33. Pasangan Tari Cha Cha

1057 Words
- "Harapanku seketika sirna ketika aku melihat ternyata pengharapan itu justru kamu berikan kepada orang lain." - *** "Nomor sembilan." Lila megangkat tangan begitu nomor yang ia dapatkan disebutkan oleh Bu Roro. Hanya saja, keanehan terjadi. Bukan. Bukan cuma dua orang yang mengangkat tangan, tetapi ada tiga. Hati Lila yang awalnya bahagia begitu melihat Navi mengacungkan tangan, namun langsung layu saat melihat Jingga yang juga melakukan hal serupa. Hah? Mengapa bisa seperti itu? "Kok ada tiga? Mungkin salah satunya ada yang nomor enam, bukan nomor sembilan. Yang ada tanda garis itu nomor 6, ya," jelas Bu Roro. Dia kemudian mencoba memeriksa nomor Navi, Jingga, juga Lila. "Lila, kamu ini yang nomor enam. Jadi, kamu berpasangan sama Magenta. Pantas saat tadi tidak ada yang mengacungkan tangan," ungkap Bu Roro setelah mengecek tulisan nomor milik Lila. Lila menganga tidak percaya. Pupus sudah harapannya. Runtuh sudah kesempatannya. Aura bahagianya seketika redup total. Gadis itu kemudian menunduk, merasa kecewa. Dia sekilah melihat Jingga yang tersenyum mengejek ke arahnya. Oh, dia merasa menang atas Lila. Dasar Jing Jing! *** Lila termenung sesaat, ketika dia berhadapan dengan Magenta. Materi gerakan dasar Tari Cha Cha yang berasal dari Kuba, membuat dia begitu pening. Gerakan kaki yang membutuhkan tempo cepat dan harus sama dengan pasangan tarinya. Namun, sejak tadi Lila terus melakukan kesalahan. Yang harusnya maju, dia mundur. Yang seharusnya ke kanan, dia ke kiri. Begitu terus, tak bisa melakukan gerakan yang serasi dengan Magenta. Tak tahu karena hal apa gadis itu seperti ini. Apa gara-gara berpasangan dengan Magenta? Tentu tidak. Lila menerimanya dengan baik-baik saja yang penting dia tidak berpadangan dengan Ujang. Atau karena musik dab gerakan tarian itu? Sepertinya memang sedikit membuat dia kesal, namun bukan itu yang Lila masalahkan. Sebentar, mari bergeser ke sebelah kanan, tepat jeda 2 siswa, Lila dapat melihat Navi dan Jingga begitu kompak dalam menarikan tari itu. Biasa, api cemburunya meluap-luap. Namun karena dia tidak bisa mengubah semua hal, Lila menjadi sedih bukan emosi. "Mereka cocok banget," gumam Lila. Lila terus menyaksikan begitu serasinya Navi dan Jingga. Sama-sama perfectionist! Seketika jiwa insecure-nya muncul meski sedikit. "Ayo, Lila, lo harus fokus!" seru Lila lalu mengalihkan pandangannya. Gadis itu mulai memperbaiki gerakan. Mengikuti dan menyerasikan gerakan tubuhnya dengan Magenta. Alunan musik tarian itu membuat Lila mendadak hanyut. Dia bahkan lupa akan hal tentang Navi. Meski tari berpasangan ini berasal dari luar negeri, namun Bu Roro tetap saja menggunakan musik tradisional Indonesia yang berjudul Hela Rotan. Nada dan irama pada lagu itu terasa sangat melekat pada setiap gerakan. Lila mengusap hidungnya yang gatal. Ish, mengganggu saja. Dia membuka mulutnya lebar-lebar. Lila ingin bersin namun sayangnya, bersin dia tertahan tak mau keluar bunyi. Sangat menyebalkan saat-saat seperti ini. "Aduh, ke kiri, Lila. Lo ngapain malah ke kanan?" protes Ruby yang tubuhnya tak sengaja disenggol Lila sampai gadis itu terpental. Lila meloloskan gelak tawanya ketika melihat sahabatnya sendiri terjatuh mengenaskan. "Ya mohon maaf, gue nggak tau arah soalnya. Nggak tau tuh yang kanan mana, kiri mana, yang bener mana, yang salah mana, yang suka mana, yang benci mana, yang cinta mana, yang--" "Ya thoiba, temen gue kenapa suka eror otak sama mulutnya?" Diego mengelus dadanya menyaksikan Lila yang di seberang serong kanannya sedang berkicau. Lila membantu Ruby untuk bangkit dengan mengulurkan tangannya. Untung saja Bu Roro hanya sedang fokus memperhatikan kelompok di ujung selatan. Jadi untuk deretan ujung utara, termasuk kelompok Lila dan ketiga sahabatnya, aman aman saja untuk berulah. "Ajarin gue dong, By. Gue nggak bisa-bisa. Ini gerakannya banyak banget lagi. Mau meletus otak gue!" keluh Lila menguatkan ikatan rambutnya. Ruby mengelak. Dia membersihkan debu di seragamnya yang tadi terkena di lantai. "Ma to the les, males! Percuma aja gue ngajarin lo, tapi semua apa yang gue ajarin pasti nggak lo serap baik-baik!" "Gue janji bakal serap ilmu dari lo baik-baik, Tuan Puteri." "Gue ada ide, La! Gimana kalo kita tuker otak lo pake spons? Biar bisa cepet nyerap ilmu!" usul Diego yang langsung mendapatkan pelirikan tajam dari Lila. Magenta ikut berhenti. Sedari tadi dia memang terus mengikut alunan musik meskipun bergerak seorang diri tak mempunyai pasangan. "Kalo otak Lila dituker sama spons, otak lo gue tuker sama pampers bayi! Gampang banget nyerap tuh!" ujarnya lalu mencetuskan tawa yang keras. "Heh, Batok Kelapa! Otak kloningan Einstein lo katain suruh tuker sama pempers? Sini gue give away-in otak lo, lumayan bisa buat nambah followers." Diego mengacak-acak rambutnya sampai berantakan. Entah apa motifnya mengubah tatanan rambut yang semula rapi menjadi rambut semrawutan seperti singa. "Followers terus, sok kecakepan lo! Jadi ambassador kolor ijo aja bangga bener! Postingan intagram isinya soal kolor ijo. Caption-nya gini, aduh gue bingung mau pergi sama doi pake baju apa? Aha, kolor ijo pasti membantu. Aduh, gue bingung mau ke warung tapi outfit-nya apa, aha, kolor ijo selalu setia setiap saat. Dengan kolor ijo, semua masalah yang kamu punya pasti terseleseikan!" ucap Lila menirukan gaya berbicara seorang selebram Indonesia. "Nggak gitu juga, Kambing! Wah ketauan lo suka nge-stalk gue ya, La?" tuduh Indiego dengan percaya diri. Dia menyikuti lengan Magenta yang ada di kanannya. "Aduh gimana nih, Bro, kalo doi lo suka sama gue?" godanya. "NGIMPI!" Bukan hanya Magenta yang memekik, Lila dan Ruby juga melakukan hal yang sama. Ish, salah sendiri Diego yang over confident! "Bagus, kalian saya suruh latihan nari, malah latihan paduan suara? Mau Ibu hukum kalian?" Suara Bu Roro yang terdengar dekat, membuat ke-empat remaja itu mendadak senyap. Astaga, mereka lupa bahwa ini masih dalam jam pelajaran. Lila mengulas senyum miringnya. Dia mengangkat tangan kanan. "Bu, hukum kami saja, Bu. Lari sepuluh putaran lapangan saya sanggup. Saya mohon, Bu, hukum saja kami," pinta Lila memelas. Ketiga sahabatnya otomatis tercengang dan membuka mulut lebar-lebar. Lila dasar kurang ajar, mengapa dia justru meminta sebuah hukuman? Diego langsung menimpuk Lila menggunakan pulpen hitam yang tadi di sakunya. Namun, sasaran malah meleset dan mengenai kepala Bu Roro. "Maaf Bu Roro, saya tidak sengaja," pinta Diego mendadak panik. Bu Roro melirik sinis kepada Diego. "Cepat kalian lari, 20 putaran!" perintahnya dengan tegas membuat mereka berempat langsung senyap dan lari terbirit-b***t ke luar kelas untuk melaksanakan hukuman. Di tengah terik matahari. Di atas rerumputan yang hijau berseri, mereka mulai berlari mengelilingi lapangan. Tak peduli dengan para siswa lain yang yang menyaksikan, tak peduli dengan guru-guru yang menatap sinis, mereka berempat justru bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD