34. Kapal Pecah

1024 Words
"Aku tak peduli teman-temanku tidak pintar. Tidak disiplin. Dan tidak Rajin. Karena dengan mereka, aku bisa tertawa lepas. Menikmati setiap waktu dengan melihat tingkah konyol mereka. Meresapi di dalam hati bahwa di dunia ini banyak orang yang bisa menghiburku atas sakit hati." *** Suara Bu Roro yang terdengar dekat, membuat ke-empat remaja itu mendadak senyap. Astaga, mereka lupa bahwa ini masih dalam jam pelajaran. Lila mengulas senyum miringnya. Dia mengangkat tangan kanan. "Bu, hukum kami saja, Bu. Lari sepuluh putaran lapangan saya sanggup. Saya mohon, Bu, hukum saja kami," pinta Lila memelas. Ketiga sahabatnya otomatis tercengang dan membuka mulut lebar-lebar. Lila dasar kurang ajar, mengapa dia justru meminta sebuah hukuman? Diego langsung menimpuk Lila menggunakan pulpen hitam yang tadi di sakunya. Namun, sasaran malah meleset dan mengenai kepala Bu Roro. "Maaf Bu Roro, saya tidak sengaja," pinta Diego mendadak panik. Bu Roro melirik sinis kepada Diego. "Cepat kalian lari, 20 putaran!" perintahnya dengan tegas membuat mereka berempat langsung senyap dan lari terbirit-b***t ke luar kelas untuk melaksanakan hukuman. Di tengah terik matahari. Di atas rerumputan yang hijau berseri, mereka mulai berlari mengelilingi lapangan. Tak peduli dengan para siswa lain yang yang menyaksikan, tak peduli dengan guru-guru yang menatap sinis, mereka berempat justru bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. Lila menjadi sosok yang kalah dalam permainan itu. Payah, padahal dia sendiri yang tadi memelas meminta hukuman lari. Napasnya tidak teratur, sisa ekskresi pada pori-porinya terus bercucuran. "Gue nyerah! Bidadari nggak kuat, butuh sumbangan jus mangga nih gue!" Lila berhenti. Dia menunduk ke arah kakinya. "Salah Diego ini, mah," celetuknya. Ruby, Magenta, dan Diego ikut berhenti. Mereka bertiga memilih duduk dengan kaki diluruskan. "Kok gue? Ngapain gue terus yang salah, elah!" protesnya tidak terima. Lila berjalan gontai menghampiri sahabat-sahabatnya, lantas ikut duduk di atas rumput. "Lo sih, masa ngelempar pulpen ke Bu Roro, jadi dia galak kan! Gue nggak mau tahu, lo harus beliin jus mangga!" "Ogah!" cetus Diego singkat. Gadis penyuka warna biru itu menyeka keringatnya. Sungguh, semua badannya terasa begitu lelah. "O EM JI, GUE BELUM GARAP TUGAS DARI NAVI!" teriaknya tiba-tiba. Yang lainnys refleks terkejut dan menoleh ke arah Lila. "Bantuin gue jawab, please. Ada tugas dari Navi ... " rintihnya mulai mengeluarkan secarik kertas dari saku atas. Ya, Lila memang setiap waktu membawa kertas tugas tulisan Navi itu. Siapa tahu, saat di jalan atau di mana, ada seseorang yang dapat ia tanyai terkait tugas dari Navi. Ruby merebut kertas yang Lila pegang. Dia sangat penasaran, memang tugas apa yang diberikan oleh Navi? Gadis itu membaca pelan-pelan. Dengan otak yang sedikit lebih baik daripada Lila, Ruby dapat langsung mendapat jawaban dari soal itu. "Gila, ini dari Navi? Atau lo yang ngarang? Kok kayak nggak mungkin kalo ini dari Navi, sih?!" Magenta mengerutkan keningnya. Dia menyambar kertas yang sedang dipegang Ruby. Jiwanya ikut mendesak dia untuk mencari tahu karena itu berkaitan langsung dengan Lila. Begitu membaca tulisan di kertas itu, d**a Navi seakan sesak. Sekujur tubuhnya terasa seperti terbakar akibat rasa cemburu. Cowok itu melemparkan kertas yang tadi ia baca ke depan Lila. Lalu da bergegas pergi meninggalkan ketiga sahabatnya. Lila menatap bingung perilaku Magenta. Memang apa jawabannya? Mengapa cowok itu terlihat marah? "Ruby, jawabannya apa?" tanyanya kepada Ruby dengan santai. "Ada. Lo harus cari tahu sendiri." Lila mengerjapkan matanya berulang kali. Ah, sebenarnya apa jawaban dari tugas Navi itu? Memusingkan! ??? "Mama!" Navi berlari cepat menghampiri Dahlia yang tergeletak tak sadarkan diri. Baru saja cowok itu membuka pintu rumah, namun dia disuguhi peristiwa yang tak mengenakan. "Ma, bangun, Ma," ujarnya panik sambil menepuk-nepuk pipi mamanya agar wanita itu tersadar. Dahlia pingsan di atas lantai, meja kursi ruang tamu yang sudah tak beraturan. Dan tunggu. Navi mencoba meliat ke sekeliling rumahnya. Dari ruang keluarga yang berserakan mainan Mola, ruang makan dan dapur dengan pecahan-pecahan piring. Siapa ini? Siapa yang berani membuat ulah di rumah Navi? Navi menghampiri mamanya lagi setelah mendapatkan minyak kayu putih. Di buka tutup botol minyak itu lalu di sodorkan di depan hidung Dahlia. "Ma, bangun. Navi mohon ... " rintihnya. Selam 2 menit menghirup aroma minyak kayu putih, Dahlia akhirnya terbangun dan langsung mengeluarkan isakan tangisnya. Melihat hak itu, Navi langsung memeluk mamanya dengan erat. "Mama jangan nangis, Navi ada buat ngelindungin Mama." "Mama!!" Mola datang dengan berlari secepat yang ia bisa saat melihat mamanya menangis. Anak itu langsung bergabung dalam pelukan mamanya. Dia sangat khawatir. "Bang Napi yang nakay? Bang Napi yang udah beyantakin yumah? Bang Napi jahat!" tuduhnya pada Navi. "Bukan Abang, Abang juga baru pulang, Mola." Dalam hati Navi ingin mengumpat. Dia tahu pasti yang berbuat itu semua di rumahnya. Dia bersyukur ternyata Mola masih baik-baik saja dan tidak menjadi korban. "Teyus siapa yang berantakin rumah? Siapa yang bikin mama nangis?" tanya Mola merasa penasaran akan setiap hal. Anak itu menepuk-nepuk pundak mamanya layaknya memberi penguatan. "Mama jangan nangis yagi, Mama nggak papa, kan?" Dahlia mengulas senyum palsunya. Senyum untuk menutupi semua rasa luka di hatinya. "Mama nggak papa, Mola sayang. Ini tadi ulah Mama karena pusing mikirin kerjaan kantor. Maaf ya, Mama ganggu tidur kamu," balas Aster menutupi realita dan semua fakta yang ada. Melihat situasi itu, Navi peka terhadap mamanya yang berusaha menutupi semua dari Mola. "Mola mandi, gih. Nanti kita jalan-jalan sama Permen Karet." Navi mengacak gemas rambut tebal Mola. Navi begitu memahai bahwa Mola masih kecil, dia belum sepantasnya untuk mengetahui semua permasalahan. Dia takut nantinya kesehatan psikis Mola akan teganggu. Mola meloncat-loncat merasakan bahagia yang luar biasa menjalar di tubuhnya. "Yey, Moya jayan-jayan sama Kak Yiya!" serunya begitu semangat. Anak itu kemudan berlari riang ke kamar mandi meninggalkan mama dan kakaknya. "Mama tenang aja, Navi bakal buat perhitungan sama tuh orang biadab! Mama tahu ke mana dia pergi?" cerocosnya sudah emosi. Dahlia mengelak. Dia tidak setuju dengan Navi. "Jangan Navi, Mama nggak papa, Mama mohon kamu nggak perlu apa-apain orang itu." Dahlia sebisa mungkin menghalau Navi. Dia tidak ingin nantinya semua masalah semakin keruh karena kedua belah pihak sama-sama emosi. Navi mengepalkan kedua tangannya. Dia sangat geram. Dia sudah sabar ketika kemarin-kemarin juga mama dan rumahnya seperti ini. Dia tak tahan. Navi ingin sekali membuat perhitungan dengan orang itu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD