Sebuah penawaran

1151 Words
Dengan melihat ekspresi Vincent, sepertinya tebakan Olivia benar. Gadis itu mendesah kesal. Waktu melihat Vincent memandangnya, secara perlahan, Olivia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang bugil. Lupakan soal pulang, kini Olivia mesti menutupi tubuhnya, takut kalau-kalau, Vincent ingin bercinta lagi dengannya. Melihat sikap waspada gadis itu, Vincent pun terkekeh. "Kau sungguh menggemaskan, Bae." Mendengar itu, pipi Olivia sontak memerah. Dengan angkuh bercampur rasa malu, ia membuang pandangannya ke arah lain. "Sudah, jangan bicara. Kau memang licik. Sengaja mencuci pakaianku agar kau bisa menyaksikan tubuhku, bukan?" Olivia berkata sinis. Vincent kembali terkekeh gemas. Memiliki wanita seperti gadis ini, pasti sangat menyenangkan, pikirnya. "Aku tidak selicik itu," kekehnya, "itu pakaian dalammu ada di atas sofa." Olivia menengok pada sofa yang dimaksud Vincent. Ia tersenyum senang karena menemukan dalamannya. Olivia turun dari tempat tidur. Setelah berhasil mendapatkan dalamannya, ia memakainya satu persatu. Vincent yang memandang Olivia memasang satu persatu, dalamannya, hasrat Vincent kembali naik. Lelaki tampan berhidung mancung itu, meletakkan cangkir berisi minumannya ke atas meja, lalu mendekati Olivia. Ia memeluk tubuh ramping gadis itu dari belakang. "Ayo kita lakukan lagi," bisiknya di telinga Olivia. Vincent meremas kecil bagian belakang gadis itu. Olivia berbalik, ia mendorong Vincent. Matanya memicing. "Maaf, Tuan, tapi aku hanya bermain denganmu sekali. Oke!" "Tapi aku bisa frustasi jika tidak melakukannya," ucap Vincent sedikit memohon. Olivia mendengkus. "Memangnya aku perduli," katanya cuek. Tidak lama kemudian. "Berikan aku baju dan celanamu." Vincent tertohok dengan permintaan gadis di depannya itu. "Tidak akan," katanya cepat. Olivia merengut. "Oh ayolah, Tuan. Aku bisa mati kalau tidak pulang sekarang." Melihat raut memelas Olivia, Vincent pun menyeringai. Lelaki itu dengan liciknya menyuruh sang gadis membuatnya ke puncak kenikmatan dengan alternatif lain. Demi mendapatkan baju dan celana, Olivia pun setuju. Setelah Vincent mendapatkan puncak kenikmatan Olivia menagih pakaian milik Vincent. Akan tetapi, lelaki itu mengingkari janjinya, dan berkata akan memberikan apa yang diminta Olivia, setelah melakukan penyatuan. "Apa kau itu lelaki?!" Olivia memandang Vincent sentimen. "Lelaki itu yang dipegang kata-katanya, Tuan." Harga diri Vincent sedikit tergores. Ia menghela napas, kemudian berjalan ke arah lemari pakaiannya. "Baiklah, kau menang." Ia melemparkan baju putih dan training panjang hitamnya pada Olivia. "Memangnya kita sedang lomba apa?" Olivia mengejek, seraya memakai pakaian Vincent. Baju yang dikenakannya tampak begitu gombrong, untung saja, training Vincent memiliki tali di bagian pinggang sehingga celana itu tidak melorot. "Ya, sudah kalau begitu aku pamit, dulu. Sampai jumpa dilain waktu." Sebelum Olivia pergi, Vincent, menahannya. "Jadilah jalangku." Olivia menghela napas berat. "Bukankah sudah kubilang kalau aku bukan jalang," ucapnya tegas, "aku melakukannya denganmu hanya karena suka dan tidak lebih." "Akan kubayar berapapun yang kau mau, Bae." Olivia mengusap wajahnya frustasi. "Lima ratus juta per bulan." Pikirnya hanya orang bodoh yang mau membayarnya dengan uang sebanyak itu. "Baiklah," ujar Vincent setuju. Olivia melongo melihat orang bodoh di depannya. "Kau mau menghabiskan uang sebegitu banyaknya, hanya untukku?" "Memangnya kenapa? Lagi pula uang sebesar itu." Vincent menggedikan bahunya. "Tidak akan langsung membuatku miskin." Sejak ayahnya meninggal karena kecelakaan, sebagai anak tunggal Vincent mewarisi saham tertinggi di perusahaan platform berbagi video yang termasyhur di seluruh dunia. Di samping itu, ia juga menanamkan sahamnya di beberapa perusahaan terkemuka, dan dengan itu tidak heran ia bisa mendapatkan uang sebesar ratusan triliun per-tahun. "Kau tahu. Uang sebanyak itu dapat kau gunakan untuk menyekolahkan sepuluh anak jalanan sampai mereka bisa bekerja di kantoran." Vincent berdecak. Tingkah Olivia seperti ahli agama yang tempo hari datang ke tempatnya untuk berceramah, dan ia, sedikit tidak menyukainya. "Ya, itu benar, tapi aku tidak perduli dengan mereka." Olivia tertohok. Pantas saja di negaranya masih ada orang miskin. "Baiklah, itu hakmu." "Jadi, apa kau mau?" Olivia tersenyum. "Tidak." Tanpa berlama-lama lagi, ia pergi dari apartemen tersebut. Vincent menggeram. Ia merutuki perempuan yang sok idealis, padahal telah menyerahkan keperawanan secara cuma-cuma kepadanya. Tidak pernah ia sangka di bumi ini masih ada orang-orang yang tidak silap pada uang. Demi menuntaskan hasratnya, Vincent naik ke atas tempat tidur. Pilihannya saat ini hanya memuaskan diri secara solo. Sambil membayangkan Olia ia bermain dengan tangannya. Matanya terpejam, menikmati permainannya sendiri sambil menggumkan nama gadis itu. Baru hampir mencapai puncak, kesenangan Vincent terganggu karena ponselnya berdering. Lelaki mengerang kesal. Namun, saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, kekesalannya memudar. Vincent mengangkat telepon tersebut. Senyum terbit di bibir berisinya. "Halo, Sayang." *** Hari ini kelas Olivia ditunda karena rapat antara rektor dan jajaran dan pemilik yayasan. Olivia tersenyum ketika melihat Cristian, teman lelakinya yang sedang duduk di kursi, dengan posisi menghadap taman. Gadis bersurai panjang coklat gelap itu menghampiri temannya. Ia memukul pelan bahunya. "Halo, Tuan Bell." Olivia mengisi ruang kosong di sebelah lelaki tampan bermata bulat itu. Cristian memandang Olivia kesal, kemudian menutup buku pelajarannya. "Jangan panggil aku Tuan Bell. Aku belum tua!" Olivia mendengkus. "Baiklah, Crissy." "Jangan panggil aku Crissy. Aku bukan bayi!" "Tapi kakakmu memanggilmu begitu?" Olivia sering ke rumah Cristian untuk mengerjakan tugas atau sekedar bermain. "Memangnya kau itu keluargaku?" Ungkapan itu membuat Olivia kesal. Entah mengapa ia tahan berteman dengan Cristian sampai tiga tahun. "Baiklah, jagoan!" "Jangan panggil aku jagoan. Aku bukan anak-anak!" Olivia menggeram, ia memukul kepala Cristian hingga lelaki itu mengaduh kesakitan. "Lalu kau mau kupanggil apa? Setan?!" ucapnya kesal. Andai saja Olivia ini lelaki, ia pasti telah menghajarnya. Cristian memandang Olivia kesal. "Memangnya susah untukmu, memanggilku Cristian, saja." Olivia mencebikan bibirnya. "Aku 'kan hanya ingin terdengar akrab," jawabnya cuek, "eh, tapi kenapa, sih aku tidak boleh memanggilmu dengan sebutan Crissy? Kita 'kan akrab." "Karena kau bukan keluargaku!" Olivia tersenyum. "Ya, sudah, aku daftar jadi keluargamu saja, ya?" Ia pasti akan merasa senang jika tinggal di rumah besar dan mewah milik Cristian, pikir Olivia. "Tidak mau. Keluargaku itu tidak ada yang jelek," kekeh Cristian tanpa perasaan dan hal itu langsung membuat Olivia meniju bahu Cristian. Lelaki itu memang bermulut tajam. "Sialan!" Umpatan tersebut hanya membuat Cristian terkekeh. "Kenapa kemarin tidak masuk?" tanya Cristian. Olivia tidak menjawab pertanyaan tersebut. Ia menekuk wajahnya kesal. Perempuan mana yang terima jika dikatai jelek, apalagi setiap bercermin ia menganggumi wajahnya yang lumayan. Olivia memiliki bentuk wajah Oval. Alisnya lebat, lalu mata almondnya memiliki lipatan dalam, serta bulu mata yang cukup lebat dan lentik. Hidungnya mungil dan mancung serta bibir bervolume bewarna merah ceri walau tanpa lipstik. Kulitnya yang bewarna kuning Langsat khas Asia. Walau hanya memakai bedak tipis, bekas jerawat di wajahnya langsung tak tampak. "Hey, jangan cemberut begitu. Kalau wajahmu tambah jelek bagaimana?" pertanyaan itu langsung membuat Olivia memandang teman tampannya itu jengkel. "Bisa tidak, mulutmu itu di-filter sedikit?!" "Tidak," kata Cristian, kemudian tertawa. Ketika mendengar tawa itu, Olivia pun menghentikan marahnya. "Sialan!" kata Oliva yang akhirnya ikutl tergelak kecil. Melihat tawa Olivia, Cristian pun tau kalau kemarahan temannya itu sudah mereda atau bahkan hilang. "Kenapa kemarin tidak masuk?" "Aku kesiangan!" Cristian mencebikan bibir tipisnya. "Hm, nanti kalau beasiswamu dicabut, baru tau rasa!" "Hey aku 'kan baru bolos sekali, masa langsung dicabut?" "Ya memegang, tapi kau bisa kebiasaan. Nanti." Olivia mencebikan bibirnya, lalu tidak lama kemudian, terdengar satu suara bariton yang memanggil nama Cristian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD