Jalang pribadi Tuan Lawrence

1127 Words
Olivia terbagun dari tidurnya, setelah beberapa ronde bermain dengan calon pemilik barunya, Tuan Vincent Lawrence. Ia menoleh ke samping dan melihat tuannya yang tengah tertidur. Gadis itu berdecak kagum saat melihat wajah tampan Vincent dari jarak dekat. Matanya menyusuri satu persatu wajah Vincent, mulai dari bulu matanya yang lebat dan lentik sampai ke bibir merah cerinya. Kulit wajahnya bewarna kuning langsat, halus dan tanpa noda sedikit pun. Sedetik kemudian, Vincent membuka matanya. Lelaki itu sepertinya tahu kalau Olivia tengah memandangi wajahnya, sedari tadi. Merasa malu, Olivia buru-buru untuk turun dari tempat tidur. Namun, belum sempat, Olivia menapaki lantai, Vincent dengan segera menariknya hingga, gadis itu jatuh di d**a telanjang Vincent. "Ayo kita lakukan lagi, Bae." Bisikan Vincent terdengar sangat erotis. Olivia meneguk salivanya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia gugup. "Tap-tapi, bukankah semalam kita sudah melakukannya sampai beberapa ronde, Tuan." Vincent menyeringai. Ia membalikan keadaan sehingga Olivia kini berada di bawahnya. Dia membelai wajah jalangnya perlahan. "Aku ingin lagi." Vincent mencium bibir Olivia, lalu melumatnya. Ia sedikit mengangkat tubuhnya, lalu mengalihkan selimut yang menjadi penghalang bertemunya kulit mereka Vincent yang sudah sangat ingin berada di dalam surga dunianya, lantas menumpukan kedua lututnya di atas tempat tidur. Ia membuka tungkai Olivia. Perlahan tetapi pasti, keduanya pun menyatu. Ruangan yang mulanya hening, kini mulai penuh dengan suara desahan nikmat yang berasal dari dua insan yang tengah bercinta. *** "Kapan Tuan akan mengantarkan uang pembelianku pada mami?" tanya Olivia saat ia dan Vincent, duduk bersama menikmati sarapan yang harus tertunda, akibat nafsu berahi Vincent. "Kenapa kau bertanya? Apa kau takut aku berlaku curang?" Vincent memakan roti tawar yang sebelumnya telah ia lapisi dengan selai strawberry. Selai favoritnya. "Tidak, bukan begitu, aku hanya ingin ikut," jawab Olivia, "boleh, 'kan?" Kening Vincent mengernyit. "Buat apa kau ikut?" "Aku ingin mengucapkan selamat tinggal dan terimakasih, karena dia sudah bersikap baik kepada ku selama ...." Olivia coba mengingat sambil mulutnya komat-kamit, menghitung tepatnya berapa hari dia tinggal bersama mami. Namun, ia menyerah saat tidak mengingatnya. "Entahlah aku lupa." Vincent tersenyum kecil. "Baiklah, tapi sepertinya kau akan pergi dengan pesuruhku," ujarnya. Olivia mengagguk. "Baiklah, tidak masalah." Setelah tidak ada pembicaraan di antara keduanya, Olivia angkat bicara. "Tuan, apa aku akan tinggal di sini." "Hm." Vincent fokus pada rotinya. "Bersamamu?" "Kau mengaharapkannya apa?" "Maksud Tuan?" Vincent memandang wanita di depannya ini. "Kau maunya aku tinggal bersamamu atau tidak?" Olivia mendengkus. "Tentu saja tidak." "Kenapa?" "Karena jika tinggal bersama, bisa-bisa aku tidak akan sempat memakai baju," jawab Olivia. Sekelebat ingatannya tentang Jayden Allen, mampir di kepalanya. Ah bagaimana kabar lelaki itu, ya? tanyanya dalam hati. Vincent tersenyum. "Ide yang bagus." Hal yang menyenangkan jika melihat tubuh polos Olivia setiap saat, pikir lelaki itu. "Eh, apanya yang bagus? Memangnya ide apa yang aku cetuskan?" tanyanya tidak mengerti. "Ide untuk tidak memakai baju," jawab Vincent. Olivia mendengkus. "Hey, Tuan, itu bukanlah sebuah ide!" "Oke, jadi mulai hari ini aku akan tinggal bersamamu." Vincent mendeklarasikan keinginannya. Olivia mengerutakan keningnya. Calon Tuannya ini, seenaknya saja. "Loh, kenapa jadi seperti itu?" Wajahnya cemberut. "Kenapa memangnya?" Vincent bertanya santai. Olivia menyatukan telapak tangannya dan memohon kepada Vincent. "Kumohon, dari hati yang terdalam agar Tuan tidak tinggal bersamaku, ya." Vincent terkekeh kecil saat melihat jalangnya melakukan hal konyol itu. "Kenapa? Apa kau takut, aku menggaulimu, setiap saat?" "Memangnya tidak. Kau 'kan berlibido tinggi, kurasa." Vincent tersenyum kecil. "Baiklah, kau akan tinggal sendiri di sini." Olivia bernapas lega. Ia tersenyum manis. "Terima kasih." *** Setelah mandi dan bersiap, Olivia turun ke lobby apartemen dan masuk ke mobil Vincent. Di dalam mobil tersebut, sudah terdapat orang suruhan Vincent. "Nyonya ikut juga?" Olivia memandang lelaki di sampingnya ini sebal. "Kenapa memanggilku Nyonya? Apa wajahku terlihat boros, ya?" Orang suruhan Vincent, tampak menahan tawa. "Nyonya itu milik Tuan Vincent, jadi sudah seharusnya saya memanggil Anda nyonya." Olivia mengangguk paham. Namun, kemudian membuat gerakan menepis dengan tangannya. "Milik apanya, aku itu cuma pekerja Tuan Vincent, sama sepertimu. Kalau Kak Sophie baru miliknya Tuan Vincent," cicitnya, "Tau Shopie, 'kan?" "Tidak." "Ih itu loh tunangan Tuan Vincent," terangnya. "Oh iya, yang cantik itu, 'kan." Pesuruh Vincent menanggapi Olivia. "Benar, yang cantik seperti bidadari yang baru turun dari kahayangan." Lalu tidak lama ponsel orang suruhan Vincent berdering. Lelaki itu mengangkat telepon. "Ya, Pak" "Biar aku saja yang mengantarkan uang tersebut," ucap Vincent dari dalam telepon. "Baik, Pak." Usai memutus telepon, lelaki tadi memasukan HP ke saku jas, kemudian turun dari mobil. Olivia menyerngitkan dahi. "Ada masalah ya?" gumamnya. Ia tetap menunggu di dalam mobil sambil memainkan ponsel. Tidak lama berselang Vincent masuk ke mobil. Melihat sosok lelaki berhidung mancung itu, Olivia mengernyit. "Ada apa, Tuan? Bukannya Tuan, menyuruh orang kepercayaanmu untuk mengantarkan uang pembelianku, ya?" "Aku tidak percaya sepenuhnya kepada dia." Olivia mendengkus geli. "Apa Tuan pikir dia akan membawa uang milikmu?" Ia tersenyum miring, bermaksud mengejek Vincent. "Bukan tentang uang. Tapi tentang kau. Aku tidak mau jika dia menggaulimu secara paksa." Perkataan itu sontak membuat Olivia kesal. "Apa hanya ada kemesuman di pikirannya?" gumam Olivia pelan sekali. "Kau bicara apa?" Seolah memiliki pendengaran infrasonik, rupanya Vincent dapat mendengar ocehan pelan Olivia. Apa dia ini lumba-lumba? Batin Olivia. Ia menoleh pada Tuannya ini. "Tidak, Tuan." Vincent meruncingkan tatapannya. "Bilang! Atau kau akan menggaulimu disini." Ancamnya. "Aku bilang apa kita akan pergi atau tidak, begitu Tuan," kilahnya. "Sepertinya bukan itu?" Olivia menyerah. Ia mendesah malas. "Aku bilang apa hanya ada kemesuman di pikiranmu," ujarnya tak acuh. Vincent mengangguk kecil. "Tidak juga," jawabnya enteng, "tapi jujur saja, jika bersamamu otakku langsung penuh dengan hal yang seperti itu," lanjutnya terkekeh. Olivia berdecak kesal. *** Setelah menyerahkan uang sebesar satu milyar kepada mami. Vincent dan Olivia singgah dulu ke restoran untuk makan siang. "Tuan, apa uang satu miliar tidak kebanyakan?" Olivia menyuap potongan steak ke mulutnya. "Tidak, lagi pula aku hanya akan mengeluarkannya sekali." Vincent memotong steaknya. Olivia menaikkan sebelah alisnya. Ia ingat betul, kalau tempo hari, Vincent berkata akan membayar dirinya sebesar satu milyar perbulan. "Apa Tuan tidak membayarku, sebesar satu miliyar perbulan?" Vincent menelan potongan steak yang telah ia kunyah, lalu melihat Olivia sebentar. "Tentu saja tidak." Olivia merengut kesal. "Bukannya Tuan pernah bilang, akan membayarku, satu milyar perbulan, jika aku mau jadi pelacurmu?" "Kapan aku bilang seperti itu?" tanya Vincent, tanpa mengalihkan atensinya dari steak yang tengah ia potong dengan pisau. "Sekitar beberapa bulan yang lalu, saat Tuan mencegatku, ketika baru pulang kuliah." "Lalu, apa kau menerima tawaranku saat itu?" "Ya ... tidak." "Sekarang kau paham 'kan," ujarnya kembali memakan potongan steaknya. Olivia menekuk wajahnya. Ah andai saja dia seorang peramal, tentu saja ia akan menerima tawaran Vincent saat itu. Oh menyebalkan, rungut Olivia dalam hati. "Oh ya, Tuan, tentang Kak Sophie ...." "Jangan bicarakan dia!" "Kenapa? Apa Tuan putus dengannya?" "Tugasmu hanya melayaniku. Jadi jaga batasanmu," kata Vincent dingin. Olivia sangat tertohok mendengar perkataan dingin lelaki di depannya "Baiklah!" tekannya kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD