Bertemu lagi dengan Tuan Lawrence

1062 Words
Dua minggu lalu, Vincent pergi ke alamat Olivia yang tertera di berkas penerima beasiswa. Namun, sampai di sana, terdapat papan nama yang bertuliskan, "rumah ini dijual". Harsat yang menggebu, menyert, Vincent ke club malam. Ia datang untuk mencari seorang jalang yang agak mirip dengan Olivia. Lelaki tampan dengan rahang maskulin itu duduk, di kursi bar, kemudian memesan minuman. Tidak lama, dua orang jalang, berias mencolok dengan baju super seksi—menampakan lekuk—menghampiri Vincent. Kedua wanita itu menawarkan diri untuk ditiduri oleh si tampan. Berkat ketampanan dan pesona yang tak terelakan, Vincent menjadi tamu idola di club malam ini. Bahkan para jalang rela jika tidak dibayar, asal dapat bercinta dengannya. Meski telah digoda dan ditawari permainan kasur yang gratis dari dua jalang cantik itu, Vincent menolaknya. Ia kehilangan minat saat mereka mengelus-elus pahanya. Setelah bermain dengan Olivia, Vincent hanya ingin bermain dengan gadis angkuh seperti Olivia. Setelah mengusir dua jalang dari hadapannya, Vincent memesan whiskey kepada brantender. Sambil meminum alkoholnya, Vincent mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, cukup besar ini. Alis Vincent bertaut ketika melihat satu gadis yang duduk di paha seorang lelaki berpenampilan bos. Terlihat gadis berpakaian seksi itu mengalungkan tangannya ke leher lelaki si lelaki. Dengan d**a yang bergemuruh, Vincent meletakan gelasnya di atas meja, kemudian buru-buru melangkah menuju gadis yang berhasil membuat emosinya melonjak. Tanpa memedulikan, lelaki yang diduduki oleh gadis itu, Vincent menarik sang gadis kemudian membawanya pergi. Lelaki yang merasa belum selesai bersenang-senang, lantas menghampiri Vincent. "Hey, Bung! Apa-apaan kau? Aku belum selesai dengannya," protes lelaki itu. Vincent berhenti. Ia menoleh pada lelaki tadi. "Wanita ini milikku!" Gadis yang diseret oleh Vincent menunjukan wajah tidak senangnya. Ia menyentak lengannya, kemudian mendekati lelaki tadi. "Apa-apaan kau ini!" semburnya pada lelaki yang menariknya paksa. "Bae, sebenarnya apa yang kau lakukan dengan lelaki ini, hah?!" tanya Vincent kesal. "Aku sedang bekerja, Tuan." Suara Olivia terdengar parau. "Kerja?" tanya Vincent sekartis. "Aku ... seorang jalang sekarang." Meski sedih mengakui dirinya telah menjadi orang rendahan. Namun, sudah takdirnya begini. "Jalang? Kenapa?" Padahal wanita di depannya ini menolak mentah-mentah tawaran Vincent kala itu. "Itu urusanku dan tidak ada hubungannya denganmu Tuan ... siapa namamu?" Ingatan Olivia bagus untuk segala hal, kecuali dalam mengingat nama seseorang. Ia terlalu malas, mengisi memory otaknya untuk orang yang tidak berinteraksi banyak, dengannya. Vincent berdesis. Ia menatap gadis di depannya itu marah. "Kau lebih memilih untuk menjadi jalang murahan yang di sentuh semua orang, daripada menjadi jalangku seorang!" tukasnya. "Ya." Olivia menjawab tegas. Merasa kesal dengan jawaban tersebut, tanpa basa-basi, Vincent menggamit tangan Olivia dan membawanya pergi. "Ikut aku sekarang!" Belum jauh kedua orang tersebut melangkah Olivia menyentak lengannya. "Hey Tuan! Kau harus menunggu giliranmu," kata Olivia melantangkan suaranya. "Tidak ada giliran-giliran." Vincent kembali menarik paksa tangan Olivia dan menyeretnya keluar dari club night tersebut. Sedangkan lelaki berpenampilan bos dengan perut buncit itu hanya bisa mengumpat. Semua orang tahu siapa Vincent dan tidak berani melawannya. Lelaki itu terkenal sedikit brutal pada orang-orang yang berurusan—dalam konteks buruk—dengannya. Ketika sampai di mobilnya. Vincent membuka pintu mobil itu dan mendorong kasar tubuh Olivia ke dalam mobilnya. Ia memasangkan sabuk pengaman. "Jangan coba-coba lari! Atau aku tidak akan segan-segan menyakitimu!" Vincent mengancamnya keras. Setelah menutup pintu. Vincent mengitari mobilnya dan masuk ke kursi pengemudi—di sebelah Olivia. Ia menatap Olivia seraya menujukan seringainya. "Sekarang kau milikku, Bae." "Tidak, Tuan, tubuhku ini milik bosku karena dia telah mengeluarkan banyak uang untuk membeliku." Mengingat itu, Olivia diam-diam menyumpahi Jeni, perempuan yang telah menjualnya. "Aku akan membelimu dari mami," ucap Vincent. Lelaki tampan menyalakan mesin mobil dan menjalankannya. "Kau, kenal mami?" tanya Olivia. "Tentu. Aku salah satu pelanggannya." Olivia menyipitkan matanya, lalu mendengkus dingin. Ia merasa kasihan pada Shopie—kakak Cristian. "Kau juga sering bermain jalang, Tuan ...." "Vincent Lawrence." Lelaki itu mengingatkan namanya pada Olivia. "Memangnya ada yang salah dengan itu?" Si tampan mengambil ponselnya dari saku celananya dan menelfon seseorang. "Halo, Mami, ini aku Vincent Lawrence. Sekarang Olivia sedang bersamaku dan besok pesuruhku akan memberikan uang untuk membeli pekerjamu," ujarnya. "Baiklah, Tuan, aku mohon jaga anak kesayanganku itu, ya." "Hm." Setelahnya lelaki itu memutus sambungan telepon mereka dan meletakan ponselnya di atas dashboard. "Apa kau tidak merasa bersalah pada tunanganmu yang baik dan secantik dewi itu?" Olivia sungguh tidak habis pikir. "Bermain jalang dan Shopie adalah dua hal yang berbeda. "Apa yang berbeda? Kenapa tidak bermain dengan tunanganmu saja daripada harus menyakitinya." "Kenapa kau ini banyak bicara, hm?" "Terserah, ini mulutku." Vincent mendesah. "Oh, ya, apa kau selalu menuruti keinginan mami." "Tentu, karena dia pemilikku." "Oke, jadi mulai sekarang kau harus menurutiku, karena aku pemilik barumu." Vincent menyeringai. Pupil mata Olivia membesar. "Apa mami setuju untuk membeliku darinya?" "Tentu saja." Setelah hening beberapa saat, Olivia membuka suara. "Erhem, kau membeliku untuk menjadi pelacurmu 'kan?" Vincent mengerutkan keningnya. "Memangnya kau pikir untuk apa lagi," tukasnya. Olivia bernapas lega, meskipun tetap menjadi jalang, setidaknya dia hanya disentuh oleh satu lelaki. Namun, satu pertanyaan muncul di benaknya, kenapa lelaki ini begitu menginginkan dirinya, memangnya apa yang spesial dari dirinya. "Tuan Lawrence." "Ya." "Kenapa kau begitu menginginkan aku untuk jadi pelacurmu?" Padahal sudah hampir sebulan dari hari itu. Hari dimana Vincent memberikan penawaran menggiurkan padanya. "Aku tidak pernah sepuas itu saat berhubungan intim dan aku jadi terobsesi padamu," jelas lelaki pemilik tatapan tajam layaknya elang itu. "Bagaimana, jika nanti aku tidak lagi memberikan kepuasan untukmu?" tanya Olivia, "apa kau akan menjualku lagi?" "Tidak, Bae. Aku tidak melakukan hal serendah itu." "Lalu?" "Kebetulan aku memiliki dua peliharaan buaya muara Kalimantan dan ...." Olivia mendengkus kesal. "Dan kau ingin menjadikan aku makanan untuk dua buaya itu? Lebih baik kau jual saja aku dengan orang lain. Menyebalkan!" semburnya marah. Vincent tergelak. "Hey, aku juga tidak akan sekejam itu, kau pikir aku tega menjadikanmu makanan mereka," sanggahnya, "mungkin kau akan dijadikan pawang buaya," lanjutnya terkekeh. Kembali Olivia mendengkus geli. "Menyebalkan." Ketika melewati jalan sepi, Vincent memberhentikan mobilnya di tepi jalan. "Ayo pindah duduk ke belakang." "Mau apa?" tanya Olivia, tidak mengerti. "Kau belum pernah berhubungan di dalam mobil bukan?" tanya Vincent. Olivia menelan ludahnya. "La-lalu, kau pernah?" "Tidak, makanya aku ingin mencobanya denganmu," ujar Vincent, "memangnya kau tidak penasaran dengan sensainya?" Lelaki itu memprovokasi rasa keingin tahuan wanita yang tengah duduk di sebelahnya. Olivia mengigit bibir bawah dalamnya. Ia pernah melihat itu di film biru dan jujur saja ia penasaran. "Yasudah," ucapnya. Vincent menyeringai. " Ayo pindah ke belakang." Keduanya pun pindah ke kursi belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD