku masih perawan." Gadis itu berkata dengan kedua pipinya yang merona, serta pandangan yang ia alihkan ke arah lain. Seolah malu karena masih perawan. Vincent gemas dan tidak sabar menyicipi sang gadis saat melihat ekspresi malu-malu sang gadis. Ia sungguh tidak menyangka seorang yang minim pengalaman. Namun, mampu memuaskannya hanya dengan permainan mulut. "Tenang, Honey. Aku akan bermain pelan." Ia menyeringai dan perlahan menanamkan miliknya. Ketika milik tegang Vincent tertanam setengah, ia melihat gadis itu tampak kesakitan. Dalam sekali hentakan, Vincent dan gadis itu menyatu. Sebelum bergerak, Vincent menyesuaikan miliknya. Setelah terbiasa, lelaki tampan itu melakukan hal yang seharusnya. Suara-suara khas memenuhi ruangan besar dan lega ini. Vincent sungguh menikmati permainannya kali ini. Kini si tampan itu paham kenapa harga seorang jalang perawan begitu mahal. "Sebutkan siapa namamu?" tanya Vincent sambil terengah. "Bae. Panggil aku dengan nama itu." Setengah jam berikutnya suara lenguhan panjang yang berasal dua orang yang tengah bercinta, menandakan kalau masing-masing telah mendapatkan klimaks masing-masing. Vincent yang terengah mengeluarkan miliknya, lalu menggulingkan tubuhnya ke sebelah, gadis tersebut. **** Sinar mentari yang menelusup di antara cela-cela jendela kamar, membangunkan seorang gadis dari tidur lelapnya usai permainan panas. Ketika tanpa sengaja melihat jam dinding, dengan panik ia segera turun dari tempat tidur. Matanya menyusuri setiap jengkal lantai—mencari piyama yang entah di mana Vincent lemparkan. "Kau sedang apa?" Satu suara bariton milik Vincent, menganggetkan gadis yang tengah mencari piyama kuningnya. Sang gadis menegok ke belakang sebentar. "Astaga, kau menganggetkanku saja," ucapannya kesal, "oh, ya, apa kau lihat piyamaku?" Vincent yang memegang secangkir kopi, menyesap minumannya. "Oh, piyama murahanmu itu, tengah berputar-putar di mesin cuci mahalku," ucapannya angkuh. Gadis itu berbalik badan. Ia menatap Vincent tajam. "Kenapa kau mencuci piyamaku, hah?! Memangnya aku menyuruhmu mencucinya." Vincent mendengkus, ia agak terhina atas cercaan yang dilayangkan padanya. "Hey, detergenku adalah yang terbaik di seluruh negeri!" tekannya. "Jadi kau tidak perlu khawatir." Gadis itu terduduk lemas di atas tempat tidur. "Bukan detergenmu yang ku permasalahkan, tapi ..." Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Masa aku hanya mengenakan pakaian dalam untuk pulang," katanya dengan pipi merona. Vincent terkekeh kecil. "Ya, kurasa kau boleh mencobanya. Siapa tahu kau dapat viral." Lelaki itu menyeringai. Gadis itu melemparkan tatapan, seolah hendak membunuh, lelaki di hadapannya. "Kepalamu mau kupukul, ya." Sejurus kemudian, ia teringat akan dalamannya. "Oh, ya, di mana dalamanku." Melihat Vincent yang hanya terdiam. Ia merengut. "Jangan bilang kau mencucinya juga?" ucapnya frustasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD