Benih-benih cinta

1341 Words
Sebulan kemudian. Jayden Allen mendatangi rumah bordil Marry. Maksud kedatangannya, tidak membeli dan menjadikan Olivia istrinya. Hatinya sudah terpaut pada gadis itu, sejak permainan mereka. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Marry menujukkan batang hidungnya. Senyuman mengembang di bibir Marry saat melihat Jayden yang terakhir kali menyewa jalangnya, sekitar sebulan lalu. Jayden dan Marry, saling cipika cipiki. "Apa kabar, Tuan Allen?" Marry dan Jayden duduk di sofa yang saling berhadapan. "Oh ya, sudah hampir sebulanan ini, kau tidak pernah menyewa jalang pada Mami, bukan? Apa kau mulai berpindah tempat?" Jayden tersenyum. "Tidak, Mami, aku cuma ada perjalanan bisnis, makanya aku tidak datang," kekehnya. Marry ikut terkekeh. Ia merasa lega karena pelanggan kayanya tidak berpindah tempat, seperti mantan pelanggannya yang lain. "Oh ya, Mami, sebenarnya aku ke sini, ingin membeli Olivia darimu. Berapapun akan kubayar," ujar Jayden bersungguh-sungguh. Marry menujukan raut penyesalannya. "Maaf, Tuan Allen, tapi, Olivia sudah di beli," sesalnya. Raut wajah Jayden berubah muram. Sesal pun ia rasakan. "Kapan ...?" "Sekitar dua minggu lalu," Jawab Marry pelan. "Andai waktu itu kau memberitahukanku akan membeli Olivia, tentu akan kusimpankan anak itu untukmu." Jujur saja, dari pada menjual Olivia pada Vincent, ia lebih senang kalau Jaydenlah yang membeli gadis malang itu. Jayden mendesah kecewa, padahal niatnya tulus. Andai ia bisa mengulang waktu. *** Vincent dan Olivia tengah bergumul. Entah treatment apa yang Olivia berikan pada miliknya, hingga miliknya masih sempit. Lenguhan panjang terdengar dari mulut Vincent saat ia mencapai klimaksnya. Ia mengeluarkan cairan semen-nya ke rahim Olivia. Setelah cairannya habis barulah lelaki tampan itu mencabut miliknya, kemudian menggulingkan tubuhnya ke sebelah Olivia. "Tuan." Olivia memanggilnya Vincent yang tampak kelelahan. "Jangan bicara! Aku lelah!" Mendengar Vincent yang tersengal, Olivia lantas cekikikan, padahal mereka baru bermain tiga ronde. Olivia senang karena jamu yang ia minum, sangatlah efektif. Ketika Vincent tidur menyamping, Olivia pun membelai hidung tuannya dengan jari telunjuknya. Ia membelainya dari pangkal hidung sampai ke ujungnya. Melihat Vincent tidur, merupakan hobi barunya. "Tuan yang tampan," embusnya, menganggumi Tuannya yang terlihat extra berkilauan. Ketika asik menatap wajah tampan Tuannya, pobsel milik Vincent pun berdering. Olivia mendudukkan tubuh—polosnya— lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Melihat nama Sophie tertera di layar, raut Olivia berubah masam. Entah sejak kapan, Olivia merasa cemburu saat mendengar Vincent dan Sophie berbicara di telepon. Yang dilakukan Olivia, ia lah memutus sambungan telepon tersebut dan setelahnya, ia mengaktifkan mode pesawat, agar Sophie, tidak bisa menghubungi Vincent lagi. Usai meletakkan lagi ponsel Vincent di atas nakas, Olivia kembali berbaring dengan posisi menyamping. Ia ingin kembali mengaggumi keindahan wajah tuan yang ia cintai. "Aku mencintaimu Tuan," bisiknya. *** Sophie Bell menekuk wajah cantiknya. Ia merasa sangat kesal karena panggilan teleponya panggilnya di tolak begitu saja oleh Vincent. "Kakak kenapa? Sepertinya kesal sekali," tanya Cristian yang baru saja duduk di sebelah kakaknya. Pemuda itu terlihat membawa sekotak s**u di tangannya. Sophie mendesah."Vincent. Masa dia menolak panggilanku." Cristian terkikik karena kakaknya kini terlihat seperti b***k cinta. "Mungkin Kak Vincent lagi sibuk." "Tapi kenapa dia menolak panggilanku?" Sophie menujukan wajah curiganya. "Seperti yang dilakukan lelaki yang sedang bersama selingkuhannya." Ia sering melihatnya di drama Korea yang dia tonton. Cristian berdecak remeh. "Kakak itu terlalu banyak menonton drama, bertema perselingkuhan," cibirnya. Mendengar penuturan Cristian Sophie hanya mengerucutkan bibirnya imut. Cristian selalu saja merasa gemas saat melihat kakaknya melakukan hal itu. "Aku takut kalau Vincent selingkuh dariku, Crisy," ucap Sophie resah. Orang-orang yang sudah menikah pun kadang masih memiliki seorang pacar, apalagi mereka yang masih bertunangan, pikir gadis itu. "Jangan kuatir. Tidak ada alasan buat Vincent untuk selingkuh darimu." Cristian coba menenangkan kakaknya yang sedang gundah. Sophie mengangguk kecil. Tidak lama Gadis itu memulai pembicaraan. "Oh ya, apa kau udah punya pacar, Sy?" tanyanya yang tiba-tiba penasaran akan kisah percintaan sang adik. Cristian terhenyak dengan pertanyaan sang kakak. Lelaki itu cukup malu untuk mengakui, kalau ia, seorang lelaki tampan yang jomblo. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" "Jawab saja, Sy!" Cristian mendesah. Jujur lebih baik dari pada tidak jujur, tetapi tidak jujur demi kebaikan, kadang juga baik, sih. Ini Author lagi kenapa. "Belum," jawabnya. Sophie mengeryitkan kening. "Kenapa? Apa kau tidak normal?" tanyanya enteng. Mendengar itu, Cristian menatap kakaknya jengkel. "Enak saja. Aku normal!" serunya, kemudian suaranya melemah, "ada seorang gadis yang aku sukai." Ia agak malu untuk mengakui perasaannya. Mendengar itu, Sophie agaknya tahu siapa gadis yang dimaksud oleh adiknya. "Olivia?" tebaknya. Cristian menarik garis senyumnya tipis. "Iya." Sophie menujukan senyum jahilnya. "Hem, sudah kuduga. Jadi kapan, nih?" Gadis itu menaik-turunkan kedua alisnya berkali-kali. Cristian mendengkus. "Apanya yang kapan?" tanyanya berlagak pilon. Sophie berdecak saat mendengar penuturan sang adik. "Aku ragu kalau kau tidak paham maksudku," ketusnya. Cristian mendesah berat. Wajahnya muram, mengingat genap sebulan, ia tidak bertemu Olivia. Gadis itu seperti ditelan bumi. "Sudah sebulanan ini, dia tidak ada kabar." "Oh, ya." Sophie turut prihatin. "Tapi kenapa dia bisa tidak ada kabar? Apa kau sudah ke rumahnya?" "Itu dia. Aku tidak tau rumahnya." Sophie menaikkan sebelah alisnya heran. "Hey, bagaimana bisa kau tidak tau rumahnya?!" "Olivia itu menyebalkan!" Cristian merasa kesal. "Dia tidak pernah mau untuk mengajakku ke rumahnya," ucapnya. Sophie berdecak. "Kau ini bagaimana. Harusnya kau yang minta diajak?" "Gengsilah, masa aku yang minta," sanggah lelaki bermata bulat itu. Sophie mendengkus sebal. "Heh! Kalau mau mendekati itu, gengsi di buang dulu." Wajah Cristian tertekuk. Ada rasa penyesalan yang menyelinap di perasaannya. Andai saja dia tidak membesarkan gengsi, mungkin sekarang dia tidak perlu misuh-misuh sendiri. *** Vincent terbangun dari tidur. Ia mendudukkan tubuhnya, kemudian mata elangnya menangkap sosok Olivia yang tengah memakan salad buah di sofa. "Berapa lama aku tidur?" tanya lelaki berhidung mancung itu. "Kurang lebih satu jam, Tuan." Dengan membawa mangkuk saladnya, Olivia mendekati Vincet, kemudian naik ke atas tempat tidur. Ia duduk di sebelah tuannya. Ia menyodorkan mangkuk kaca bening, berisi salad pada Vincet. "Tuan mau?" "Tidak." Vincent menjawab pendek. "Jam berapa sekarang?" Olivia membuka televisi dan mencari channel dengan remote. "Tuan lihat saja sendiri," suruhnya angkuh. Vincent tidak senang dengan ucapan Olivia. "Hey, apa susahnya menjawab, hah?!" sergah lelaki itu. Tidak bisakah jalangnya ini merubah sifatnya sedikit, pikirnya. Olivia mendesah, kemudian, melirik jam dinding yang tergantung di atas TV. "Jam enam, Tuan," jawabnya kalem. Vincent terlonjak saat mendengar itu. Ia turun dari tempat tidurnya dan bersiap untuk pergi ke kamar mandi. Malam ini ia memiliki janji untuk makan malam penting bersama klien. "Siapkan bajuku. Aku ada pertemuan makan malam dengan klient!" Vincent berkata di sela langkahnya. Olivia menggeleng heran. Ia sudah seperti seorang istri yang menyiapkan baju suaminya. "Menyebalkan!" Gadis itu lalu turun dari tempat tidur dan menyiapkan baju stelan formal untuk Vincent. Meskipun tidak tinggal bersama, Vincent tetap menyiapkan beberapa baju stelan formalnya di lemari jalangnya untuk berjaga-jaga pada situasi seperti ini. Usai meletakan stelan Vincent di atas tempat tidur, Olivia pergi ke dapur untuk memasak makan malam. Tidak lama berselang, Vincent memanggilnya. "Bae ...!" Olivia yang masih belum selesai memasak omelette telur, langsung mematikan kompor. "Ada apa lagi dengan tuan itu," gerundelnya. Ia pergi menghampiri Vincent. "Ada apa, Tuan?" "Mana dasiku? Aku bilangkan, mau bertemu klien." "Tapi cuma dinner 'kan?" sanggah Olivia, "jadi untuk apa pakai dasi. Toh bukan di kantor." "Tapi aku tetap harus berpenampilan formal bukan?" balas Vincent. "Menurutku, kalau tidak bertemu di kantor untuk apa menggunakan dasi?" Vincent menatap jalangnya. "Lalu bagaimana jika klienku memakai dasi?" "Terserah dia. 'Kan itu dasinya." Vincent menggondok, gondok sekali. "Ambilkan dasiku sekarang!" bentaknya. Olivia menekuk wajahnya."Iya," tukasnya. Setelah mengambil dasi yang cocok untuk setelan Vincent, ia memeberikan dasi itu pada tuannya. "Ini." "Pasangkan!" Olivia meluruskan dasi tersebut. "Menunduklah!" Setelah Vincent menunduk, barulah gadis itu mulai memasangkan dasi pada kerah baju. Sangat merepotkan padahal bisa memasangnya sendiri kenapa harus menyuruh aku, dumal Olivia dalam hati. "Hey, apa kau baru saja mendumal di dalam hatimu?" tanya Vincent sinis. "Sudalah, Tuan! Jangan memperpanjang hal yang tidak penting. Nanti Tuan terlambat," omel Olivia. Setelah dasi tersebut terpasang, kemudian, Vincent menegakkan badannya, kemudian menangkup bibir Olivia dan melumatnya sebentar. "Andai aku tidak buru-buru. Tentu aku akan menggaulimu sekarang," tukasnya, "mulutmu itu sangat menyebalkan, kau tau?" Tanpa menunggu reaksi, Vincent pergi. "Dasar menyebalkan," dengkus Olivia. Namun, sedetik kemudian sebuah senyum terukir di bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD